|
Sinopsis Buku: Andalusia abad ke 15. Penaklukkan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella terhadap bangsa Moor di Granada mengakibatkan ketidakstabilan politik yang juga berdampak pada perpindahan agama beberapa bangsawan muslim di kota tersebut.
Tanggal 1 Desember 1499, Uskup Agung Ximenes de Cisneros atas perintah Ratu Isabella menyita manuskrip-manuskrip bangsa muslim yang tersimpan di 195 perpustakaan kota dan perpustakaan pribadi yang tersimpan di rumah-rumah para bangsawan dan menjadikannya kembang api besar yang melukai hati. Al Quran, naskah-naskah puisi, filsafat Islam, tafsir-tafsir al Quran, dan hasil pemikiran bangsa muslim lainnya melebur dalam api yang menyala hebat di tengah kota. Hanya manuskrip tentang kedokteran yang bisa diselamatkan. Ratusan ribu manuskrip terbakar, dan bukti-bukti peradaban islam di Andalusia menghilang beserta bunyi dan percik lidah api. Seluruh bangsa muslim di Spanyol berduka atas peristiwa memilukan itu. Meski perjanjian antara kerajaan Isabella dan bangsa muslim di Granada telah ditandatangani bahwa bangsa muslim diperbolehkan untuk menggunakan bahasa Arab, memeluk agama islam, dan mempertahankan budaya mereka, namun secara diam-diam uskup Ximenes punya rencana licik untuk menyeret mereka semua ke dalam agama Perawan Suci. Lama kelamaan bangsa muslim semakin terdesak dengan besarnya pajak yang dibebankan kepada mereka. Dengan tipu muslihat, Ximenes menjamin keselamatan nyawa dan harta benda mereka jika berpindah agama. Cerita fiksi sejarah ini menyoroti kehidupan Bani Hudayl di tengah krisis agama pada masa itu. Konflik internal keluarga Umar Ibn Abdallah dan skandal-skandal rahasia empat generasi Al-Hudayl yang dialirkan kepada para muda lewat perantara para pelayan. Umar dan Zubayda beruntung memiliki empat orang anak yang kritis dan cerdas. Si sulung Zuhayr mewarisi bakat pemberani kakeknya Ibnu Farid. Kulstum, gadis manis yang penurut. Hind, si pemberontak dan selalu ingin tahu dan memiliki selera humor yang bagus, pendalaman filosofisnya saat ia kanak-kanak sempat membuat seorang teolog terkesima. Dan si bungsu Yazid yang baru berusia sembilan tahun, namun sangat cerdas. Ia hobi bermain catur. Bidak-bidaknya dibuat khusus oleh Juan, anak tukang kayu. Bidak putih merepresentasikan prajurit muslim, sementara bidak hitam merepresentasikan Ratu Isabella dan jajarannya. Namun, ditengah keharmonisan dan kemesraan keluarga mereka, ada cerita yang ditutupi seputar nenek moyang mereka. Adalah Amira, pelayan tua di keluarga itu yang membuka mulut kepada anak-anak Umar. Ada kisah cinta terlarang. Ada incest dan juga kisah homoseksualitas yang membuat keluarga unik ini kaya cerita. Di bawah bayang-bayang pohon delimalah kisah-kisah ini dirajut. Keadaan semakin memburuk saat Ximenes memaksa para pengikut Muhammad untuk pindah agama. Pertempuran pun tak terelakkan. Pembunuhan, pertumpahan darah tak pelak terjadi. Dapat dipastikan, siapa pemenangnya. Pihak yang lebih kuatlah yang menancapkan panji-panji kemenangan. Dalam dua hari, saya menyelesaikan novel 477 halaman ini. Awalnya saya sama sekali tak tertarik, apalagi membaca nama Arab pengarangnya. Maklum, saya agak kesulitan mengingat nama tokoh dalam bahasa asing. Sama halnya dengan kisah-kisah dari Jepang, Cina, atau negara-negara lain dengan nama yang agak sulit diingat otak saya yang terbatas ini. Tapi ternyata, saya sangat betah membaca kisah ini dan tak sabar untuk membaca tiga buku lainnya dalam tetralogi karya Tariq Ali ini. Saya bahkan tak mengindahkan ejekan teman saya lewat sms tentang bermalam minggu bersama buku. Buku ini pernah diterbitkan oleh Serambi dengan judul Bayang-Bayang Pohon Delima Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |