|
Sinopsis Buku: Keadilan di negeri ini hanya berpihak pada kaum berduit. Pandangan skeptis semacam itu sudah diamini bahkan publik dibuat gerah ketika mengetahui Artalyta Suryani, si ratu suap dengan nyamannya bersantai ria dalam sel tahanan Rutan Pondok Bambu dengan dilengkapi fasilitas layaknya rumah real estate. Wajar jika muncul kecurigaan berapa banyak duit Artalyta menyuap para staf dan petinggi Rutan. Wajah keadilan Indonesia ini benar-benar menyesakkan dada rakyat kecil.
Bayangkan saja, para janda pahlawan terancam hukuman 2 tahun penjara terkait dakwaan penyerobotan lahan. Nasib miris juga menimpa seorang nenek yang dituntut hukuman satu bulan lima belas hari hanya gara-gara mencuri 3 biji coklat. Dengan demikian, fakta sudah berbicara bahwa hukum di Indonesia bisa dibeli. Jadi siapapun penjahatnya, asal kaya raya dan mau jor-joran menyuplai “gizi” pada para aparat penegak hukum, dia akan diistimewakan. Bahkan bila perlu, orang tak berdosa akan diseret menjadi kambing hitam demi menjadi tumbal para penjahat kapitalis itu. Layaknya jaringan mafia, praktik jual beli kasus itu seolah-olah sudah “dihalalkan” oleh para aparat penegak hukum Indonesia. Praktik itu sendiri sudah tercium oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Untuk itu, ia memutuskan membentuk satgas mafia hukum. Pekerjaan rumah satgas mafia hukum semakin berjibum setelah Komjen Susno Duadji membongkar keberadaan makelar kasus di tubuh Polri. Sungguh memprihatinkan, sedemikian bobroknya moral para aparat penegak hukum kita? Dengan hinanya mereka merendahkan martabat bangsa dan menciderai kebesaran bumi pertiwi. Jikalau mental korup terus dilestarikan bukan tak mungkin negara yang dikuasai para mafia ini akan menjadi negara paling miskin dari yang termiskin. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |