|
Sinopsis Buku: Pahlawan, gelar itu begitu agung. Karenanya tak sembarang orang mampu menyandang keagungan ini.
Diponegoro adalah pahlawan besar yang pernah dimiliki bangsa ini. Tak urung, di balik nama besar ini tersaji kenyataan hidup yang selalu menarik untuk ditelisik. Novel Pangeran Diponegoro, Menggagas Ratu Adil, menghamparkan eksotisme perjalanan hidup Pangeran Dipononegoro mulai dari masa kanak-kanak hingga remaja dalam bingkai karya sastra. Leburan riset mendalam dan imajinasi brilian dari penulis gemilang, menjadikan karya ini penuh daya pikat. Gaya tutur filosofis akan membawa pembaca larut dalam perenungan-perenungan di sepanjang tulisan. Menggagas Ratu Adil adalah salah satu penggalan kisah Pangeran Diponegoro. Bakal hadir fragmen-fragmen lain kehidupan sang pangeran dalam novel-novel selanjutnya. Resensi Buku:
Pemimpin yang Setia Menunggui oleh: Sidik Nugroho Judul: Novel Pangeran Diponegoro � Menggagas Ratu Adil Penulis: Remy Sylado Penerbit: Tiga Serangkai Tahun: 2007 Tebal buku: vii + 339 halaman Kita patut bersyukur dengan kehadiran novel-novel sejarah yang kini marak diterbitkan. Beberapa novel seri Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi kini amat diminati. Selain itu, Remy Sylado, sang munsyi (ahli bahasa) itu juga telah menerbitkan dua novel seri Pangeran Diponegoro. Dalam novel Pangeran Diponegoro pertama, Menggagas Ratu Adil, dikisahkan masa kecil Pangeran Diponegoro hingga ia berusia dua puluh lima tahun, dan jatuh cinta kepada seorang gadis jelita. Siapa gadis jelita itu namanya belum disebutkan dalam novel ini, baru di seri berikutnya, Menuju Sosok Khalifah, nama gadis itu disebutkan. Dalam Menggagas Ratu Adil, dikisahkan tentang Pangeran Diponegoro yang rajin beribadah, membaca karya-karya sastra dan suci, hidup asketis, dan jago bela diri. Nama kecilnya Ontowiryo. Ia dibesarkan oleh istri dari Sultan Hamengku Buwono I, atau nenek buyutnya sendiri, yang bernama Ratu Ageng di Tegalrejo, bukan di dalam keraton Yogyakarta. Sejak kecil ia sudah punya fantasi dan firasat bahwa Belanda itu setan. Dan ia yakin benar bahwa semua setan harus diusir dari bumi pertiwi. Hingga suatu ketika, seorang patih bernama Danurejo II mulai kongkalikong dengan Jan Willem van Rijnst, seorang Belanda, untuk menyusun kekuatan lain yang memihak Belanda di dalam kesultanan Yogyakarta yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono II. Kekuatan ini awalnya justru digagas oleh Danurejo II, seorang patih yang gila kedudukan dan harta, agar Belanda jadi pihak dominan mengatur jalannya roda pemerintahan di kesultanan Yogyakarta. Saat Belanda mulai bergerak, lobi sana-sini, dan pengaruhnya mulai terasa akibat kekurangtegasan Sultan Hamengkubuwono II, Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro mengambil tindakan berani untuk, suatu ketika, menantang Belanda secara tidak langsung. Seorang pria, namanya Purwono, yang disebut pembangkang Kompeni, suatu ketika tidak boleh dikubur oleh Belanda. Namun, begitu Seh Ngabdulrohim, alias Ontowiryo melihatnya, ia memerintahkan mayat itu untuk dikubur. Dari kejadian ini nama Ontowiryo, alias Seh Ngabdulrohim, alias Pengeran Diponegoro, mulai dikenal Belanda. Novel ini banyak memuat bahasan pada aspek agama, utamanya Islam (ajaran-ajaran dan beberapa ayat sucinya); bahasa (Jawa, Kawi, Belanda, bahkan Prancis); budaya (bermacam-macam tradisi dan leluri); bahkan intrik-intrik politik. Yang terakhir, intrik-intrik politik, mulai berkembang karena adanya Danurejo II keparat yang suka disuap; Belanda-Belanda setan yang nalurinya menjajah, memeras dan mengadu domba; serta kekurangtegasan sistem pemerintahan yang dijalankan Sultan Hamengkubuwono II, yang membuat salah satu saudaranya bernama Notokusumo mengeluarkan dirinya sendiri dari istana dan membentuk keraton dan kerajaan sendiri, memakai gelar Paku Alam I. Memang, sejak Sultan Hamengkubowono I mangkat, istrinya sendiri, Ratu Ageng, kurang cocok dengan pemerintahan yang dijalankan penerusnya. Hingga karenanya, ia mengasingkan diri dan pindah ke Tegalrejo. Dalam asuhan Ratu Ageng, yang senantiasa memelihara amanah suaminya untuk meneruskan nilai-nilai luhur budaya, beruntunglah Ontowiryo mendapat pengasuhan dan bimbingan darinya. Pangeran Diponegoro dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang tak haus kekuasaan. Ketika ayahnya menjadi raja, menggantikan Sultan Hamengkubuwono II, ia diminta menjadi adipati anom atau putra mahkota, namun menolak. Ia dicintai rakyat. Ia berencana, akan menjadi seorang pemimpin atau dalam bahasa Jawa disebut Herocukro, bagi perjuangan rakyat ketika berusia 40 tahun. Bagi Anda, yang suka sejarah, budaya dan bahasa, rasanya sayang melewatkan novel ini begitu saja. Menyimak novel ini secara keseluruhan, amat jelas bahwa Remy Sylado mendialogkan suara hati para tokoh di dalamnya dengan intens, mengajak para pembaca mengamati pergolakan dan konflik yang terbangun antara Pangeran Diponogero, keraton Yogyakarta dan Belanda. Pengisahan dibuat dari sudut pandang orang ketiga, seorang pria tua, cucu Pangeran Diponegoro, anak dari anaknya yang bernama Menadurahman, yang lahir selama pengasingannya di Manado. Namun, di novel ini, ada yang patut disayangkan juga. Di sini tidak ada silsilah keluarga (genealogis) dalam keraton Yogyakarta, tempat di mana sebagian besar kisah ini terjadi. Juga, dari kalangan Belanda tidak ada hirarki-kronologis siapa-siapa saja yang menjadi penguasa dan pengendali pemerintahan di Yogyakarta selama Pangeran Diponegoro hidup. Walaupun secara eksplisit keduanya tersebutkan di novel, rasanya akan lebih pas bila silsilah dan hirarki itu diturutsertakan. Mungkinkah dua hal ini disertakan di buku terakhir? Semoga saja. (Buku terakhir dari novel seri ini konon dikabarkan adalah buku ketujuh.) Lewat cerita yang dibuatnya ini, Remy Sylado sedang membuktikan cintanya pada bangsa Indonesia. Ia bangga pada budaya Indonesia, dalam hal ini terwakili di Jawa (juga Manado), yang disebutnya bukan budaya cangkem, karena dibangun di atas dasar aksara. Ia bangga pada keberagamaan, di mana cita-cita luhur tiap agama di Indonesia adalah mengantarkan kita untuk menjadi manusia-manusia merdeka yang bertanggung jawab. Dan ia selalu memaki-maki Belanda, bukan semata-mata karena benci tanpa alasan, tapi di dalam novel yang dibuat berdasarkan sejarah dan riset mendalam ini, Belanda-Belanda di masa Diponegoro hidup memang perilakunya amat jahanam dan pantas untuk dilawan dan dibuat kacaubalau oleh Pangeran Diponegoro di kemudian hari. http://tuanmalam.blogspot.com Add your review for this book!
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |