|
Sinopsis Buku: Setelah bala tentara Dai Nippon di Indonesia bertekuk lutut kepada pasukan Sekutu, Agustus 1945, sebagian anggotanya bergabung dengan kaum pemuda pejuang kemerdekaan Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah perwira intelijen Tomegoro Yoshizumi, yang dibaiat Tan Malaka menjadi orang Indonesia dan diberi nama baru, Arif atau Bung Arif. *** Buku ini tidak hanya ikut membuktikan keterlibatan mata-mata bagi masuk dan berkuasanya Bala Tentara Jepang di Nusantara, tetapi juga menyajikan kontribusi (salah seorang) mata-mata Jepang bagi Indonesia beberapa saat setelah kapitulasi Negeri Matahari Terbit itu terhadap Sekutu. Gusti Asnan, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Padang Buku yang mencengangkan! Hasil blusukan penulisnya ke rimba sejarah perjuangan Indonesia yang belum banyak diungkap. Jurnalis pencinta sejarah wajib membaca. Eko Maryadi, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Di antara cerita kekejian Jepang pada bangsa Indonesia selama 3,5 tahun, terselip kisah-kisah tentara Jepang yang justru banting setir, membela bangsa yang didudukinya. Wenri Wanhar menyalakan pelita kecil dalam terowongan sejarah masa itu yang sampai kini masih remang-remang. Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Majalah Historia Resensi Buku:
Sebuah Reportase Sejarah oleh: WW Sutan Sikumbang Buku ini bergenre reportase sejarah. Narasi tuturnya ringan. Alurnya filmis. Penuh daya kejut. Bercerita tentang Kepala Intelijen Kaigun Bukanfu (Dinas Perhubungan Angkatan Laut Jepang), Tomegoro Yoshizumi yang dibai�at menjadi Indonesia oleh Tan Malaka, 25 Agustus 1945--seminggu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka memberinya nama Arif. Prosesi pembai�atan dilangsungkan di rumah Ahmad Soebardjo, Jalan Cikini Raya 82, Menteng, Jakarta Pusat. Bung Arif�demikian kalangan gerilyawan kemerdekaan Indonesia memanggilnya di kemudian hari--langsung memainkan peran sebagai seorang Indonesia. Dia menyelundupkan barang-barang berharga dari kantor Laksamana Maeda. Dijual di pasar loak. Hasilnya di-�cak rata� dengan Tan Malaka. Untuk dana perjuangan. Bung Arif-lah orang yang mendampingi Tan Malaka ke Bayah, Banten menjemput naskah Madilog yang legendaris itu. Di penghujung 1945, dia mengorganisir buruh galangan kapal PT PAL, Surabaya; mendirikan pabrik dan bengkel senjata untuk didistribusikan kepada pejuang-pejuang di garis depan. Awal 1946, ketika meninjau pabrik dan bengkel senjata itu, Bung Karno terkagum-kagum. Bung Arif juga mengorganisir bekas serdadu Jepang menjadi Indonesia. Para serdadu itu membentuk satuan tempur bernama Pasukan Gerilya Istimewa (PGI). Bung Arif dipilih menjadi komandan PGI dan wakil komandannya Ichiki Tatsuo, mantan Pemimpin Redaksi koran Asia Raya. Agustus 1948, sewaktu gerilya memimpin PGI, Bung Arif gugur di Blitar, Jawa Timur. Pusaranya di Taman Makam Pahlawan, Blitar. Tak jauh dari makam Bung Karno. Agaknya, Bung Karno cukup terkesan dengan sosok Yoshizumi alias Bung Arif. Pada 15 Februari 1958, Bung Karno menulis syair berbunyi: Kepada sdr Ichiki Tatsuo dan sdr Yoshizumi Tomegoro Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa sadja, tetapi milik semua manusia Setelah hubungan diplomatik Indonesia-Jepang dibuka, awal 1958, oleh pemerintah Jepang, syair itu diukir pada sebuah monumen di kuil Budha Seisho. Orang Jepang menyebutnya Soekarno Hi. Lokasi kuil Budha Seisho di sekitar Tokyo Tower, simbol negara Matahari Terbit. Buku ini melampirkan dokumen-dokumen serta foto dari masa lampau dan masa sekarang. Sehingga pembaca seolah diajak hadir berpetualang ke masa lalu; ke masa-masa riuh rendah revolusi kemerdekaan Indonesia. Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |