|
Sinopsis Buku: Malam, dengan cara penulisannya yang bersahaja mengungkapkan pengalaman seorang anak Yahudi yang mengalami penderitaan selama berada di dalam kamp Nazi, dengan menyaksikan kematian keluarganya satu persatu. Dan hanya mukjizat yang telah menyelamatkannya dari tungku api yang siap menerima makhluk hidup sebagai bahan bakarnya. Resensi Buku:
Sebuah Malam untuk Yahudi Itu oleh: Rimbun Natamarga IA BANGKIT, sengaja. Berjalan ke cermin di ruangan itu, ia ingin tahu. Tiba-tiba, kaget--tak percaya pada apa yang dilihatnya saat itu. Di dalam cermin, dilihatnya sesosok mayat. Buruk, amat buruk wajah mayat itu. Dan ia takkan percaya: wajah itu, wajahnya... ELIE WIESEL dilahirkan sebagai keturunan Yahudi. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Ketiga kakaknya perempuan semua. Masa kanak-kanaknya dihabiskannya untuk mempelajari ajaran agama Yahudi, hingga memasuki masa remajanya. Ayahnya, dikenal masyarakat sebagai seorang tokoh. Pelbagai kesulitan banyak ditanyakan kepadanya, meski ayahnya itu bukan seorang rabi (pemuka agama) Yahudi. Tak sedikit ternyata andilnya dalam menanamkan kepercayaan Yahudi kepada Wiesel. Sayang, perang tiba-tiba meletus. Tentara Jerman banyak menangkapi orang-orang Yahudi; mengirim, memusnahkan mereka di dalam kamp-kamp tawanan. Cuma celakanya, orang-orang Yahudi di mana Wiesel tinggal, tak mempercayai kabar itu. Orang yang menceritakan kabar itu disangsikan. Ada yang didustakan, malah! Termasuk seorang rabi terkemuka di situ. Si rabi ini, padahal, pernah melihat dan mengalaminya langsung. Beruntung saat itu ia dapat lolos, meski kakinya tertembak, dengan pura-pura mati. Si rabi, yang kebetulan salah seorang guru Wiesel, telah berusaha meyakinkan mereka. Pemusnahan cuma tinggal tunggu waktu. Dan terjadilah penangkapan itu. Wiesel dan orang-orang Yahudi di sekitarnya tak menyangka bakal mengetahui banyak, melihat banyak tentang pemusnahan yang dikabarkan itu. Sungguh, betap pahitnya, ketika sadar bahwa apa yang selama ini didustakan bersama memang terjadi. Mereka ditawan semua, mereka merasakan semua. Pertama kali yang dipisahkan dari Wiesel adalah ibu dan ketiga kakak perempuannya. Ia berdua dengan ayahnya dipaksa bekerja untuk kepentingan perang Jerman. Berdua, mereka sadar, mereka harus saling membantu dan menguati. Itulah cara bertahan yang paling baik saat itu. Bekerja berarti membebaskan, demikian slogan itu ditulis di depan kamp tawanan. Untuk hidup, tidak mudah. Mereka yang di bawah umur (baca: anak-anak), dikumpulkan dan dikirim ke tempat khusus. Yang beruntung, cuma disuruh kerja. Yang sial, dikumpulkan dan dikirmkan ke tungku pembakaran! Selain tungku, ada juga kamar gas. Adapun mereka yang sudah tua, atau lemah atau sakit atau kelihatan lemah, begitu pula. Bagi Jerman, yang dibutuhkan dari mereka adalah kerja dan kerja; tak peduli betapa sedikit makanan yang tersedia, betapa buruk makanan yang ada. Jumlah orang-orang Yahudi yang satu kamp dipaksa kerja dengan Wiesel mulanya banyak. Tapi di akhir itu, cuma segelintir. Ia lolos berkali-kali dari proses seleksi yang dilakukan sewaktu-waktu. Seleksi itu sendiri seperti lotre; untung-untungan. Ada yang pakai nomor, seperti undian berhadiah. Nomor-nomor yang beruntung buat orang-orang yang mendapatkannya boleh hidup terus. Sedang nomor-nomor sial, bak karcis pertunjukan musik. Ada juga dengan model barisan. Yang di baris kiri, silakan terus, ke tempat pemusnahan... WLADYLAW SZPILMAN, dengan pengalamannya yang ditulis dan diterbitkan dengan judul The Pianist (pertama kali terbit dengan judul Kematian Sebuah Kota), membuka mata banyak orang tentang tragedi kemanusiaan yang menimpa orang-orang Yahudi semasa Perang Dunia II. Bukunya itu laris. Sempat difilmkan oleh Roman Polanski, bahkan. Di dalamnya, digambarkan betapa menyakitkan bila nyawa manusia tak ada harganya. Szpilman memang selamat. Sebab ia berhasil lari dan sembunyi dari maut yang mengancam, yang justru pernah �dirindukannya� ketika dulu melihat keluarganya dikirim dan dimusnahkan begitu saja oleh Tentara Jerman. Seperti Szpilman, Wiesel menuliskan pengalamannya juga, dan terbit dengan judul Malam. Bukunya pun laris. Apabila Szpilman dimasukkan ke kamp tawanan ketika telah dewasa, maka Wiesel mengalaminya dalam usia remaja dan (bahkan!) menghabiskannya sampai perang usai. Apabila Szpilman sejak pertama kali sudah dipisahkan dari keluarganya, dari orang-orang yang dicintainya, maka Wiesel masih bersama ayahnya--meski untuk akhirnya mati hanya beberapa minggu sebelum perang usai. (Ayahnya itu mati karena sakit, dan Wiesel membiarkannya karena tak mampu). Apabila Szpilman berhasil kabur dan lolos dari kejaran Tentara Jerman, maka Wiesel cuma pasrah�mencoba bertahan untuk tak jatuh sakit dan tak dikirim ke tempat pemusnahan. Apa yang ditulis Wiesel sebenarnya biasa saja. Gaya ceritanya nyaris datar. Namun di situlah ironisnya. Tentang bau menyengat yang keluar dari tungku pembakaran anak-anak Yahudi, ia bercerita seolah-olah bercerita tentang piknik keluarga nun di suatu tempat yang ia tahu tempatnya. Padahal ini bakal jadi �mimpi-buruknya� hampir seumur hidup. Apa yang ditulisnya itu hakikatnya adalah tentang kematian yang terus mengancam, begitu dekat, begitu akrab, sesuatu yang sering tak-disadari, meski oleh banyak orang. Maka, kematian, sungguh, adalah teman akrab kita. Ia hadir di mana saja. Ia hadir kapan saja. Ia ada di rumah, di pertokoan, di mana saja kita berada. Ia bisa datang ketika kita makan. Ketika membaca. Ketika tidur-nyenyak. Ketika kita berjalan. Ketika bicara. Ketika sedang bercinta. Namun kematian yang ditulisnya itu adalah tragedi yang tak mudah dilupakan oleh umat manusia, bagi yang pernah dan mau tahu akan hal itu. Untuk itu bahkan, The Supreme Commander Tentara Sekutu, Dwight Eisenhower, ketika selangkah lagi dapat membebaskan Jerman dari cengkeraman Hitler dan NAZInya, pernah memerintahkan prajurit-prajurit Tentara Sekutu yang kebetulan sedang tak bertugas untuk pergi ke kamp-kamp tawanan orang-orang Yahudi. Dalihnya, biar semua orang yang pernah melihatnya tahu, tragedi itu benar untuk lalu menceritakannya ke seluruh dunia. Dan memang, apa yang dilihat oleh prajurit-prajurit itu tak lebih dari kumpulan mayat-mayat. Hanya saja, mayat-mayat itu ada yang menumpuk tak bernyawa, ada yang berserakan-hidup dan berebut makanan. Add your review for this book!
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |