Cari berdasarkan:



What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya
 


Maaf, stock buku kosong atau out-of-print.


What the Dog Saw, dan Petualangan-Petualangan Lainnya 
oleh: Malcolm Gladwell
> Psikologi » Umum & Dewasa

Penerbit :    Gramedia Pustaka Utama
Edisi :    Soft Cover
ISBN-13 :    9789792252491
Tgl Penerbitan :    2010-01-14
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    480
Ukuran :    135x200x0 mm
Sinopsis Buku:
Apakah John Kennedy, Jr. tercekat atau panik ketika mengemudikan pesawat yang akhirnya mengalami kecelakaan yang menewaskannya?
Mengapa terdapat lusinan jenis moster tapi hanya satu jenis saus tomat?
Apa peran pewarna rambut dalam sejarah abad kedua puluh?

Selama dekade terakhir ini, Malcolm Gladwell telah menulis tiga buku yang dengan radikal mengubah bagaimana kita memahami dunia kita dan diri kita: The Tipping Point, Blink, dan Outliers. Kini dalam buku ini, What the Dog Saw, dia untuk pertama kalinya mengumpulkan tulisan-tulisan terbaiknya yang dimuat di The New Yorker dalam periode yang sama.

Dalam buku ini, Anda akan menemukan kisah pahit manis penemu pil KB, dan kreasi mennakjubkan pionir saus pasta Howard Moskowitz. Gladwell berbincang dengan Ron Popeil, raja dapur Amerika, sembari Popeil menjual oven rotisserie-nya, dan mengungkapkan rahasia Cesar Millan, sang pawang anjing, yang dapat menenangkan anjing galak dengan sentuhan tangannya. Gladwell mengeksplorasi tes kecerdasan dan pembuatan profil berdasarkan etnis dan mengapa petinggi-petinggi di Lembah Silikon amat sangat tertarik untuk mempekerjakan seorang lulusan college yang sama.

"Tulisan yang bagus," ungkap Gladwell dalam kata pengantar, "dinilai berhasil bukan dari kekuatannya untuk mempersuasi. Tulisan yang baik dinilai berhasil jika tulisan tersebut mampu memikat Anda, membuat Anda berpikir, memberi Anda kilasan pikiran seseorang." What the Dog Saw adalah satu lagi contoh semangat tak kenal kenal dan keingintahuan yang tak habis-habisnya yang telah membuat Malcolm Gladwell seorang penyelisik paling brilian tentang hal-hal istimewa yang masih tersembunyi.




Resensi Buku:

  Belajarlah Hingga ke Lubuk Kepala Anjing
oleh: yahya mahmud
Andai saja Malcolm Gladwell bersikeras memenuhi impiannya menjadi pengacara, atau tetap nekat (setelah ditolak delapan belas kali) melamar kerja ke biro iklan, bisa jadi penulis berambut kribo itu justru tidak akan begitu dikenal di sini. Untung saja nilai sarjananya kurang bagus, hingga ia tak perlu kuliah pasca sarjana, dan memutuskan untuk menulis -- pekerjaan yang menurutnya berat, serius, tetapi juga asyik, dan dari situ ia membuka mata banyak orang melalui buku-buku larisnya, The Tipping Point, Blink!, Outliers, dan buku terbarunya, What the Dog Saw (PT Gramedia Pustaka Utama, Januari 2010, 457 halaman). Buku keempat dengan judul menggelitik itu berisi kumpulan tulisan MG di majalah The New Yorker sejak tahun 1996. Dipilih berdasarkan kriteria terfavorit menurut penulisnya sendiri, buku ini sekaligus menguak sedikit dapur kreatif MG, sesuatu yang telah lama mengundang penasaran para pembacanya (dan mungkin juga para penulis lainnya). Di mana Anda mendapatkan ide, begitu MG kerap ditanya. Pertanyaan yang ternyata sulit dijawab oleh seorang penulis produktif seperti MG, apalagi buat penulis yang sering kebingungan mendapatkan ide. �Kuncinya,� demikian MG akhirnya memberikan saran, �meyakinkan diri sendiri bahwa semua orang dan segala hal punya cerita.� Sayangnya, untuk menumbuhkan keyakinan ini ternyata tidak mudah, karena �naluri kita sebagai manusia adalah menganggap sebagian besar hal tidak menarik.....jika mau menjadi penulis, Anda harus melawan naluri itu saban hari.� Maka, seperti mengukuhkan pendapat tadi, mengalirlan kisah tentang orang-orang yang oleh MG disebut para genius minor. Alih-alih menceritakan tokoh yang kerap disebut namanya dalam sejarah, di bagian satu buku ini MG mengangkat cerita tentang sales person alat rumah tangga yang pantang menyerah, pencipta saos tomat yang jeli, penulis iklan produk pewarna rambut, penemu pil KB, pelatih anjing dan mungkin satu-satunya kisah tokoh yang �agak terkenal�, yaitu kisah tentang Nassim Taleb, seorang pemain di bursa saham sekaligus penulis buku laris The Black Swan. Dengan semangat �semua orang punya cerita�, lahirlah kisah-kisah yang akan membuat kita terpukau dan mulai menyetujui tip dari MG tadi. Ambil contoh kisah tentang �pawang anjing� bernama Cesar Millan, yang judul tulisannya dijadikan judul buku ini. Lelaki Meksiko itu menyeberang dari Tijuana ke San Diego, membawa serta bakatnya sebagai el Perrero (�bocah anjing�), memulai kerja di salon perawatan anjing hingga memiliki bisnis sendiri Dog Psychology Center, pusat penanganan anjing-anjing bermasalah. Awalnya, MG memang bercerita tentang Millan dan seluk beluk pekerjaan seorang pawang anjing. Kemudian ia mengulasnya dari sudut pandang seorang ahli antropologi yang meneliti bagaimana sebenarnya anjing memandang manusia. �Anjing benar-benar tertarik kepada manusia,� kata kata sang antropolog. �Tertarik sampai ke tingkat terobsesi. Bagi anjing, Anda adalah bola tenis raksasa yang bisa berjalan.� Dari situ MG lalu memasukkan pendapat dua ahli lain. Kali ini ahli perilaku dari University of Wisconsin yang pernah menulis tentang interaksi manusia dengan anjing dan seorang lagi pakar gerakan dan ketua jurusan tari dari University of Maryland. Penjelasan dari kedua pakar ini membawa kisah Cesar Millan bergerak ke uraian menarik tentang bahasa tubuh, bagaimana �membaca� seseorang dari gerakan-gerakan anggota tubuhnya, bagaimana sikap tubuh seseorang tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang tersimpan di lubuk hatinya -- sesuatu yang kemudian bisa �dibaca dengan baik� oleh seekor anjing. MG menutup kisah ini dengan menyinggung ironi seputar hubungan antara manusia dan anjing, saat kedekatan mereka itu justru mulai merusak hierarki hubungan yang seharusnya, saat manusia bisa lebih dekat dengan seekor anjing dibanding manusia lain, sesuatu yang pernah terjadi pada diri Cesar Millan, pria yang mampu memahami anjing-anjing bermasalah namun gagal memahami orang terdekatnya sendiri: istrinya! Masih terkait dengan �segala hal punya cerita�, di bagian kedua dan ketiga buku ini MG menampilkan beberapa kisah seputar kekeliruan manusia memahami informasi yang membanjir di sekitar mereka. Informasi yang melimpah dan mudah didapat dengan bantuan berbagai perangkat teknologi canggih rupanya membawa persoalan tersendiri. Contoh paling menarik untuk kasus ini adalah kegagalan intelijen AS mengantisipasi serangan teroris 9/11. Penyebabnya bukan karena informasi yang kurang! Divisi kontrateroris FBI mendapat enampuluh delapan ribu petunjuk yang belum ditelusuri sejak 1995. Termasuk di dalamnya transkrip percakapan dua orang anggota al-Qaeda yang belakangan (setelah kejadian 9/11) tampak sangat meyakinkan sebagai percakapan untuk merencanakan serangan itu. Masalahnya, tak semua petunjuk itu bisa dibuktikan kebenarannya. Kalau pun benar, belum tentu relevan. Sebagaimana pada buku-buku sebelumnya, melalui tulisan-tulisan singkat di buku ini MG juga banyak menyentil berbagai persoalan yang sudah dianggap �selesai�, dengan menampilkan argumen yang boleh dibilang melawan arus. Misalnya saja pada kasus Enron, perusahaan raksasa energi AS, yang menyeret pendirinya, Jeffrey Skilling, ke pengadilan federal atas tuduhan penipuan. Skilling dinyatakan bersalah karena berbohong kepada para investor mengenai berbagai aspek bisnis Enron. Ia dijatuhi hukuman 24 tahun penjara, salah satu hukuman terberat yang pernah dijatuhkan kepada pelaku kejahatan kerah putih. Benarkah Skilling bersalah? Tidak sesederhana itu ternyata. Inti tuduhan jaksa, Skilling dinyatakan bersalah karena dianggap menyembunyikan berbagai informasi penting dari para investor, termasuk kebenaran menyangkut kondisi keuangan perusahaan. Benarkah Skilling menyembunyikan �sesuatu�? Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Pertama, sebagai perusahaan publik, Enron selalu mempublikasikan laporan keuangan mereka yang bisa segera dianalisis oleh para pemerhati investasi di Wall Street, termasuk para wartawan ekonomi. Seorang wartawan Wall Street Journal bernama Jonathan Weil menelisik penggunaan mark to market accounting, yang biasa dilakukan perusahaan-perusahaan termasuk Enron. Dengan mark to market accounting itu, perusahaan akan mengakui bahwa uang yang mereka anggap sebagai pendapatan mencakup juga pendapatan yang mereka harapkan akan didapat. Saat Weil meminta konfirmasi dari Enron, para eksekutif Enron datang dan terlibat diskusi dengan Weil. �Tidak ada perselisihan soal angka,�kata Weil. �Yang ada hanyalah perbedaan cara menafsirkannya.� Jadi, informasi mana yang disembunyikan Skilling? Hal kedua, berkaitan dengan rumitnya informasi di zaman ketika berbagai model bisnis tidak mudah lagi dipahami sembarang orang, bahkan oleh orang dalam perusahaan sendiri. Dalam kasus Enron, pengungkapan (disclosure) aspek-aspek bisnis perusahaan itu melibatkan dokumen setebal tiga juta halaman. Upaya untuk meringkas, dan membuat ringkas lagi ringkasan itu, menghasilkan dokumen setebal seribu halaman spasi tunggal yang tetap tak mudah dipahami. Jonathan Macey, profesor hukum Yale, mengatakan bahwa dalam kasus Enron, kebenarannya tidak tersembunyi, �Tapi laporan keuangannya harus Anda baca dan Anda tanyakan kepada diri sendiri,�Ini apa maksudnya?�. .....Dan itu intinya. Tidak ada yang bertanya.� Tahun 1998, tiga tahun sebelum kebangkrutan Enron, kata Macey, enam orang mahasiswa Cornell University membuat tugas yang menganalisis laporan keuangan Enron. Mereka menganalisis setiap tiap cabang bisnis Enron, menggunakan berbagai alat statistik yang dirancang untuk mencari pola dalam performa keuangan perusahaan, meneliti berhalaman-halaman catatan kaki, mengajukan banyak sekali pertanyaan. Dan hasilnya, persis dengan kesimpulan wartawan Wall Street Journal menjelang kebangkrutan Enron tahun 2001, bahwa saham Enron overpriced. Menyimak pemaparan pendapat MG di buku ini, anda boleh saja tidak setuju, atau mungkin tidak yakin--mengingat pada buku-buku sebelumnya MG mengulas satu topik dalam satu buku penuh, hingga tulisan-tulisan di buku ini jadi terasa amat pendek. Tidak masalah. Sebagaimana diungkapkan MG di bagian pengantar, �Tulisan yang bagus.... dinilai berhasil bukan dari kekuatannya untuk meyakinkan. Tulisan yang baik dinilai berhasil jika mampu membuat Anda terlibat, berpikir, memberi Anda kilasan berpikir seseorang.� Ia menyentil, membuat orang berani mempertanyakan kembali narasi yang sudah dianggap final, dan pada akhirnya mendorong untuk �bertualang� menelusuri sisi-sisi tersembunyi, mencari jawaban, kalau perlu sampai ke lubuk kepala seekor anjing.


Add your review for this book!



Buku Lainnya oleh Malcolm Gladwell:
Ketika Si Lemah Menang Melawan Raksasa
Rp 70.000     Rp 59.500
Nama Daud dan Goliat mewakili pertarungan antara si lemah dan raksasa. Kemenangan Daud tak terduga dan ajaib. Seharusnya dia tidak ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku yang dikarang oleh Malcolm Gladwell  »


Tentang Pengarang:

Malcolm Gladwell is a staff writer for The New Yorker. He are formerly a business and science reporter at the Washington Post. He is the author of The Tipping Point and Blink, both of which have become #1 New York Times bestsellers as well as bestsellers in translation throughout the world. [selengkapnya]




Buku Sejenis Lainnya:
oleh Richard Templar
Rp 33.000
Rp 24.750
  [selengkapnya]
oleh Fuad Hassan
Rp 130.000
Rp 110.500

“Tiga karya yang terhimpun dalam buku ini dapat dipahami sebagai rangkaian yang berkesinambungan. Bagian pertama mengantar kita masuk ke ...  [selengkapnya]

oleh Thomas Armstrong
Rp 55.000
Rp 46.750
  [selengkapnya]
oleh Prof. Furqon, M.A., Ph. D., Dr. Aip Badrujaman, M. Pd.
Rp 45.000
Rp 38.250

Layanan dasar merupakan salah satu layanan dalam program bimbingan dan konseling yang penting. Bahkan, dalam kurikulum 2013, disebutkan alokasi ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku sejenis »




Advertisement