|
Sinopsis Buku: Satu tanda mata dari abad ke-20 yang paling dahsyat dan tak terlukiskan kengeriannya adalah Perang Dunia II. Adegan-adegan seperti di neraka Dante seolah turun ke bumi. Betapa Amerika dipaksa Hitler untuk mengerahkan pemuda-pemuda terbaiknya sampai jutaan orang, bertarung melawan pemuda-pemuda terbaik Jerman, dengan jumlah korban di kedua belah pihak yang begitu menakutkan. Resensi Buku:
Wajah Perang Itu oleh: Rimbun Natamarga Semua prajurit di situ takkan menyangka untuk peristiwa itu. Hari itu, 23 Maret 1945, jenderal mereka tenang-berjalan ke jembatan yang mereka bangun guna menyebrangi sungai Rhine, Jerman. Tiba-tiba ia berhenti di tengah jembatan, menghadap sungai. Dan semua menyaksikan dengan mata-kepala sendiri: jenderal mereka kencing! Kemenangan sudah di tangan, begitu pikir si jenderal. Makanya, sengaja ia menahan diri untuk tak buang air kecil selepas bangun tidur di hari itu semata-mata untuk melakukan �momen� tersebut. Di depan anak-anak buahnya, tentu. Bakal diambilgambarnya, ia tahu. �Saya sudah lama menunggu untuk melakukan hal ini. Yah�buang air yang menyegarkan sekali.�, tenang si jenderal berkata. Kemenangan dalam perang, betapa pun, pantas dirayakan. Dan macam-macam bentuknya. Sebab perang terdiri dari rentetan-rentetan usaha yang tak-sedikit. Untuk meraih kemenangan di dalamnya, butuh biaya mahal. Dana, tenaga, dan jiwa itu sendiri. Karena itu, si jenderal layak buang air kecil di sungai itu�sebuah sungai di negeri musuh dalam perangnya itu. Pikir-pikir, bisa jadi kita, justru (maaf!) berak di sana�di atas jembatan itu�ketika tahu bahwa apa yang kita korbankan tak percuma demi meraih kemenangan. Perang, di mana-mana, selalu ditampilkan dengan wajahnya yang pongah. Pongah, karena dalam perang ada darah, ada kematian. Dalam perang ada ledak tawa, juga ratap tangis. Seperti sudah jamak, yang selalu muncul dari perang, cuma kisah-kisah kepahlawanan; yang selalu laris cuma kisah-kisah kegagahan. Ironisnya, kisah-kisah itu ada disandingkan dengan kisah-kisah kepengecutan, kegagalan, dan kekalahan pihak lawan. Seakan-akan, kepahlawanan tak lengkap tanpa adanya kisah kepengecutan pihak yang kebetulan jadi pihak lawan. Kemenangan tak-ada-apa-apanya tanpa kekalahan dari pihak lawan. Padahal, dalam perang, yang ada tidak melulu begitu. Seperti di front Eropa Barat Laut, misalnya. Seorang pasukan infanteri Amerika Serikat terpaksa buang air besar di celana ketika berada di dalam lubang perlindungan, di tengah ketakutan adanya gempuran dari pihak Jerman. Celananya sudah tentu bau, dan untuk membuang kotoran itu, tiada cara lain kecuali dengan menggunakan sangkur, mengingat berlapis-lapisnya celana yang dipakainya. Seorang prajurit ateis kebetulan berada dalam sebuah lubang perlindungan bersama seorang prajurit pemeluk Katolik yang saleh. Ketika suatu saat terjadi gempuran musuh di sekitar lubang mereka, maka prajurit Katolik itu melagukan lagu-lagu gerejani sepanjang malam. Karena tak-tahan, prajurit yang ateis itu cepat-cepat pindah ke lubang perlindungan lain dengan resiko bakal kena peluru musuh. Baru saja meletakkan kakinya di lubang yang lain itu, sebuah ledakan terjadi terjadi di lubang yang baru ditinggalkannya tadi. Seorang tenaga medis mengemban tugas yang tak-kalah penting di medan perang. Mereka menangani orang-orang luka, juga yang tewas. Salah satu yang dibekalkan kepadanya karena tugas itu adalah morfin. Namun perang tetaplah perang, dan manusia tetaplah manusia. Perang mendatangkan ketakutan tak memandang orang, termasuk petugas-petugas medis. Masih diingat jelas oleh seorang prajurit infanteri Amerika Serikat, pada suatu malam, di tengah hujan peluru Jerman, seorang tenaga medis berjalan seperti orang bodoh. Belakangan, ia sadar, si petugas medis menggunakan morfinnya untuk mengusir rasa ngerinya. Dan celakanya, si petugas kecanduan� Seorang prajurit pernah menodongkan senapa M-1 ke pemimpinnya hanya gara-gara intruksinya yang keterlaluan di tempat mandi. Intruksi itu adalah bahwa mereka, para prajurit itu, mesti membasahi badan 1 menit, bersabun 1 menit, dan membersihkan kembali 1 menit� Seorang pasukan Air Borne (penerjun payung) mendapat izin ke Reims suatu hari. Reims terkenal sebagai �ibukota� sampanye dunia. Di sana ia ketemu tiga temannya sewaktu SMA. Mereka merayakan pertemuan itu. Ketika pulang ke barak, ia langsung ke tempat tidur dan melihat seseorang berada di sana. Spontan ia bangunkan orang itu. Orang itu marah, dan terjadilah pertengkaran. Tinju pun saling melayang. Tiba-tiba lampu dihidupkan, orang-orang di ruangan itu marah oleh keributan itu, karena terbangun dari tidur masing-masing. Ia akhirnya sadar: bukan saja berada di tempat tidur yang salah, ia juga berada di kamar yang salah serta di batalion yang salah! Seorang komandan tertinggi Sekutu pernah marah-marah pada komandan dinas logistiknya. Pasalnya, komandan dinas logistik itu memindahkan markas besarnya ke kota Paris. Ia menempatkan lebih dari 20.000 orangnya di hotel-hotel dan gedung-gedung di kota itu. Pasokan logistik yang ada mereka gelapkan; mereka tukarkan dengan anggur dan parfum. Mereka gunakan pasokan logistik itu untuk biaya kencan mereka dengan para wanita penghibur, mereka gunakan biaya itu untuk bersenang-senang. Padahal saat itu di garis depan front Eropa Barat Laut sedang terjadi krisis pasokan logistik. Dan celakanya, skandal buruk dinas logistik itu sampai ke telinga prajurit-prajurit di garis depan� SEJAK tahun 1940, Angkatan Darat Amerika Serikat mulai mengadakan perekrutan besar-besaran tentara sukarela. Sejak itu, Angkatan Darat Amerika Serikat membengkak-hebat. Pada tahun 1939, jumlah personel yang ada cuma 160.000 orang. Pada tahun 1944, ada delapan juta orang! Mereka yang direkrut itu berasal dari bermacam-macam lapisan masyarakat. Ada yang lulusan universitas. Ada pula yang mantan penjahat. Ada orang desa, ada orang kota. Yang jelas, mereka berusia muda saat perekrutan itu. Masa latihan yang mereka ikuti demikian singkat, mengingat perang di Eropa yang makin berkobar (Amerika Serikat sendiri dapat dikatakan terlambat untuk terjun ke kancah perang itu. Tentang ini dapat lihat buku Perang Eropa Jilid I-nya P.K. Ojong, terbitan Kompas). Akibatnya, banyak korban mati-konyol di perang itu. Banyak pula yang mengalami peristiwa-peristiwa serupa dengan kisah-kisah di atas tadi. Tidak aneh, seorang mantan tentara sukarela pernah berpendapat bahwa orang-orang yang paling berhak dimahkamahmiliterkan selepas perang adalah jenderal-jenderal yang mengeluarkan kebijakan perekrutan tentara sukarela itu. Namun para jenderal yang bertanggung-jawab di balik perekrutan itu yakin bahwa orang-orang yang dikirim sebagai tentara sukarela ke Eropa adalah pemuda-pemuda terbaik yang dimiliki Amerika Serikat. Para jenderal itu yakin juga, mereka akan memenangi peperangan. Dan mereka benar dengan keyakinan itu. Sebenarnya yang mereka tanamkan-bersama kepada tentara sukarela itu adalah bahwa mereka ke Eropa bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk membebaskan orang-orang di sana dari cengkeraman gagasan gila Hitler dan NAZInya. Jauh berbeda dengan Tentara Merah Uni Soviet, yang memerangi Jerman untuk balas dendam. Tentara sukarela itu dilatih a la kadarnya. Dalam gambaran mereka, apa yang mereka dapatkan dalam latihan, bakal dipraktekkan di medan perang sana. Sayangnya, gambaran itu keliru. Latihan yang sebenarnya justru didapat mereka di sana. Medan perang itulah yang membuat mereka sadar akan pentingnya hidup. Dan mereka bakal mengenangnya, jauh hari kelak, sebagai pengalaman yang demikian beharganya. Mereka berjanji, kalau masih hidup sampai perang berakhir, mereka akan gunakan hidup sebaik mungkin. Perang, pada akhirnya, cuma membuat mereka matang. Itu pun, kalau selamat. Kematian sekaligus kekejaman yang mendahuluinya dalam perang, rasanya, bukan tujuan yang dinginkan Stephen E. Ambrose dalam menyusun Citizen Soldiers. Itu, meskipun ia tahu akan kemungkinan yang mengarah ke situ. Ia bergelut dan melakukan penelitian selama 4 dekade untuk mencari �wajah� asli dari tentara sukarela itu, dan sudah pasti makna perang bagi tentara sukarela itu. Hasilnya, sampai saat ini, tidak sedikit. Salah satunya adalah Band of Brothers, yang telah difilmkan dengan durasi 10 jam oleh Steven Spielberg dan Tom Hanks. Namun perang tetaplah perang, maka sebagian besar dari Citizen Soldiers masih tetap berisi wajah perang yang pongah itu--sesuatu yang kita bosan akan itu. Dan itulah, sayangnya. TANGGAL 25 APRIL 1945. Di Torgau, di sungai Elbe, Tentara Amerika Serikat bertemu dengan Tentara Merah Soviet. Suasana saat itu adalah suasana penuh kemenangan. Jerman telah dibagi. Demi kemenangan itu, mereka berpesta, mereka bermusik. Mereka sama-sama menari. Prajurit Tentara Amerika menari dengan prajurit wanita dari Tentara Merah. Mereka riang saat itu. Kelak, prajurit-prajurit Amerika itu bakal tahu juga: prajurit-prajurit wanita Tentara Merah yang telah mereka ajak menari itu adalah para penembak gelap terbaik dalam Tentara Merah. Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |