|
Sinopsis Buku: International Bestseller�Terjual 10.000 Eksemplar dalam Tiga Hari
Bayangkan � ada orang yang memiliki kekuatan istimewa untuk memengaruhi pikiran dan perasaan kita saat kita membaca buku. Mereka bukanlah penulis yang bukunya sedang dibaca, melainkan para Lector�anggota perkumpulan rahasia. Mereka bisa menggoda kita dengan cerita mengagumkan, menjadikan dunia yang ada dalam buku terasa begitu nyata. Namun, mereka juga bisa menjerumuskan kita untuk memikirkan apa pun yang mereka inginkan. Ketika Luca Campelli meninggal secara mendadak di antara buku-buku yang dia cintai, anaknya mewarisi toko buku bekas, Libri di Luca, di Copenhagen. Jon, nama sang anak, tidak pernah benar-benar mengenal ayahnya. Mereka telah berpisah selama dua puluh tahun sejak kematian ibunya yang misterius. Kematian Luca diikuti dengan serangan untuk membakar toko buku itu. Sementara itu, Jon baru saja mengetahui bahwa toko buku itu menyimpan rahasia yang sangat penting selama bertahun-tahun. Toko itu menjadi tempat pertemuan pencinta buku. Merekalah yang menjaga tradisi kekuatan besar yang diturunkan dari masa perpustakaan besar Alexandria. Sekarang, seseorang berusaha menghancurkan perkumpulan itu. Sebagai pewaris, Jon menyadari dia harus berjuang menyelamatkan teman-teman barunya itu. Kini dia seakan-akan memiliki identitas baru�siang sebagai pengacara dan malam sebagai penyelidik konspirasi rahasia. Dia ditemani Katherina, anggota perkumpulan yang mengidap dyslexia, dan Muhammad, imigran ahli teknologi informasi yang hidup dari mengikuti berbagai kontes di internet. Resensi Buku:
Mohon Maaf oleh: Desi Febriansyah HHmmm...yang di atas itu review apaan ya? Saya ingin membaca review mengenai "Libri di Luca" tapi dibaca sampai pusing malah menyebut-nyebut transmigrasi... Ya, saya suka Dan Brown, tidak bertele-tele. Menyadari Aura Suatu Buku oleh: Rimbun Natamarga Ketika pertama kali membaca Ecstasy Gaya Hidup Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, Bandung, 1997), saya disadarkan bahwa tidak setiap buku itu sama. Ada beda yang sebenarnya mencolok tapi sering luput pada diri pembaca. Buku, betapa pun bagusnya, adalah suatu produk yang dihasilkan manusia. Tentu saja, tidak termasuk kitab suci Al-Qur�an, Injil, Zabur, dan Taurat Musa. Sebagai suatu produk, buku dapat digolongkan ke dalam produk bermutu dan produk tidak bermutu. Biasanya, produk-produk tidak bermutu mengalami proses pendangkalan ketika diproduksi. Pendangkalan yang dimaksud dapat muncul dalam makna yang dikandung atau proses pengadaan itu sendiri. Dari itu semua, kita melihat ada buku-buku yang terkategori sebagai buku produk budaya massal. AURA SUATU BUKU Dalam buku-buku kategori itu, meski kita bisa larut di dalamnya, identitas kita tidak mengalami penguatan. Kita tidak tercerahkan. Dalam artian lain, kita tidak mendapatkan suatu pengalaman bermakna yang dapat kita pakai sebagai bahan refleksi. Diri-diri menjadi seseorang tanpa kepribadian dan sudah pasti lompong. Buku-buku produk budaya massal biasanya tidak memiliki aura yang kuat. Ini sebagaimana dikatakan Katherina dalam Libri di Luca. Ia, sebagai seorang perempuan muda dan buta huruf, dapat menegaskan bahwa buku-buku seperti buku Servantes, Frans Kafka, Soren Kiekegaard memiliki kekuatan yang dapat menarik seseorang. Buku-buku itu seperti seseorang yang berkepribadian, tegas, memiliki prinsip dan juga konsistensi hidup. Katherina dapat merasakannya tanpa membaca semua itu. Tentu saja, pendapat itu adalah temuan hebat dalam dunia perbukuan. Seakan-akan memperkuat anggapan yang telah dijabarkan oleh para sosiolog yang meneliti gejala-gejala konsumerisme sejak pertengahan abad ke-20 lalu. Budaya massa itu sendiri mengarah pada berbagai produk dan praktek-praktek kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur peran dan status, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga berselera dangkal. Bagi mereka yang larut dalam budaya massa, produk-produk budaya massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi, (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk menolaknya. Umur produk-produk itu relatif sementara. Agar dapat mengenali produk-produk budaya massa, kita dapat melihat ciri-ciri yang menyertainya. Sebab kebudayaan massa adalah akibat dari massifikasi. Adapun massifikasi sendiri, terjadi bila orang kebanyakan memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor budaya, sekalipun industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya. Ciri pertama adalah objektivasi; artinya, pemilik hanya menjadi objek, yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya. Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alienasi; artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup. Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan produk budaya. Terakhir, ciri ketiga adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa mendapatkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebagai pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa. NALURI MANUSIA Dapat kita bayangkan, bagaimana jika buku-buku yang bukan produk budaya massa dikumpulkan pada satu rak atau satu ruangan. Dari tempat itu akan muncul kekuatan yang menarik dan mendorong para pencinta buku untuk berkumpul di dalamnya dan menikmati suguhan buku yang ada. Mereka akan larut dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk cita rasa dan kepuasan tertentu. Ini, barangkali dapat disamakan dengan toko yang menjual aneka masakan enak dan berkualitas. Kita saksikan sendiri, bagaimana orang-orang berdatangan untuk mendapatkan kepuasan makan dan bukan sekadar mendapatkan imej bergengsi di hadapan orang-orang. Mereka sadar, tidak murah untuk itu. Tapi, untuk sebuah cita rasa, lidah-lidah mereka tak dapat menipu. Dari dua contoh itu, kita dapat ambil pelajaran. Suatu hasil produksi dapat kita rasakan baik-buruknya. Diri-diri manusia memiliki naluri untuk mengatakan baik dan mengatakan buruk pada sesuatu. Kemampuan itu penting, bahkan mungkin itu adalah sesuatu yang dibawa seseorang sejak kelahirannya. Perjalanan hidupnya kemudian yang mengasah atau menumpulkan kemampuan itu. Hidup memang sering membuat manusia merasa jenuh. Rutinitas, kata Umar Kayam, dapat membunuh seseorang. Jadilah kemudian pribadi-pribadi yang tumpul. Ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya, ia, orang yang tumpul itu, tidak mampu lagi untuk membedakan mana yang berkualitas, mana yang sama sekali tidak berkualitas. Celakanya, dalam keadaan jenuh itu, seseorang sering kali memilih sesuatu yang bersifat dangkal dan, ya, produk budaya massa. Saya tidak ingin berceramah tentang buruknya budaya massa. Sebab saya tidak bisa selamanya mengatakan bahwa produk-produk budaya massa itu buruk. Bahkan, adakalanya saya memanfaarkan produk-produk budaya massa itu untuk menghilangkan status kejenuhan saya. Kita memang harus menginsafi bahwa kita adalah manusia-manusia jenuh. Setiap hari malah kita terbunuh dalam rutinitas kita. Hidup kita lancar, datar, tanpa lompatan-lompatan yang menegangkan, dan memang kita menyukai hidup yang seperti itu. Adalah wajar, kiranya, kita pun enggan untuk ikut program transmigrasi yang pernah dicanangkan pemerintah. Transmigrasi adalah hidup yang tak datar, tak pasti, dan jelas butuh vitalitas hidup yang hebat untuk menjalaninya. Hanya orang-orang yang berani hidup seperti itu yang akan menerimanya. Kita lebih menyenangi membaca The Lost Symbol Dan Brown daripada membaca Saman Ayu Utami. Dan Brown lebih genial dan tentu saja tidak bertele-tele. Kita suka itu.[] Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |