|
Sinopsis Buku: Banyak orang terpukau oleh merek-merek beken kelas dunia. Bagi yang mampu membelinya, tentu uang bukan masalah. Tapi bagaimana jika uang pas-pasan namun ingin tampil gaya, trendi, dan branded? Sebagian orang lantas memilih membeli merek palsu. Ada yang menyebutnya produk KW 1, KW super, dll., namun tetap saja barang palsu ya palsu.
Pemalsuan brand marak terjadi di Indonesia. Dunia bajak-membajak barang bukan lagi hal yang baru. Dari penjiplakan yang benar-benar sempurna sampai "pergeseran" produk yang dibajak (misalnya sendal bermerek Nokia : ). Konsumen produk palsu pun beragam, dari rakyat kecil sampai artis ibukota. Regina Kencana (mantan fashion editor A+) yang tadinya sekadar iseng memotret barang palsu lalu posting di blog serasasekali lantas menjadikannya buku Kepleset!. "Keusilan" Regina ini dipandang oleh Muara Bagja sebagai sebuah bentuk kegelisahan terhadap dunia brand dan metafora status. Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: YB. Mahardhika *Oleh: YB. Mahardhika Tampil trendi dan parlente adalah ciri manusia kurun ini. �Aku trendi maka aku ada!�, itulah syahadatnya. Kalau Anda ingin meng-ada, maka intimilah produk mode dunia bermerek Adidas, Nike, Lanvin, Missoni, Tod�s, Sprite, Coca-Cola, Pepsi, Nokia, Polo, Burberry, Rolex, Guess, Calvin Klein, KFC, Mc. Donald dan lain semisalnya. Sebab hampir semua orang yang ada di sini adalah mereka yang telah mendadahi barang-barang berjenama global (global brand) di atas. Ikutilah mereka! Bila tidak, Anda akan ditulahi sejarah sebagai makhluk berfiil na�f, ndeso, dan katro. Mujurlah siapa yang tunak pada syahadat itu, terutama mereka yang berkelewahan uang. Bagaimana nasib mereka yang layuh ekonominya tapi tetap ingin bergaya trendi? Membajak dan memakai barang bajakan. Itulah jawaban yang ditemukan oleh Regina Kencana, penulis buku Kepleset! Gerundelan Tentang Gaya Hidup ini. Melalui buku ini Regina menampilkan dokumentasi visual tentang �edisi bajakan� produk global brand yang berhamburan di pusat perbelanjaan kita. Umumnya barang-barang kacangan itu menghariba dengan nama, kemiripan bunyi, logo, warna dan huruf yang hampir tidak berbeda dengan 'edisi aslinya'. Puaknya pun bermacam-macam. Mulai dari sandal, tas, kosmetik, sampai pakaian dalam. Misalnya di halaman 13 dan halaman 40-43, Regi mengabarkan kepada kita bahwa ternyata ada sandal bermerek Buberry, Nokia, Oprah Winfrey, dan Faras Hilton. Ada tas koper PQLQ, dasi kupu-kupu LANIN, sepatu EAGEL, celana dalam Calven Kiein (hlm. 11-17). Ada juga kaus kaki Aridas/Adimas/Alidas (hlm. 24-25), tas jinjing Fuma (hlm. 64), hingga celana Jeans Mercedes Benz (hlm. 21). Barang-barang itu dijepret oleh penulis buku yang pernah menjadi stylish film Bangsal 13 ini tidak saja di pasar yang ada di Indonesia, akan tetapi juga di Singapura. Muasal Kepleset! Berasaskan temuan buku ini, terpetik sebuah kesimpulan ihwal tradisi pembajakan yang telah berselit-selit dalam daur hidup kita. Kelanggengannya berjodoh dengan semboyan patah tumbuh hilang berganti atau patah satu tumbuh seribu. Bahkan jasa bisnis amuba ini telah tercena sebagai cagak ekonomi seberinda masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak ganjil kalau �amal usaha� ini mampu melebarkan sayapnya ke dalam sektor teknologi informasi, software komputer, DVD/VCD, musik dan lagu, onderdil kendaraan bermotor, obat-obatan, makanan, buku, barang-barang elektronik, hingga dunia fashion & beauty. Khusus untuk pembajakan produk mode dunia, buku ini menyebutnya sebagai kepleset!. Sebuah ketergelinciran aktor-aktor sosial yang palar berlari kencang namun sayangnya kaki terbelenggu. Akibatnya mereka terjerembab ke dalam arus bajak-membajak. Itulah anggitan yang dirangkai Chusnato, editor buku ini, dalam kata pengantarnya (hlm. 5). Sorotan Muara Bagdja dalam catatan penutupnya malah lebih satir lagi. Ia menuding mereka yang kepleset itu sebagai orang-orang yang gagap dan gugup dalam berkenalan dengan benda berkelas dunia. Akhirnya ingkar pada asas orisinalitas dalam memroduksi dan membeli adalah pilihan yang halal dicontreng. Apa mau diujar, tidak ada rotan kayu pun jadi. Biar palsu yang penting bisa ikut bergengsi dan tampil trendi (hlm. 97). Kepleset Tapi Memlesetkan Benarkah tradisi bajak-membajak hanya sesahaja soal kepleset dan sececah amar gengsi? Apakah kepleset merupakan jawaban tunggal dalam hawa kolonialisme global brand dan iklim keterpurukan ekonomi saat ini? Tidak! Kalau hanya sesimpel itu tentu akar pembajakan tidak akan terpacak kuat di dalam tlatah peradaban kita. Ini artinya pembajakan pasti dilakukan oleh subjek yang sadar, pintar, profesional, dan memiliki �misi khusus�. Meminjam analisis poskolonialis Homi K. Bhabha, sesungguhnya perkara pembajakan lebih labut untuk dicacah sebagai mimikri, yaitu tindak peniruan atau penjiplakan sebuah fenomena. Mimikri ini disengajakan menjadi siasat perlawanan oleh subjek yang ter(di)singkir(kan) dari padang kurusetra kehidupan. Jadi, meskipun wajah-luar pembajakan divonis oleh buku ini sebagai ciri impotensi daya cipta dan tera kebiadaban, namun kodrat kerja asasinya tidak lain adalah sebagai penggangsir apapun yang telah dipatenkan. Tidak terkecuali barang-barang berkelas dunia yang selama ini menjadi roh status sosial orang-orang berduit. Kepleset (baca: peniruan, pembajakan) tak ubahnya instrumen penyasau kolonialisme global brand berikut naluri gengsi pecandunya. Inilah trik pamungkas masyarakat pascakolonial yang tidak ingin dipinggirkan. Dengan amat supel dan kreatif mereka membajak-ria apa saja nir-malu, tanpa phobi, dan zonder minder. Jadilah kepleset yang ditertawakan oleh buku ini bukan sekedar kepleset biasa. Ia kepleset sekaligus memlesetkan, ditertawakan sekaligus menertawakan, digerundeli sekaligus menggerundeli, dan kalah sekaligus menang. Seolah-olah para pembajak dan konsumen produk bajakan itu sedang mengisbatkan �citarasa lokal' mereka untuk -meminjam Gayatri C. Spivak- tidak menjadi �pembaca yang tercangkok (implied reader)�. Tesis saya ini semakin kentara di Bab 4 (hlm. 69-84), di mana Regina menampilkan dokumentasi pusat perbelanjaan, toko, kedai, warung kakilima, dan losmen yang memlesetkan tulisan �Sweater� menjadi �Switer�, �Welcome� menjadi �Well Come�, �Caf� menjadi �Kave�, �Spaghetti� menjadi �Spageti�, �Hot Dog� menjadi �Hot Dok�, �T-Shirt� menjadi �T-Shert�; �Best Compilation� menjadi �Best Complication�; tas �Laptop� menjadi tas �Lettop�; dan masih banyak lagi. Komentar jenaka untuk produk-produk kepleset yang terhampar mulai dari Bab 1 hingga Bab 4 buku ini seperti: �Bu Berry�Bapaknya mana, Bu?� (hlm. 13, untuk mengomentari sandal bermerek Buberry), �Ayo cepat pulang Aridas�Kamu dicari Mama!� (hlm. 25, untuk mengomentari tas bajakan bermerk Aridas), �Kalau kata yang motret sih bacanya: ferfyum� (hlm. 79, sebagai komentar atas spanduk bertuliskan Best Farfume), seolah mensinyalir semua barang bajakan dan �kata-kata aneh� di atas sebagai ciri keterbelakangan bangsa. Boleh-boleh saja. Tapi di singkur lain kita kudu memindainya sebagai protes dan strategi perjuangan subjek yang dikibuli oleh kapitalisme modal. Inilah profil diri bangsa yang meranggah-ranggah senapas hidup dalam ricuhnya kompetisi ekonomi-politik-kultural global. Sayangnya, cara berpikir ini tidak dicandra oleh buku yang ternyata cuma diambil dari blog www.serasasekali.blogspot.com ini. Meski begitu, buku ini tetap layak dibaca. Terutama oleh Anda yang cinta produk asli bermerek global. Karena di halaman 27-34 buku ini memuat cara membedakan dan memilih produk asli dan palsu, dan di halaman 91-96, ia juga memuat macam-macam produk yang �rawan (di)palsu(kan)�. Selamat membaca! * YB. Mahardhika Aktif di Komunitas �cobabaca� Medan ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |