|
Sinopsis Buku: Kisah tentang perjuangan sepasang anak manusia beda etnis pada masa-masa akhir Hindia-Belanda sampai perjuangan kemerdekaan Indonesia. ... Resensi Buku:
CABAUKAN, NOVEL [BER]SEJARAH REMY SYLADO oleh: Asep Sambodja Seusai membaca novel Cabaukan karya Remy Sylado, David Kwa Kian Hauw membuat tulisan panjang yang mengulas novel tersebut dari perspektif sejarah. Tulisan yang berjudul �Tentang �Ca-bau-kan� Karangan Remy Sylado� itu dimuat sebagai suplemen di majalah Kita Sama Kita (KSK) No. 5 Tahun II Januari 2002. Sebagai seorang warga keturunan, ia merasa �tersinggung� dengan penggambaran karakter tokoh-tokoh Tionghoa yang ditampilkan Remy Sylado dalam Cabaukan. David Kwa menulis seperti ini: Setelah membaca novel Cabaukan karangan Remy Sylado, saya berkesimpulan bahwa si pengarang tidak memahami masyarakat Tionghoa, sehingga kualitas novel ini patut dipertanyakan. Novel ini sarat dengan prejudice terhadap orang keturunan Tionghoa. Hal itu dengan terang dapat dibaca dalam paparan-paparan yang seakan merupakan fakta sejarah, meski pun sejatinya fiksi belaka. Remy membikin novel ini memang di era Orde Baru, tentu saja bias Orde Baru sangat kental dalam karangannya itu (KSK hal. 1). Untuk memperkuat argumentasinya itu, David Kwa memaparkan definisi �cabaukan� dalam bahasa Hok-Kian. Menurutnya, istilah yang benar adalah �caboukan� yang berarti budak yang dijadikan selir, bukan �cabaukan� � yang diartikan Remy Sylado sebagai perempuan pribumi yang diperbini Tionghoa dalam kedudukan yang tidak selalu mempedulikan hukum, manakala negeri ini bernama Hindia Belanda. Dalam hal penokohan, David Kwa menulis, �dalam novel ini terasa sekali bahwa semua tokoh Tionghoa digambarkan sebagai lebih banyak segi hitamnya daripada putihnya�. Sebaliknya, �gambaran yang sama sekali berbeda diberikan kepada tokoh-tokoh non Tionghoa. Tokoh-tokoh ini boleh dikatakan sama sekali tak ada titik hitamnya � Tokoh-tokoh Minahasa yang nota bene dari etnis si pengarang sendiri, Yapi Tambayong [Remy Sylado], begitu ditampilkan sangat nasionalis dan tanpa cacat� (KSK hal. 3). Tidak hanya soal istilah dan penokohan saja, David Kwa juga banyak membandingkan peristiwa yang terjadi di dalam novel dengan fakta yang terjadi di masyarakat. Ia pun mempersoalkan penggunaan nama yang sama, seperti Tan Peng Liang asal Bandung dan Tan Peng Liang asal Semarang. Selain itu, ada tiga nama Giok Lan dalam novel ini yang digunakan untuk tokoh yang berbeda, yakni Giok Lan anak Tan Peng Liang Semarang dengan istri pertamanya, Giok Lan anak Tinung-Tan Peng Liang Bandung, dan Giok Lan anak Tinung-Tan Peng Liang Semarang. Dua tokoh Giok Lan yang disebut pertama ini akhirnya meninggal, sementara Giok Lan yang ketiga inilah yang mencari asal-usul orangtuanya ketika ia sudah dewasa. Tokoh ini sekaligus menjadi sumber penceritaan dalam novel ini. David Kwa melihat penggunaan nama yang sama itu sebagai ketidakmampuan Remy Sylado dalam memberi nama pada tokoh-tokohnya. Demikian pula setelah menelaah agama, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa dalam novel Cabaukan, David Kwa sekali lagi menyimpulkan, �si pengarang sama sekali tidak memahami masyarakat Tionghoa yang ditulisnya, sehingga keabsahan novelnya pun dengan demikian patut dipertanyakan. Tulisannya ini sarat dengan berbagai prejudice yang tendensius, yang dituangkan dalam paparan-paparan yang seakan merupakan fakta sejarah (meskipun hanya fiksi, tentunya), padahal di dalamnya banyak hal kurang akurat. Ini mungkin diakibatkan oleh minimnya pemahaman si pengarang terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia Tionghoa� (KSK hal. 11). Dalam sebuah diskusi terbatas, Ratih Dewi, mahasiswi Program Studi Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, membantah pendapat David Kwa di atas. Menurut Ratih, novel Cabaukan bukanlah buku sejarah yang harus berdasarkan fakta yang akurat, melainkan sebuah karya fiksi yang sarat dengan imajinasi pengarang. Pernyataan Ratih yang singkat, padat, dan jelas itu meruntuhkan seluruh argumentasi yang dikemukakan David Kwa. Karena, kekhawatiran David Kwa bahwa isi novel itu akan melahirkan pandangan yang buruk terhadap warga keturunan Tionghoa oleh pembaca sangat tidak berdasar. Analisis yang dilakukan David Kwa terhadap novel Cabaukan dengan pendekatan sejarah, yang sekaligus menempatkan novel itu sebagai buku sejarah, merupakan kekeliruan yang nyata. Ada yang rumpang di sini. Bahwa makna tekstual dalam karya sastra tidak bisa disamakan dengan makna referensial dalam buku sejarah atau karya jurnalistik seperti itu. Memang, lahirnya karya sastra bisa disebabkan oleh kegelisahan pengarang akan situasi sosial politik pada suatu masa tertentu. Namun, latar sosial politik yang muncul dalam karya sastra tersebut harus dipahami sebagai unsur yang mendukung bangunan cerita. Dalam hal ini, gagasan dan imajinasi pengaranglah yang menentukan jalannya cerita. Seandainya pun Remy Sylado melakukan riset sejarah untuk memperkuat latar sosial politik dalam Cabaukan, itu merupakan nilai lebih yang diberikan pengarang kepada pembacanya. Sejarah suatu bangsa yang terbaca dalam sebuah novel akan lebih kaya jika dibandingkan dengan membaca buku sejarah yang baku. Karena, peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah dalam karya sastra akan terasa lebih hidup, berjiwa, sebab tokoh-tokoh yang muncul dalam peristiwa tersebut adalah tokoh-tokoh yang memiliki perasaan sebagaimana lazimnya manusia di luar teks sastra. Pengarang telah berperan besar dalam �menghidupkan� tokoh-tokoh sejarah dalam karya sastranya, di antaranya dengan memberi nama, pekerjaan, karakter, pandangan, bahkan perasaan si tokoh. Untuk memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh sejarah dalam karya sastra lebih �hidup�, �berjiwa�, dan �berperasaan�, saya kutipkan sebuah peristiwa ketika Tinung diperkosa oleh tentara-tentara Jepang. Kutipan ini sekaligus menanggapi David Kwa Kian Hauw di atas, bahwa dalam novel Cabaukan ini bukan hanya berisi persoalan antara Tinung dengan warga keturunan Tionghoa dan orang-orang Minahasa saja, tapi persoalan kemanusiaan secara utuh. Yakni, tentang kehidupan Tinung [sebagai representasi manusia Indonesia yang terjajah] yang terombang-ambing dalam kehidupan akibat penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda dan Jepang, serta perlakuan sebagian warga Tionghoa yang mendapat hak dan kedudukan istimewa dari bangsa penjajah saat itu. Salah seorang di antara mereka menarik Tinung dan menaruhnya di atas meja dalam posisi terlentang. Tinung meronta, malah digampar. �Buka!� katanya sambil menarik kebaya Tinung hingga sobek. Hanya oleh naluri Tinung segera menutup badannya dengan kedua belah tangannya. Si Jepang menamparnya lagi dan mengulang kembali apa yang dilakukannya. Kini, dengan kedua tangannya yang kaku disobeknya kebaya Tinung. Badan Tinung terbuka, tinggal kutangnya. �Tolong. Jangan Tuan,� pinta Tinung sambil berusaha menutup kembali dadanya dengan kedua tangannya. Si Jepang menampar lagi. Dan Jepang-Jepang yang lain memegang tangan dan kaki Tinung sehingga badannya hanya bergerak-gerak di atas meja itu dalam keadaan terlentang yang sempurna. Dalam keadaan begitu, kutang Tinung ditarik dengan paksa, sehingga badannya kini merdeka dari kain peradaban. Jepang-Jepang tak bersusila itu tertawa terbahak-bahak, bagai dirasuk setan. Tubuh Tinung lemas, seolah tak bertulang dan kehabisan darah. Di saat itu pula, binatang-binatang buas itu menerkamnya bergilir-giliran (hal. 286-287). Remy Sylado menggunakan metafor �binatang buas� untuk menggambarkan keganasan tentara-tentara Jepang yang memperkosa perempuan-perempuan pribumi yang kemudian dijadikan jugun ianfu (perempuan tawanan birahi Jepang selama Perang Dunia kedua). Tentu saja, tokoh Tinung tidak tertemukan di antara daftar nama jugun ianfu pada 1942-1945. Namun, gagasan � atau tepatnya, atmosfir � yang dibangun pengarang sangat representatif dan kontekstual dengan zaman Jepang. Kalaupun dalam novel Cabaukan terbaca bahwa orang yang menjerumuskan Tinung ke tangan tentara-tentara Jepang itu adalah warga keturunan Tionghoa, Thio Boen Hiap, anggota persekutuan dagang Kong Koan, itu merupakan hal yang sangat logis dalam rangkaian atau bangunan cerita. Karena, Thio Boen Hiap adalah lawan bisnis Tan Peng Liang Semarang, suami Tinung yang saat itu sedang melarikan diri ke Makao. Sementara, kalau kita baca bagaimana penderitaan seorang perempuan bernama Tinung akibat perbuatan bejat tentara-tentara Jepang itu, pastilah ia sudah berada di titik nadir atau titik nol. Sama sekali tidak bisa dibayangkan masa depan Tinung akibat pemerkosaan yang dilakukan secara beramai-ramai itu. Dan, Tinung pun akhirnya masuk rumah sakit jiwa di Bandung, setelah berbulan-bulan menjadi jugun ianfu di Sukabumi. Satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan Tinung dari sakitnya, dari kondisi tak berdaya, kosong, tak berarti, nihil, adalah Tan Peng Liang Semarang, yang dengan cinta yang cukup ia masuk kembali ke Indonesia dengan nama samaran Simon Chen demi untuk menemukan Tinung kembali. Karenanya, tidak benar kalau dikatakan Remy Sylado berpretensi menjelek-jelekkan warga keturunan Tionghoa dalam Cabaukan. Yang benar adalah Remy Sylado mencoba menggambarkan perjalanan seorang perempuan yang bernama Tinung. Ia lahir sebagai seorang anak yang tumbuh di lingkungan yang buta huruf, karena kedua orangtuanya tidak sekolah. Hal ini bisa dipahami karena kolonial Belanda memang tidak ingin melihat bangsa jajahannya pintar dan cerdas. Hanya warga keturunan Eropa dan Asia di luar Indonesia, serta golongan ningrat saja yang boleh menempuh pendidikan sampai tingkat tinggi, sementara bangsa pribumi, wong cilik, tidak boleh menimba ilmu di sekolah. Kalaupun ada, mereka hanya boleh bersekolah hingga kelas dua, yang dulu dikenal sebagai �sekolah ongko loro� atau sekolah rakyat. Karena keterhimpitan ekonomi di masa kolonial itulah, ibu Tinung, Empok Jene, menyuruh Tinung mencari uang dengan cara menjadi cabo di Kali Jodo. Dari Kali Jodo itulah nasib Tinung terombang-ambing, pindah dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Ia terpaksa menjual badan, hingga akhirnya mendapat seberkas cinta dari seorang laki-laki parlente, Tan Peng Liang asal Semarang. Membaca Cabaukan seperti membaca sejarah bangsa Indonesia yang berdarah-darah. Penuh dengan rasa sakit. Jeritan hati manusia Indonesia saat itu, saat tertindas oleh bangsa penjajah dan tidak bisa melakukan hal-hal yang dianggap waras dan rasional, terwakili oleh jeritan hati Giok Lan, anak Tinung. Saya tidak marah kalau Anda, seperti semua lidah Melayu, kepalang melafazkan cabaukan menjadi cabo. Yang saya marah, kalau Anda kira cabaukan atau cabo itu perempuan yang tiada bermoral. Ini pembelaan. Bukan hanya pembetulan (hal.1). Add your review for this book!
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |