Kita sekarang hidup dalam sebuah zaman perubahan sosial yang begitu cepat, era "tunggang langgang", era "hiperrealitas", era "modernitas akhir", era di mana tidak begitu jelas perbedaan antara "benar" dan "salah", antara "kiri" dan "kanan", era yang mencampuradukkan "yang tinggi" dan "yang rendah". Dalam perubahan yang berlangsung itu semakin disadari betapa amat pentingnya peranan bahasa. Pada era seperti ini bahasa bukan sekadar sebagai alat komunikasi semata, lebih dari itu bahasa sering dimanfaatkan sebagai alat untuk menunjukkan adanya kekuasaan atau kekuatan tertentu oleh pemakai bahasa. Bahasa bukan sebagai alat komunikasi yang netral, tetapi bahasa menjadi sesuatu yang tidak pernah netral lagi.
Untuk memahami hiperrealitas penggunaan bahasa tersebut dibutuhkan studi bahasa kritis. Studi bahasa kritis begitu perhatian terhadap aspek kuasa dan ideologi yang ada di dalam relasi kebahasaan. Studi bahasa kritis memandang bahwa setiap pilihan bahasa mengandung "agenda yang tersembunyi" (hidden agenda). Analis bahasa kritis akan selalu menatap dengan sikap curiga, kritis, tidak begitu percaya kepada setiap penggunaan bahasa, terutama penggunaan bahasa untuk kepentingan publik.
Dengan demikian, studi bahasa kritis hakikatnya studi bahasa yang dikembangkan untuk tujuan pemberdayaan. Studi bahasa kritis amat peduli dengan kelompok yang kalah dan terpinggirkan secara lingual. Studi bahasa kritis amat sadar dengan keberadaan konsumen yang secara tidak sadar dan atau bawah sadar "terjajah", terdeterminasi, terhegemoni, dan terdominasi oleh teks-teks yang dikonsumsinya itu. Karena sifatnya yang emansipatoris ini, studi bahasa kritis selalu mengedepankan cara berpikir "kritis", sebuah semangat, cara pikir, dan cara tindak yang sudah lama diusung oleh ilmu-ilmu sosial dan filsafat kritis aliran Frankfurt.