|
Sinopsis Buku: Inilah sumber otentik yang sangat berharga mengenai kehidupan sehari-hari para tahanan di Boven Digul, khususnya pada tahun-tahun awal (1927-1931).Buku ini, yang diangkat dari catatan Mas Marco Kartodikromo, perintis kemerdekaan, pertama kali dimuat di koran Pewarta Deli dari 10 Oktober sampai 9 Desember 1931 dalam 51 angsuran. Dengan pena yang lugas dan tajam, Mas Marco seolah-olah mengajak pembaca hadir di tengah khalayak Digulis, bahkan ikut ambil bagian dalam kejadian di sana masa itu.
*** Kendati hanya berbekal pendidikan "Ongko Loro" (Tweede Klasse), Mas Marco banyak berkiprah di bidang sastra dan pers. Ia pernah menjadi mederedacteur (redaktur tamu) majalah Medan Prijaji dan belajar serta membantu Mas Tirto Adhisoerjo di Bandung. Orang Indonesia kini masih mengenal semboyan-semboyannya, seperti "berani karena benar, takut karena salah", "sama rasa sama rata", "rawe-rawe rantas malang-malang putung", dari mulut para pemimpin maupun penulis Indonesia yang lain. Revolusi Agustus 1945 pekat diwarnai semboyan-semboyan itu, kendati orang tak mengetahui siapa gerangan yang memperkenalkannya pertama kali. Resensi Buku:
Kata Itu: Idealisme oleh: Rimbun Natamarga SEBAGIAN besar para penggemar tetralogi Pramoedya Ananta Toer pasti kenal nama Marco. Ia adalah seorang wartawan muda yang berpendirian keras dan berani mengkritik kebijakan-kebijakan diskriminatif pemerintah, seorang jagoan belati, dan seorang yang diam-diam jatuh hati pada Siti Soendari (seorang gadis radikal terkenal saat itu). Syahdan, akibat dari jatuh-hatinya itu, sebuah novel telah lahir darinya. Kita sekarang mengenal novel itu dengan judul Student Hidjo. Berpanjang nama sebagai Mas Marco Kartodikromo, terakhir ia dibuang ke Boven Digoel, di Pulau Papua sekarang. Ia dibuang ke sana akibat dituduh terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang gagal, akhir tahun 1926. Sebelumnya, beberapa kali ia dipenjarakan akibat tulisan-tulisannya di surat kabar. Namun dari tangannya juga beberapa buku lahir. Selain Student Hidjo, misalnya, ia menulis pula Doenia Bergerak. Usianya pendek, memang. Ia meninggal di Boven Digoel pada tahun 1932 dalam usia 42 tahun. Tapi memang dasar penulis, di tanah buangan, ia pun masih sempat menulis. Banyak yang dikirim dan dimuat, salah satunya di harian Pewarta Deli. Ternyata, apa yang dikirimnya dan dalam 51 angsuran itu, tak jauh beda dengan catatan harian; dari tanggal 10 Oktober sampai 9 Desember 1931. Tahun 2002, Koesalah Soebagyo Toer mencari dan menyuntingnya lagi, dan akhirnya diterbitkan (oleh KPG) dengan judul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel. Sayang, buku itu tak selaris Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. DIGOEL sebagai tanah buangan sampai tahun 1942, adalah catatan kelam bagi Pemerintah Hindia Belanda. Meski sebuah catatan kelam, Digoel tak seburuk Pulau Buru di masa Orde Baru--sebuah "tanah buangan" bagi anggota (atau dianggap anggota) PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S). Di Digoel, orang buangan masih dijamin hidupnya dengan layak. Tiap hari mereka diberi upah 30 sen, kalau mau kerja pesanan pemerintah tanah buangan. Selain itu, masing-masing orang disediakan ruangan seluas 2 x 2 meter untuk tidur dan 2 x 2 meter untuk barang. Adapun yang telah berkeluarga disediakan ruangan seluas 4 x 2 meter (hal. 3). Barak-barak makin hari makin diperbanyak. Fasilitas-fasilitas lain didirikan. Kelak, ketika tahun 1934 Soetan Sjahrir dibuang ke sana, ia bercerita dalam Renungan dan Perjuangan Indonesia (terbitan Dian Rakyat-Jambatan, Jakarta) bahwa Digoel itu seperti Europeschewijk (pemukiman Eropa). Ada bioskop, kamar-bola (ballroom), rumah sakit, sekolah, masjid, dan gereja. Pertunjukan seni dan olahraga digalakkan. Dan tak ketinggalan: pabrik es! Sebab di sana panas... Belum lagi dalam bentuk bahan-bahan pokok. Tiap setengah bulan mereka menerima 9 kg beras, ikan kering, dendeng, teh, gula, gula Jawa, garam, kacang hijau, dan tablet kina. Total semuanya: f 6,30 (baca: 6, 30 Khul-den). Bahkan seorang penulis masih bisa cari pemasukan tambahan dengan mengirim tulisan-tulisannya ke suratkabar-suratkabar di luar tanah buangan. Mereka masih pula dibebaskan untuk berwiraswasta di sana, bercocok-tanam, dan mengajar di sekolah-sekolah swasta yang didirikan orang-orang buangan secara sederhana untuk anak-anak mereka, bagi yang bawa keluarga. Mereka pun dihargai, tak dipaksa dan ditindas seperti orang-orang buangan di Pulau Buru. Bahkan pemerintah yang membuang seorang lulusan (atau pernah mengenyam pendidikan di) perguruan tinggi, akan dikecam dan ditekan habis-habisan oeh parlemen. Dan itu efektif, bukan sekedar gonggongan anjing ketika kafilah sedang berlalu. Seperti Hatta dan Soetan Sjahrir, yang akhirnya dipindahkan ke Pulau Banda (lihat Memoir-nya Hatta terbitan Tinta Mas). Sebenarnya, sebelum tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda atas desakan Parlemen di Belanda sana, sudah mulai memulangkan orang-orang buangan. Padahal, ketika dibuka pada tahun 1927, Digoel diniatkan sebagai tempat bagi orang-orang buangan yang tak pernah tahu kapan-dibebaskannya. Ya, mereka tak pernah tahu kapan dibebaskan dari sana. Akibatnya, idealisme banyak yang luntur. Hingga tak heran bila Digoel sering disamakan dengan hantu. Ada seorang aktivis pergerakan politik nasional. Sebelum dibuang, selalu menentang dan menuduh kebijakan pemerintah. Ketika dibuang ke Digoel, justru memata-matai kawan sendiri untuk pemerintah. Ada yang dulunya selalu berteriak atas nama rakyat. Setelah di Digoel, mencuri barang-barang orang buangan. Ada pula yang dulunya yakin akan kebenaran ideologi partainya. Setelah di Digoel, mengakui ideologinya dulu salah agar dapat makan lebih (hal. 66). Selain disebabkan ketidakpastiannya tadi, ketidakpuasan diri juga membuat mereka begitu. PERGAULAN Orang Buangan di Boven Digoel sebenarnya cuma menambah panjang daftar buku-buku tentang Digoel. Selama ini kita telah kenal Cerita dari Digoel (KPG), yang berupa kumpulan cerita-cerita mantan orang buangan Digoel dan disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain itu, ada pula Hantu Digoel (LKiS, Yogyakarta) yang ditulis oleh Takashi Shiraishi, penulis Zaman Bergerak--sebuah buku yang bercerita tentang sejarah radikalisme di Jawa tahun 1920--1926. Lalu ada buku yang ditulis oleh Chalid Salim, adik H. Agus Salim, Lima Belas Tahun Digul, Kamp Konsentrasi di Nieuw Guinea : Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia (Bulan Bintang, Jakarta). Gramedia sempat pula menerbitkan fiksi Suro Buldog: Orang Buangan Tanah Merah Boven Digoel yang ditulis Pandir Kelana. Sebagaimana yang ditulis tadi, Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel memang bukan buku laris. Meski bicara tentang keadaan sebuah tanah buangan, sebuah kamp, buku ini tak semenarik dan selincah Gulag karya Alexander Solzhenitsyn (yang telah diterbitkan Bentang). Cenderung membosankan, memang. Tapi bagi yang mau tahu tentang nasib para idealis, apa yang ditulis Marco ini bercerita tentang "seleksi-alam" yang dihadapi mereka. Banyak yang bertahan, tapi ada pula orang-orang yang buang jauh-jauh idealismenya (hal. 14-16, 18, 111-112, 171). Sebab di sana yang ada utamanya cuma ketidakpastian, cuma angan-angan "kapan-kembali." Selain itu, buku ini cocok pula bagi mereka yang sering menggeluti sejarah pergerakan nasional di Nusantara ini semasa Pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai sumber primer (sumber sejarah dari tangan pertama; pelaku sejarah, RN.), tentu saja buku ini beharga dan pantas dicari. Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |