|
Sinopsis Buku: Bangkitnya Raksasa Baru Asia
India kini telah berubah. Dulu dengan status Negara miskin, sekarang menjadi calon pemain utama dunia. India memulai dari dunia pendidikan dengan mencetak tenaga ahli bidang teknologi informasi. Disamping itu India pun unggul dalam industri film yang disebut Bollywood. Dari Negara kelaparan menjadi berkelimpahan, dari dipermalukan menjadi bermartabat. Sehingga setiap tahun India selalu menambah barisan jutawan yang sangat cepat dibandingkan dengan Negara lain. Buku ini sangat cocok dimiliki pengamat ekonomi politik bangsa, mahasiswa, dan masyarakat umum yang ingin mengetahui sejarah perkembangan India. Resensi Buku:
Resensi Buku oleh: Andre Vincent Wenas (Resensi Buku) Balapan dengan India di Sirkuit Globalisasi Oleh: Andre Vincent Wenas ------------------------- Judul buku: INDIA Bangkitnya Raksasa Baru Asia; Calon Pemain Utama Dunia di Era Globalisasi; Editor: Irwan Suhanda; Penerbit: Penerbit Buku Kompas (PT Kompas Media Nusantara), Maret 2007.; Tebal: xxiii + 247 halaman. -------------------------- India, saat ini merupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar (no.4) di dunia, dan masih melaju dengan kecepatan rata-rata 7-8% per tahun! Wajar jika Indonesia berkolaborasi dengan anggota ASEAN lainnya untuk mempercepat integrasi ekonominya demi mengimbangi India (Kompas, 10 April 2007, hlm.21) di arena balapan bernama sirkuit globalisasi. Kumpulan tulisan terbaru tentang India yang pernah dimuat Kompas dalam kurun 2006 sampai awal 2007, dikluster dalam 6 bab. Laporan jurnalistik yang meng-cover India dari berbagai sisi ini sangat kaya bagi kita yang mau menganalisis negara ini, baik untuk kepentingan ekspansi usaha/bisnis, pengambilan keputusan politik, atau sekedar studi banding. Diktum manajemen perubahan yang mengatakan, jika ingin berubah, ganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru amat disadari oleh India. If you take the same action everyday, you will always get the same result. If you want a different result, then you must change your action! Maka India maju setelah di tahun 1991 mulai melucuti �Model Nehru� yang merupakan copy & paste model ekonomi terencananya Uni Soviet (jaman Stalin) pasca kunjungan PM Jawaharlal Nehru ke sana dekade tahun 1940-an. Selama periode 1947 sampai 1991 perekonomian India mengandalkan peran perusahaan negara, menolak peran pemodal asing. Peran swasta domestik diikutkan, tetapi dikontrol ketat lewat regulasi pemerintah. Hasilnya, ekonomi India relatif gagal (hlm.10). Salah satu dampak negatif model itu adalah munculnya masalah birokrasi. Proses perizinan jadi komoditas-dagang, tempat birokrat cari rezeki. Muncul sikap pejabat yang pilih kasih (tidak adil). Akibatnya, pembangunan ekonomi terlantar dan yang lebih runyam, banyak talenta India yang berhamburan ke luar negeri (brain drain). Taruhannya adalah nasib dan masa depan ratusan juta warga India. Saat itu cuma ada 2 sektor ekonomi India yang tumbuh sendiri, justru karena luput dari perhatian pemerintah, yakni perkembangan teknologi industri dan � yang juga sangat populer di Indonesia � industri film Bollywood. Selebihnya adalah kegiatan ekonomi tanpa jiwa, diiringi sejarah kelaparan massal dan perang dengan negara tetangga. Semua itu mengeskalasi kegagalan dan berujung pada kebangkrutan negara tahun 1991 karena devisa tidak memadai. Lalu India tersentak dan bangun, mengalihkan pola pembangunan ekonomi berdasarkan pasar dan sentuhan investasi asing. Adalah IG Patel dan Manmohan Singh yang menjadi arsitek perubahan itu, atas keinginan PM Indira Gandhi yang kemudian dilanjutkan Narasimha Rao dan Rajiv Gandhi serta penggantinya sampai sekarang. Saat ini, jika kita bicara industri teknologi informasi, maka nama Bangalore tak terelakkan. Teknologi Informasi menjadi salah satu pilar kemajuan India (bab 2). Selain itu, India juga mempekuat otot ekonominya dengan industri otomotif (ingat Bajaj), industri film (Bollywood) dan farmasi (bab 3). Dicatat di sini bahwa Jepang pun belajar dari India dalam soal trik para dealer India menjual mobil. CEO Suzuki Motor Corp, Osamu Suzuki datang ke India membawa 2400 dealer dari Jepang untuk berguru, bagaimana 300 dealer Maruti (India) bisa sukses menjual 516 ribu unit mobil, sementara 3500 dealer Suzuki (Jepang) hanya bisa jual 700 ribu unit mobil. Menurut Okada, perusahaan Jepang sekarang ini tak lagi fokus pada perbaikan kualitas, padahal pesaing termasuk dari India terus mengejar (hlm 88). Kalau dikatakan ambisi India tidak menggebu-gebu (hlm.xiii), rasanya saya kurang setuju. Ambisi India � seperti pernah ditekankan oleh Thomas L. Friedman dalam bukunya �The World Is Flat; A Brief History of the Twenty-First Century� (Farrar, Strauss and Giroux, New York, hlm: 265), bahkan terhadap negara-negara maju seperti AS pun, �...They are racing us to the top. They do not want to work for us; they don�t even want to be us. They want to dominate us � in the sense that they want to be creating the companies of the future that people all over the world will admire and clamor to work for.� Namun saya sepakat bahwa India saat ini memang telah mantap membangun fondasinya. Pembangunan perbankannya luar biasa. Perkembangan kredit bermasalah di India, dari tahun ke tahun mengalami penurunan, secara keseluruhan di bawah 3 persen. Selain perbankan dan industri, buku ini mengulas fondasi pembangunan India lainnya seperti ekonomi dan pertanian (bab 4), dan ini yang paling dasar: buku dan pendidikan (bab 5). Bagian akhir (bab 6) mengulas sisi lain India modern. Dan Indonesia mesti menarik pelajaran: India boleh tak punya kekayaan alam, namun talenta rakyat menjadi andalan. Dan itu sangat diperhitungkan oleh komisi perencanaan, yang menargetkan warganya menjadi pemasok pekerja ahli di dunia! (hlm.xxiii). Quo vadis Indonesia? ---------- *) Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Praktisi manajemen dan bisnis, dosen di IPMI Business School. - Tulisan ini pernah dimuat di Majalah PERDUKI, edisi Maret-April 2009. Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |