|
Sinopsis Buku: Motif tindak korupsi saat ini sudah bukan lagi soal kebutuhan hidup, melainkan KERAKUSAN GAYA HIDUP PREDATOR. Inilah pola tingkah laku kebanyakan elite politik dan pemerintahan Indonesia sekarang. Mulai dari mereka yang duduk di jenjang karier paling awal sampai elite teras lembaga tinggi negara.
Repotnya lagi, Indonesia kini telah memasuki era DWIFUNGSI "PENGUASAHA". Semakin banyak pengusaha yang sudah dan akan merangsek masuk ke dalam sistem dan rezim politik menjadi penguasa. Hal ini tentu rawan dengan intrik politik dan konflik kepentingan yang bisa mengarah pada skala korupsi yang jauh lebih mengerikan dan negara terancam menjadi sandera. Apalagi, Indonesia saat ini belum begitu mengenal wacana konflik kepentingan yang bahkan di negara demokrasi mapan juga masih relatif baru. Dalam situasi seperti ini, tentu mustahil mengharapkan KPK bisa menjadi malaikat dalam pemberantasan korupsi, sekalipun lembaga tersebut sudah diberi kekuasaan sedemikian besar nyaris tanpa kontrol dan tanggung jawab, kecuali terhadap diri sendiri. Tidak ada jaminan sedikit pun bahwa mereka tidak akan melakukan tebang-pilih. Sebaliknya, KPK juga tidak bisa diandaikan dapat menjadi seperti Ayub yang meskipun dibuat terpuruk tetap setia kepada iman. KPK pada kenyataannya harus diberi gaji khusus dan perlakuan istimewa, dan tetap saja ada yang terlibat pemerasan atau penyalahgunaan wewenang khususnya. Maka dari itu, buku ini menawarkan pendekatan dan solusi komprehensif yang sama sekali berbeda. Berdasarkan studi perbandingan empiris dengan negara lain dan sejarah pemberantasan korupsi sejak zaman demokrasi liberal, ada trio senjata pamungkas yang disodorkan: UU Amnesti Berpenalti, UU Pembuktian Terbalik, dan UU Anti-Konflik Kepentingan. Hanya dengan cara ini, RI bisa diselamatkan dari ancaman para predator penyandera negara. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |