|
Sinopsis Buku: International Bestseller
Novel Arab modern yang laris ini mengungkap liku-liku kisah cinta beragam anak manusia, dan gebalau situasi sosial politik sebuah negara berkembang dengan segala persoalannya yang memotret Mesir masa kini, tapi sesungguhnya juga mencerminkan apa yang sedang terjadi di negeri kita sendiri. Kecamuk segala sisi kehidupan manusia itu diwakili beragam manusia yang menghuni Apartemen Yacoubian, sebuah bangunan unik yang pernah menjadi salah satu gedung termegah di Kairo: lelaki playboy yang kesepian di masa tua, wanita muda penuh gairah yang terpaksa menjual kehormatannya demi menafkahi ibu dan adik-adiknya, mahasiswa miskin yang terbujuk gerakan Islam radikal, politisi korup yang suka mengutip Alquran seenaknya demi membenarkan setiap tindakannya, janda cantik yang merelakan diri menjadi istri simpanan, dan seorang redaktur koran terkemuka yang jatuh cinta sesama jenis kepada seorang tentara miskin. Aneka corak kehidupan tersebut berujung pada akhir yang mengejutkan dalam buku ini. Dituturkan dengan bahasa yang lincah dan sederhana, novel ini merupakan sebuah jendela untuk memahami cinta dan pengorbanan dalam dunia urban modern. Pujian: "Sangat menarik dan kontroversial ..." �New York Review of Books "Novel ini telah memperkaya seni novel Mesir modern." �Gamal al-Ghitany, novelis Mesir terkemuka Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Rimbun Natamarga [Oleh Rimbun Natamarga] Tiba-tiba saja saya ingat Senja di Jakarta karya Mochtar Loebis, ketika membaca Apartemen Yacoubian Alaa Al-Aswany. Cerita-cerita yang dibawa, penceritaan cerita-cerita itu, cara pengambilan latar-latar belakang cerita-cerita itu, pemplotan cerita-cerita itu nyaris sama. Bedanya, Senja di Jakarta itu di Jakarta, Apartemen Yacoubian itu di Kairo. Mochtar Loebis melukiskan Jakarta pada tahun-tahun akhir 50-an. Ia mengangkat potret-potret kehidupan sosial yang saya kira betul-betul buram. Jakarta dalam buku itu dipotret pada skala mikroskopik. Dan jadilah: kejadian-kejadian yang tidak kita temukan dalam buku-buku sejarah tentang kehidupan sosial Jakarta selama ini. Senja di Jakarta segera dicekal oleh pemerintah. Buku itu tidak boleh diterbitkan pada waktu itu. Bagi mereka, kaum antikuariat, buku itu jutru harus diburu dan ditaruh dalam daftar buku-buku wajib punya wajib baca. Hebatnya, di dalam negeri dicekal, di luar negeri buku itu malah diterjemahkan dan diterbitkan. Alaa Al-Aswany mencoba melukiskan potret-potret kehidupan di Kairo di awal milenium kedua secara mikroskopik. Seperti Mochtar Loebis, ia tidak menjalin satu cerita yang tunggal. Ada beberapa kisah. Dan kunci semua kisah itu adalah Apartemen Yacoubian. Dari apartemen itulah, Alaa menggelar potret-potretnya. Dari melihat potret-potret itu dan jelas bukan satu potret saja, kita para pembaca baru dapat menarik makna yang kita inginkan. Masing-masing cerita tidak menyinggung cerita yang lain. Bahkan masing-masing protagonis tidak mengenal protagonis-protagonis dalam cerita-cerita lain, meskipun tinggal di satu apartemen yang sama. Saya pikir, aneh juga. Ketika dalam satu cerita terjadi keributan, tokoh protagonis lain yang tidak tidak jauh di situ tidak merasakan apa-apa. Logikanya, seharusnya cepat atau lambat tokoh itu pasti akan tahu walau hanya sebatas gosip dari tetangga tentang keributan-keributan yang terjadi. Yang menarik untuk saya singgung, Apartemen Yacoubian tidak melukiskan Kairo seperti yang dilukiskan Habiburrahman el Shirazy. Kairo Alaa adalah Kairo yang kecil, yang semrawut, timpang, busuk dan tidak pernah saya lihat. Selama ini, saya melihat Kairo dari Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih I, Kemarau Kemarahan Mohammed Haikal, dan sempat pula dari sebuah buku Nawaal el Sadawi yang saya lupa judulnya. Dari semua itu, Kairo terkesan sebagai kota tua yang eksotik, kota seribu menara. Hanya beberapa penggal saya lihat potret Kairo yang beda. Di Ketika Cinta Bertasbih I, Kairo terpotret pada kehidupan kampus Al-Azhar dan beberapa masjid, juga di beberapa flat mahasiswa dan rumah sakit. Di tempat-tempat itu, tentu saja tidak ada pelacuran. Pemerkosaan juga tidak ada. Kairo terkesan hidup oleh kegiatan belajar mahasiswa yang tak henti-henti. Penghuni Kairo adalah laki-laki rajin yang tampan, gadis-gadis yang menawan memberi seribu impian. Di Ayat-Ayat Cinta, Kairo nyaris tak ada beda juga. Tapi di sini Kairo sempat dilukiskan dengan sedikit bewarna. Ada warna hitam, ketika kita dibawa ke balik kehidupan penjara. Dan kita segera tahu: ada yang tidak beres dalam sistem birokrasi di Kairo. Lagipula, kita dipaksa melihat busuknya aparat-aparat setempat. Kita juga dikenalkan pada tabiat asli �anak-cucu Fir�aun� di sana. Nawaal el Sadawi memberi sepotret kehidupan penjara perempuan. Dan lihat, betapa muramnya di situ, meski di situ tak ada cerita tentang seksualitas sesama perempuan laiknya yang terjadi di penjara-penjara perempuan kita. Mohammed Haikal juga. Ketika disekap di penjara tanpa proses hukum, ia bercerita tentang kehidupan penjara yang, kalau dipikir-pikir, masih-masih layak yang ada di Indonesia, sebagaimana yang dilukiskan Mochtar Loebis dalam Catatan Subversif atau Arswendo Atmowiloto dalam Catatan Para Ratib. Di Apartemen Yacoubian, saya disodori potret kehidupan seorang homoseks. Saya juga diperlihatkan potret-potret kehidupan sosial orang-orang pinggiran, baik itu terpinggir karena finansial atau karena pilihan sendiri. Ada lagi potret orang-orang yang pernah tahu bahwa Kairo pernah menjadi Paris di Timur Tengah, ketika menjalani akhir senja mereka. Kita bisa lihat potret-potret kehidupan orang-orang Islam radikal. Mereka ada dan mengampung. Anehnya, saya sempat bertanya-tanya, pemerintah Mesir seperti tidak tahu bahwa di situ orang-orang tersebut merencanakan kegiatan-kegiatan menentang pemerintah. Padahal, Kairo tidak pernah sepi dari kegiatan Islam radikal, seperti muncul dan terus beranak-pinak. Pelacur-pelacur pun ternyata tidak hanya perempuan di Kairo. Ada banyak laki-laki yang menjajakan tubuh mereka bukan buat seorang tante-tante yang kesepian, tetapi hanya untuk laki-laki lagi yang mereka sudah jadi homoseks sebagai pilihan hidup. Lucunya, mereka masih menganggap Tuhan itu ada, pernah melarang manusia untuk menjadi seorang homoseks, dan sempat pula mengazab kaum Nabi Lut. Menyadari bahwa semua ini adalah potret-potret mikroskopik, saya ingat kembali Y.B. Mangunwijaya. Romo Mangun, sebagaimana ia biasa dipanggil orang, adalah agamawan yang menganjurkan generasi muda agar selalu melihat foto-foto mikroskopik seperti itu. Atau, dalam istilah Romo Mangun, memperhatikan foto-foto rontgen, sinar X, yang jelas tidak menarik itu. Kehidupan masyarakat sebenarnya, kata Romo Mangun sebagaimana saya kutip dengan bebas dari esai-esainya yang terkumpul dalam Puntung-Puntung Roro Mendut dan Impian dari Yogyakarta juga Politik Hati Nurani, tidak melulu dapat kita lihat dalam foto-foto close up yang cantik aneka warna. Kita harus melihat foto-foto sinar x itu. Seorang yang TBC, atau katakanlah patah tulang, ketika melihat dari foto-foto biasa yang bewarna atau hitam-putih hanya akan memberikan gambaran yang melulu bagus dan cantik. Keadaan sebenarnya tentu tidak akan terlihat dengan foto-foto seperti itu. Pada akhirnya, ketika selesai dari Apartemen Yacoubian, saya hanya merasa seperti orang yang baru dibawa ke sudut-sudut kumuh Jakarta. Saya seperti baru melihat gubuk-gubuk kardus, warna hitam kali Ciliwung, penggusuran-penggusuran, tawuran antara STM Boedoet dan STM-STM yang lain tengah tahun 90-an, pemalakan di Pasar Ular Jakarta Timur, mbak-mbak di Kramat Tunggak, dan RSJ di Grogol.[] ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |