|
Sinopsis Buku: Buku Perang Eropa jilid III ini dimulai dengan kisah pendaratan Sekutu di Pantai Normandia, Perancis, 6 Juni 1944, yang dikenal dengan nama D-Day, dan ditutup dengan menyerahnya Jerman Nazi pada awal Mei 1945.
Dalam buku ini ditampilkan ilustrasi mengenai para prajurit dari berbagai negara yang terlibat dalam PD II, dalam halaman full color. Perang Dunia II yang merupakan peperangan terbesar dalam sejarah umat manusia. Dengan munculnya jilid ketiga ini, berarti lengkap sudahlah karya P.K. Ojong mengenai sejarah Perang Dunia II yang dibukukan kembali oleh Penerbit Buku Kompas yang terdiri dari tiga jilid Perang Eropa dan satu jilid Perang Pasifik. Resensi Buku:
Perang Eropa, Sebuah Cerita oleh: Rimbun Natamarga PANTAI NORMANDIA. 6 Juni 1944. The Supreme Commander Tentara Sekutu, Dwight Eisenhower (atau yang sering dipanggil Ike), menunggu hari yang satu itu dengan kecemasan berhari-hari. Bocornya operasi ke pihak musuh�ia dan Perdana Menteri Inggris takutkan itu sejak hari H diputuskan bersama. Persiapan dilakukan. Para prajurit disekap di barak-barak. Penduduk sipil dilarang berada dekat barak-barak. Konon bahkan, seorang perwira Angkatan Darat diusir-pulang ke Amerika Serikat gara-gara pernah kelepasan bicara tentang hari H operasi itu suatu hari waktu minum-minum dengan rekan-rekannya. Tak ada keringanan baginya, sebab ini perang. Demikianlah. Dan P.K. Ojong bercerita banyak dalam Perang Eropa III. Tentang perang. Tentang kepahlawanan. Tentang ambisi manusia. Tentang peristiwa-peristiwa yang ia yakin: ada pelajaran di sana. OPERASI pendaratan tersebut berjalan lancar tanpa bocor ke pihak lawan. Semua lega. Lalu diteruskan dengan pembebasan wilayah demi wilayah yang telah diduduki lawan. Jerman, yang kebetulan adalah pihak lawan saat itu, terpaksa mundur, melepaskan wilayah-wilayah tersebut sambil merencanakan pembalasan telak pada pihak Sekutu. Namun, perimbangan kekuatan saat itu sudah jauh berbeda dengan perimbangan kekuatan di awal pecahnya perang. Superioritas Luftwaffe (Angkatan Udara) Jerman seperti di awal pecahnya perang sudah tak-ada lagi. Mereka telah kehilangan-banyak, baik dari jumlah ataupun hasil yang dapat dipaksakan. Yang tinggal adalah bertahan habis-habisan. Tentang habis-habisan ini, sebenarnya relatif. Pertama adalah tuntutan Sekutu agar Jerman menyerah tanpa syarat. Ini kesalahan, rupanya. Sebuah blunder yang membuat Jerman susah dikalahkan dalam waktu singkat. Semakin lama perang berlangsung, semakin besar kemungkinan akan jatuh korban banyak. Resiko yang merugikan semakin besar. Mereka, Sekutu itu, seperti lupa akan perkataan bijak Sun Tzu dalam Art of War, �Jangan biarkan musuh terdesak tanpa satu pun celah untuk meloloskan diri.� Akibatnya, baik Hitler dengan Nazinya maupun Tentara Jerman dan penduduk sipil bertahan mati-matian. Bagi mereka, menyerah tanpa syarat itu menyakitkan. Sebab pada akhirnya, nasib mereka ditentukan oleh pihak yang menuntut itu tanpa sekalipun dapat memilih nasib yang dipandang baik untuk masa depan seusai perang. Itu belum apa-apa. Sebab, kedua, habis-habisan Jerman ini jangan dibayangkan seperti Jepang yang terkenal dengan tradisi jibakunya dalam serangan pesawat-pesawat Kamikaze. Jerman tetaplah Jerman. Orang-orangnya masih banyak yang sadar tentang arti hidup. Banyak, ternyata, tentara Wehrmacht (Angkatan Darat) Jerman yang lebih memilih jadi tawanan (Prisoners of War) Sekutu. Apapun resikonya. Bagi mereka, adalah sebuah pilihan manusiawi untuk menyerah ketimbang mati-matian menuruti ambisi Hitler dan Nazinya. Dan memang, banyak yang sudah jengkel melihat ambisi Hitler yang sering tak-masuk akal dan konyol itu. Stephen E. Ambrose pernah menggambarkan dalam Citizen Soldiers (yang untungnya sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, tahun 2004) bahwa menyerah pada Sekutu membuat Tentara Jerman itu menikmati lagi hidup normal seperti sebelum pecah perang. Banyak dari mereka yang ditawan itu dikirim ke perkebunan-perkebunan di Amerika sebagai pekerja upahan sampai perang usai. Mereka dapat upah, rumah sementara, dan (kalau beruntung) beristri wanita Amerika Serikat atau setidaknya wanita keturunan imigran Jerman, serta jadi warga negara sana. Kalaupun tak-dikirim ke sana, tawanan-tawanan Sekutu dijamin hidupnya selayaknya hidup Tentara Sekutu sendiri. Sebenarnya, dari sejak pendaratan itu, Sekutu dapat menyudahi-cepat perang itu. Namun, perselisihan pendapat dalam menjalankan taktik di antara jenderal-jenderal Sekutu membuat mereka mesti melalui berbagai pertempuran berlarut-larut. Ike berbeda-pandang dengan dengan bawahannya, Jenderal Montgomery (sering dipanggil Monty) dari Inggris. Menurut Ike, cara yang paling baik dalam menyerang Jerman adalah dengan serangan yang melebar, sedang menurut Monty dengan serangan yang terpusat (hal. 159, 164). Akhirnya, pendapat yang dipilih adalah pendapat Ike. Seusai perang, ketika diceritakan dua pendapat itu ke hadapan jenderal-jenderal Jerman, mereka mengakui pendapat Monty-lah yang benar karena saat itu (bulan-bulan pertama setelah pendaratan) Tentara Jerman dalam keadaan terpencar di berbagai tempat di Eropa. Perbedaan pendapat seperti itu, ternyata, terjadi juga di pihak Jerman. Untuk menghadapi serangan Sekutu itu, Hitler lebih memilih taktik pertahanan statis ketimbang pertahanan dinamis. Taktik pertahanan statis adalah taktik terbaik menurut Marsekal Runsted, sedang taktik pertahanan dinamis justru yang terbaik menurut Marsekal Rommel (hal. 42-43). Padahal, kalau saja Tentara Jerman memakai taktik pertahanan dinamis, Tentara Sekutu akan kewalahan dan dapat terusir keluar dari Pantai Normandia. Hal itu nyata sekali dan dapat dirasakan dengan baik oleh Tentara Sekutu saat pendaratan. Keberuntungan akibat kurang mobilnya pertahanan Jerman itu yang membuat pendaratan tersebut berhasil. Lain halnya dengan teknologi. Perkembangan teknologi perang saat itu pun sudah �berpihak� ke Sekutu. Meski demikian, Jerman masih ditakuti oleh Sekutu dalam teknologi senjata-senjata perang. Bom nuklir, betapa pun, amat ditakuti Sekutu bila sampai Jerman berhasil membuatnya lebih dulu. Meski pernah berusaha dengan tak terlalu serius, kabar bahwa Jerman sedang membuat bom atom sudah beredar di pihak Sekutu waktu itu. Sebab kalau Jerman berhasil dalam usahanya, maka segala usaha Sekutu untuk memenangi perang akan sia-sia! Satu hal yang masih kontroversi dan sering dibahas seusai perang oleh berbagai kalangan adalah keputusan Ike untuk tak-merebut Berlin, pusat kedudukan Hitler. Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, berkali-kali mendesak Ike untuk juga merebut dan mendahului Tentara Merah Rusia. Sudah rencana, memang, bahwa Tentara Merah akan menyerang Jerman dari Front Timur Eropa sedang Tentara Gabungan Amerika-Inggris-Kanada-dan beberapa negara Sekutu lainnya dari Front Barat. Menurut Churchill, bila Berlin berhasil direbut oleh Tentara Merah, maka memudahkan Rusia untuk menguasai Eropa Timur dan menyebarkan ideologi mereka di sana. Pertimbangan politis, memang. Akan tetapi, Ike tetap bersikeras untuk tak-merebutnya dengan alasan-alasan yang bersifat militer (hal. 321). Lagipula, menurutnya�dan ini yang benar-benar ditekankannya, bahwa kepentingan Sekutu adalah membebaskan Eropa dari cengkeraman Hitler dan Nazi-nya bukan berusaha menaklukkan dan mempengaruhinya. APA YANG terjadi pada Perang Dunia (PD) II sebenarnya telah banyak diceritakan Ojong dalam tulisan-tulisannya di mingguan Star Weekly sebelum dibredel pada masa pemerintahan Soekarno dulu. Beruntung, tahun-tahun belakangan ini, penerbit buku Kompas mengumpulkan dan menerbitkan ulang tulisan-tulisan itu dalam seri Perang Eropa: Jilid I-III dan Perang Pasifik. Memang buku-buku itu bukan sebuah karya komprehensif tentang PD II di Front Eropa Barat. Tetapi sebagai pengantar untuk melihat sejarah PD II, buku-buku itu dapat bermanfaat baik. Semuanya itu diterbitkan untuk mengisi kekosongan tulisan tentang PD II. PD II dengan segala kisah-kisah kepahlawan yang sering diceritakan di dalamnya, tak pernah habis-habis diangkat dalam tulisan-tulisan. Apalagi dalam bentuk film. Di Front Eropa (Barat Laut), misalnya, kita mengenal film Band of Brothers, yang diangkat dari buku Band of Brothers karya Stephen E. Ambrose. Kita pun mengenal Saving Private Ryan, yang disutradarai oleh Steven Spielberg, yang bercerita dengan latar belakang pendaratan di Normandia itu. Di Front Asia kita pun tak lupa dengan film Pearl Harbor, yang disutradarai oleh James Cameron, dan Tora Tora Tora yang bercerita tentang pemboman Pearl Harbor. Belum lagi Wind Talker, yang dibintangi Nicholas Cage, dan Into The Red Line yang bercerita tentang kemajuan Sekutu di pulau-pulau Pasifik. Pada akhirnya, perang tetap perang. Ia adalah tragedi di mana manusia perlu mengingatnya. Ia adalah cerita di mana nafsu manusia sering dilakonkan dengan baik. Dan kita tahu (juga dengan baik): nafsu itu makan biaya, makan korban, juga dengan baiknya� Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |