|
Sinopsis Buku: Pondok Pabelan bukan lembaga yang bernaung di bawah salah satu organisasi Islam, baik Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU). Jati diri Pondok tampak dalam ajaran pluralisme sang Kiai tidak terhenti antar dan lintas iman, tetapi juga antar kelompok dalam tubuh Islam sendiri. Berulang kali Kiai meledek konflik NU dan Muhammadiyah dengan ungkapkan, "Santri Pabelan jangan sibuk dengan NU atau Muhammadiyah. Kita bisa menjadi Muhammad NU atau Nahdlatul Diyah". Jadi, identitas picik aliran ditumpulkan dan dikarikaturkan dengan jenaka oleh sang Kiai. Tetapi tradisi ritual Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah juga dihargai, seperti halnya para sesepuh Pabelan yang lekat dengan ke-NU-annya digelarkan sajadah untuk jadi imam solat dengan qunut atau tarawih 21 rakaat. Pabelan menjadi ladang subur sikap multikultural. Pabelan menyediakan ruang dialog yang `bebas risiko` bagi masalah perbedaan agama, perbedaan aliran agama, perbedaan etnis dan ekspresi budaya. Para romo dan suster dapat berinteraksi dan saling belajar tentang masalah-masalah sensitif keagamaan dengan Kiai dan para santri Pondok Pabelan. K. H. Hamam sendiri bersahabat dengan pemimpin dan penganut agama lain, antara lain sahabat dekat Romo Y. B. Mangunwijaya. Buku ini menghimpun tulisan berbagai pihak yang mempunyai ikatan emosional yang kuat kepada sang Kiai dan Pondok: para mantan santri, keluarga, guru, dan para sahabat. Mereka menyoroti apa adanya tentang sosok dan jati diri sang Kiai dan sekaligus jati diri Pondok Pabelan secara utuh. Kiai Haji Hamam Dja`far dilahirkan di Desa Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, tanggal 26 Februari 1938 dari pasangan Kiai Dja`far dan Nyai Haji Hadijah. Setelah nyantri dan mengabdi pada almamaternya, dalam usia 25 tahun ia menghidupkan kembali Pondok yang sudah lama mati suri. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |