|
Sinopsis Buku: Akhir Juni 2004, Indonesia dikejutkan berita heboh 73.259 ton gula ilegal. Selama lebih dari 2 pekan, media massa nasional tak bosan mencari jawaban siapa pemilik gula itu, dan bagaimana bisa 'barang' penuh sengketa itu masuk ke Gudang Bea Cukai?!? Sebagai anggota WTO yang patuh, Indonesia menjadi korban petaka industri pertanian neoliberal. Ancaman di balik masuknya gula impor seperti di atas niscaya terjadi pada komoditi pertanian lainnya. Di tahun 1998, pasar domestik Indonesia diserbu 7,2 juta ton beras impor. Bersama WTO, Indonesia merosot dari negara net eksportir pangan menjadi net importir pangan serta menjungkirkan balik predikat swasembada beras tahun 1984.
"Gula itu pahit," tukas penulis buku ini. Padahal kecap lidah tak berbohong, lalu siapa menipu kita? Pemerintah dan lembaga-lembaga internasional jawabnya. Atas sponsor IMF dan Bank Dunia, sejak Februari dan September 1998, pemerintah meliberalisasi perdagangan beras dan gula dengan membabat bea masuk hingga 0%. Pasar domestik lantas diserbu gula dan beras impor dengan harga miring. Pilihan konsumen memang banyak, tapi sebesar bea itu juga pilihan petani kita: NOL! Coba bayangkan kalau hak hidup Anda dikebiri sedemikian rupa? Para antek neoliberal beralibi, kalau harga beras dan gula murah, kebutuhan masyarakat akan tercukupi dan ekonomi kita akan kuat. Benarkah? Kenyataannya, anjloknya harga beras dan gula justru memukul kehidupan para petani, dan merongrong ketahanan pangan kita. Amburadulnya kebijakan pangan nasional tak lepas dari campur tangan agen-agen neoliberalisme. Atas tekanan Bank Dunia dan IMF, pemerintah juga meliberalisasi secara radikal sektor pertanian yang dihuni jutaan petani gurem tanpa tunjangan infrastruktur yang cukup. Buku ini merangkai titik-titik hulu hingga hilir siasat penaklukan petani, seraya mengungkap penipuan besar-besaran oleh pemerintah dengan lembaga-lembaga internasional sebagai promotornya. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |