|
Sinopsis Buku: Orang yang mencintai menanggung risiko lebih besar, dan sering harus membayar harga yang lebih tinggi... Alih-alih membuka hati, cinta lebih sering menutupnya. Mengapa? Mungkin kita khawatir, orang lain akan merampas cinta itu dari kita, dan mereguknya habis di depan mata kita. Tapi cinta bagai udara, tak berbatas... Buku ini mengisahkan tiga cerita dengan dilema serupa: Apakah kita sanggup mencintai dan menerima cinta dari orang lain? Sanggupkah kita eksis di dunia yang didominasi oleh keserakahan dan rasa iri ini? Buku ini berkisah tentang sifat-sifat jahat, perjuangan untuk hidup tanpa rasa takut, serta pencarian cinta. Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: kristi Respondimi (Jawablah Aku) adalah buku kedua Susanna Tamaro yg diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Sebelumnya Gramedia menerbitkan best seller Va� Dove Ti Porta Il Cuore (Pergilah ke mana hati membawamu) yang mendapatkan penghargaan Donna Citta di Roma dan telah diterjemahkan tidak kurang dalam 54 bahasa. Ada tiga kisah bertema cinta yang disajikan dalam buku ini. Judul buku diambil dari kisah pertama yang berjudul Jawablah Aku. Seperti judulnya kisah pertama menceritakan impian Rosa, gadis kecil yatim piatu anak seorang pelacur yang mempertanyakan makna cinta dan berharap ada yang membantunya menemukan jawaban, �Apa itu cinta?�. Sewaktu kanak-kanak aku percaya pada cinta, sama seperti aku percaya pada peri. Namun pada suatu hari aku mencari di celah-celah kayu dan di balik tudung-tudung jamur. Dan aku tidak menemukan peri atau makhluk-makhluk gaib, hanya lumut, jamur, tanah dan serangga. Serangga itu bukannya berciuman, melainkan saling memangsa. (hal 9). Proses kehidupan yang keras mencari makna cinta membawanya pada lingkaran kehidupan ibunya. Hingga di akhir pergulatannya dia bertanya �Apakah Seseorang mendampingi kita, ataukah kita hanya sendirian?�. �Jawablah aku� (hal 103) Kisah kedua berjudul Neraka itu Tidak Ada menceritakan kisah seorang perempuan yang tidak kuasa menghadapi kekejaman suaminya sendiri yang menyebabkan dia kehilangan salah seorang anaknya hingga membuatnya membuka mata bahwa bukan cinta yang selama ini ada dalam hidupnya. Cinta yang diperjuangkan berubah menjadi kebencian dan dendam yang membara. Kebencian adalah satu-satunya perasaan yang tak pernah menguap bersama lewatnya waktu. Sebaliknya kebencian terus menguat bagai angin ribut. Kebencian adalah kekuatan yang besar dan hidup. Kebencian inilah yang terus membuatku hidup selama bertahun-tahun ini, membuatku kering dan keras, haus akan pembalasan. (hal 157). Kegelisahan dan pergulatan menyertainya untuk bisa melihat Cahaya yang sepertinya semakin terasa kabur. Hutan yang terbakar adalah kisah ketiga yang menceritakan kisah cinta posesif. Cinta menjadi belenggu ketika cinta menjadikan seseorang seperti dalam kepompong yang hidupnya begitu terbatas. Takut kehilangan menjadikan prasangka dan kejahatan hadir sebagai perwujudan cinta itu. Genggam erat-erat. Semakin kugenggam erat-erat, semakin aku takut kehilangan, semakin aku khawatir tidak cukup mendapatkannya. (hal 209) Selain tema tentang cinta kesan yang terasa sangat kental sekali dalam Jawablah Aku adalah nuansa Ketuhanan, sepertinya Tamaro ingin mengungkapkan ada jarak yang terbentang antara manusia dan Tuhan. Bagi manusia seringkali Tuhan itu hanyalah sebuah gagasan yang tak terjangkau manusia. Butuh pergulatan-pergulatan panjang untuk menjangkau Cahaya itu. Seperti yang dia ungkapkan �Entah dimana aku pernah membaca bahwa dalam lukisan-lukisan kuno orang-orang yang dekat dengan Tuhan digambarkan memiliki telinga yang besar karena mendengar langsung kata-kataNya. Sekarang kita hidup dalam dunia tikus mondok. Kita semua buta, dan daun telinga kita tidak kelihatan. Berulang kali aku mencoba mendengarkan suara dari atas, tapi sayang, aku tidak mendengar apa-apa. Tapi aku mendengar cukup banyak suara dari bawah. Aku ingin percaya pada iman, memilah-milah segalanya sebelum aku meninggalkan kehidupan dunia, tapi aku tidak bisa. Aku telah melihat kejahatan membentang luas, menyerang hidupku dan hidup orang-orang di dekatku seperti noda tinta. (hal. 167) Jika dibandingkan dengan Va �Dove Porta Il Cuore yang ditulis dengan narasi yang halus dan dikemas layaknya catatan harian yang ditulis sedemikian rupa oleh seorang nenek untuk cucu tercintanya, dalam buku kedua ini cerita disampaikan dengan bahasa yang lebih lugas dan jujur yang sesekali membuat terperangah. Ada kegetiran yang diungkap secara terbuka dalam kisah yang ditampilkan. Kegetiran yang memaksa kita untuk menerima, memahami dan melaluinya sehingga bagi yang sudah membaca Va �Dove Porta il Cuore terlebih dahulu mungkin sedikit kecewa dengan buku kedua ini yang rasanya tidak sehangat, selembut dan sedalam buku yang sebelumnya saat kepahitan, kemarahan, penyesalan, cinta, kelembutan disampaikan dengan indah, dalam dan penuh kasih. Satu hal yang juga cukup pantas untuk dipuji adalah terjemahan dari A. Sudiarja, SJ yang cukup apik sehingga kisahnya mengalir dan enak dibaca meskipun bagi yang menyukai keutuhan cerita sepertinya akan sedikit kurang greget dengan model tiga kisah pendek yang dikemas menjadi satu ini. Sepertinya Tamaro tidak hanya ingin menawarkan gagasan cerita namun juga dengan nuansa filsafatnya ingin mengajak kita memasuki lorong-lorong makna cinta, kehidupan dan keTuhanan yang lebih dalam. Dalam realitasnya seringkali ada benci di dalam cinta, ada pahit dalam manis, ada gelap dalam terang. Dan Tamaro berusaha mengungkapkannya dengan sentuhannya yang begitu khas. ![]()
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |