|
Sinopsis Buku: September 2003 di Jogja, saya pernah diajak Mail untuk ikutan seleksi komik strip di Kompas Minggu. Teknisnya gampang banget, tinggal kirim contoh komik strip ke salah satu email redakturnya. Tapi sayangnya waktu itu saya nggak cukup punya keberanian untuk ngikutin seleksinya, rasanya minder banget, komik strip tayang setiap minggu perlu ide yang bukan hanya oke, tapi juga up to date. Opini komikus akan bersifat editorial ini menyangkut banyak hal, dateline, aspek konten untuk tidak SARA dan pornografi serta pencitraan media. Ketakutan tidak bisa memenuhi semua itu dan perasaan minder bikin saya urung
Beberapa bulan kemudian, Mail muncul di Kompas Minggu dengan tokohnya: Sukribo -pemuda desa yang sinis nya minta ampun. Setelah melihat beberapa kali karya Mail, minder saya perlahan-lahan hilang "Oh gini doang tokh?" (hahaha... sorry bos, becanda). Mail yang mengutamakan "celetukan" dan itulah ruh nya dari komik strip menginspirasi saya saat setahun kemudian Mas Nur Hidayat (Nurhi) mendatangi kost-kostan saya di Jl Samali 77 untuk mencari pengisi komik strip di Koran Tempo Minggu. Tuhan memberikan kesempatan kedua, setelah saya mengabaikan ajakan Mail dulu dan saya tidak akan melakukannya untuk yg kedua kali. Saat itu Akademi Samali sudah berdiri, ada Hikmat Darmawan dan Zarki yang menjadi tempat saya meminta bantuan konten serta teknis. 15 Mei 2005, Lotif muncul perdana di Koran Tempo Minggu, rasanya saya seperti menjadi hebat waktu itu karena bisa mengalahkan rasa minder yang berkepanjangan, tapi setelah beberapa edisi tayang, perasaan hebat mulai mengendur berubah menjadi beban, takut jika celetukan Lotif tidak setengil Sukribo, sekonyol Benny Mice atau sebagus gambar Panji Koming. Kini, 4 tahun sudah Lotif saya perjuangkan eksis di media nasional group Tempo ini, meski dengan terbata-bata saya coba menangkap persoalan agar Loitf tetap bisa bersuara dan karakternya hadir "nyata" membawa suara zaman. Lotif bukanlah pemuda istimewa, dia biasa saja. Kegiatannya adalah dia menjabat sebagai ketua Tarka di Kelurahan, jabatan fungsional yang bagi sebagian warga setempat nyaris tidak ada gunanya, bahkan tidak ada gajinya, namun Lotif menganggapnya jabatan itu istimewa, karena itulah satu-satunya yang dapat dia banggakan pada orang tuanya. Lotif tidak kritis karena memang dia tidak pintar, seperti namanya Abdul Seotif, maka sifatnya seperti selotip: yakni menjadi perekat antara persoalan dengan lingkungannya, ingat sebagai perekat, perkara dua hal yang direkatkan itu nyambung atau tidak, itu urusan kedua belas. Lotif tidak mampu mengkritik atau mengomentari isu-isu politik tingkat elit, dia hanya mencandai isu sosial dan beberapa politik dalam tingkat tataran akibat yang dirasakan oleh lingkungan sekitarnya, yakni rakyat kecil, bener-bener kecil. Seperti Lili, anak tetangga berusia 11 tahun yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Lili mengamen sepulang sekolah dan berteman dengan Lotif yang pengangguran. Selain membanggakan jabatan ketua Tarka pada orang tuanya, Lotif membanggakan juga pada Nina, pendatang baru dari Tasik yang kost berdekatan dengan kost nya Lotif dan bekerja sebagai SPG di mal dekat kelurahan. Lotif memang perwakilan sosok warga negara yang terlupakan oleh zaman, jutaan pemuda bernasib sama dengan Lotif, pekerjaan sulit dicari akhirnya serabutan menjadi apa saja selama berbiaya, untuk menunjukkan eksistensinya, selain aktif di kegiatan warga biasanya menjadi preman kampung dan menjadi warga negara kelas dua. Kondisi yang tidak berbeda dengan komikusnya, (baru masuk curhat nih). Selama 4 tahun pula saya bertahan menjadi "underdog", Pertama, jika saya memperkenalkan profesi saya sebagai komikus strip (bukan striper, hehehe) mereka mengerutkan dahi, "Apaan tuh?" rasanya sudah ribuan kali saya harus menjawab dengan deskripsi mengenai pekerjaan minor ini. Kedua, jika lawan bicara saya pembaca koran, maka dia akan nyeletuk "Oh, kayak Benny Mice ya?" atau "Kayak Sukribo ya?" dan "Kayak Panji Koming ya?". Dan Ketiga, ini yang lebih memerlukan "Kesabaran Shaolin" adalah tanggapan: "Oh di Tempo.." dan saya harus menyanggah dengan senyum dan mata agak memejam "Bukan, tapi Koran Tempo, korannya, ko...ran" Biasanya dia basa-basi menjawab "Oh Koran Tempo.. bukan majalah ya?" Saat itu fikiran saya sudah melayang ke Rujak Cingur Cemara dekat Kebon Sirih, mendinginkan hati dengan membayangkan es jeruk kelapa muda. Tapi bagaimanapun, saya harus bersyukur bahwa Lotif bertahan hingga kini, tanpa terganggu oleh perjalanan saya keluar kota/ negeri, Lotif adalah perjalanan saya selama menjadi urban di Jakarta (Saya menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta untuk mengadu nasib adalah November 2003). Dari mulai file gambar diantar langsung ke redaksi, kemudian kirim lewat email di wanet sampai akhirnya berlangganan internet sendiri. Kini, Lotif mendapat apresiasi dari salah satu penerbit kecil, untuk diterbitkan dalam bentuk kumpulan, kembali saya merasa hebat, namun saya yakin rasa itu tidak akan berlangsung lama, pasti akan kembali menjadi beban.. apa yang bisa saya berikan pada orang lain melalui buku ini?. Saya harap anda bisa menjawabkan pertanyaan ini untuk saya. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |