|
Sinopsis Buku: "Tahun demi tahun, saya jadi seorang pengelana, berpindah dari satu kota ke kota lain, naik-turun kapal laut, mobil dan pesawat terbang. Saya menyadari bahwa seorang pencerita juga harus jadi pengelana; tak henti mencari cerita baru, perskpektif yang beda juga orang-orang yang mau mendengarkan ceritanya. [...]
Dengan begitu, saya menjadi pengumpul cerita. Para Pekerja Seks Komersial (PSK) di Surabaya, penyanyi, petani sawit, penjual bakso, petani di sawah, bankir, tukang becak, dan guru--semua telah membuka diri pada saya. Karena itulah saya menyusun rangkaian cerita yang tak ada habisnya--kisah-kisah yang secara perlahan tapi pasti telah memberikan keakraban, pemahaman, dan rasa sayang dalam perjalanan saya melintasi Indonesia." Dalam Ceritalah Indonesia, Karim Raslan, cendekiawan Malaysia merangkap kolomnis internasional, berkisah tentang royan 1998. Berbeda dari kolumnis selebihnya, ia mengangkat suara-suara lirih dari pelipir Nusantara, dari kedai-kedai kopi di Tung Tau, di perdesaan di Lintau, Alban Lompor dari Bugis yang kini tinggal di Tawau, Ustaz Khoiron yang berdakwah di kompleks penjaja-cinta Bangunsari, atau pun Dendy Dharman yang melalui desainnya membuat Indonesia mampu bersaing dengan raksasa dagang Tiongkok. Debut Gus Dur, Islam Liberal vs. Islam Literal, kerusuhan Maluku, kemenangan SBY, penahanan Bibit dan Chandra, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Seperti apakah kiranya Indonesia pasca-Soeharto? Akankah negara kesatuan Indonesia mampu bertahan dan bersaing di arena global? Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |