|
Sinopsis Buku: Jean Valjean, sang tokoh protagonis, dijatuhi hukuman penjara selama 19 tahun gara-gara mencuri sebongkah roti. Setelah bebas, Valjean yang penuh dendam kemudian bertobat setelah bertemu dengan Monsinyur Myriel, seorang uskup yang seperti santo.
Namun, naas bagi Valjean. Secara tidak sengaja, ia melakukan kesalahan kecil yang membuatnya dikejar oleh Inspektur Polisi Javert. Valjean mengubah namanya menjadi Monsieur Madeleine, dan berhasil menjadi seorang wali kota di sebuah kota kecil. Untuk menyelamatkan nyawa seseorang yang tak bersalah, Valjean pun terpaksa menyerahkan diri sehingga dihukum kerja paksa seumur hidup. Namun, kemudian Valjean berhasil melarikan diri dan mengadopsi Cosette, anak tak sah dari Fantine, seorang perempuan miskin yang pernah ditolongnya. Lalu, bagaimanakah perjalanan nasib Jean Valjean selanjutnya? Mampukah ia menebus kesalahan pada masa lalunya? Les Miserables, buku fenomenal yang pernah diterbitkan secara bersamaan ke dalam 9 bahasa pada 1862 ini adalah panduan sempurna untuk kembali ke awal abad ke-19. Kisah menakjubkan yang dijalin dalam kehidupan Jean Valjean akan membuat emosi siapa pun bergejolak: resah, gelisah, marah, dan sedih. Dan kita akan tersadar, betapa mengerikan dunia dan segala kekejamannya, betapa rentan arti seutas perasaan, betapa tak terduga perjalanan hidup manusia, dan betapa cinta mampu mengatasi segalanya. �Les Miserables membuat kita terkesan karena intensitasnya, bahkan sebelum menarik pelajaran apa pun.� �Paul Benichou, guru besar Sastra Prancis di Universitas Harvard Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Brillyananda Toruan Sesuai judulnya yang berarti Penderitaan, buku ini benar-benar akan membawa kita menelusuri inci demi inci perasaan seorang Jean Valjean yang banyak sekali diwarnai oleh kesedihan. Mungkin bukan kesedihan menurut kaca mata tokoh ini sendiri, tapi kesedihan yang akan kita rasakan setiap kali Jean Valjean terikat dalam satu kondisi, bagaimana ia menanggapi keadaan dengan 'kepolosan' seorang mantan narapidana, serta bagaimana pandangan orang-orang di sekitarnya yang, katakanlah, terlalu cepat menyimpulkan. Meskipun, pada akhirnya kebahagiaan yang relatif menjadi akhir dari kisah ini. Intensitas buku ini selalu membuat saya terpukau setiap kali saya membacanya. Saya tahu bahwa Victor Hugo seorang penulis yang cerdas, namun lewat karyanya yang satu ini, saya jadi berpikir bahwa ia adalah seorang penulis jenius. ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Ceicillia I often heard this story, until i read this, and i really have to say, Hugo is such a great author...Jean Valjean is a very poor man, poor for everything, although he has a gold heart. How ever, this book made me sometimes cry... Awesome ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Rimbun Natamarga Sesuatu yang ingin disampaikan oleh Hugo lewat Les Miserables adalah bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan memiliki kecenderungan untuk baik. Yang membuat banyak manusia menjadi buruk adalah masyarakat dan nilai-nilai yang dipaksakan di dalam masyarakat. Les Miserables ditulis Hugo pada abad ke-19. Berkisah tentang pergulatan seorang narapidana untuk menjadi baik pada tiga dasarwarsa pertama abad tersebut. Cerita bermula dari usaha Jean Valjean yang baru bebas dari hukuman dan sedang mencari tempat penginapan suatu hari. Alih-alih, tak ada yang mau memberikannya semalam pun kecuali seorang uskup tua. Singkat kata, lewat uskup inilah ia sadar dan mulai menjalani pergulatan batinnya menjadi orang baik. Dalam pergulatan tersebut, ia mengenal banyak orang dan menjalani hidup yang berbeda dari semasa menjadi narapidana sebelumnya. Ia pun ingin selalu berbuat baik kepada manusia tanpa pandang bulu. Kepada Fantine, seorang pelacur. kepada Cosette, anak tidak sah Fantine. Kepada Javert, seorang kepala polisi yang selalu melihat orang sebagai baik atau jahat. Kepada Thernadier, seorang "rubah" yang merawat Fantine kecil. Kepada Marius, anak muda yang mencintai Cosette. Pada waktu itu, masyarakat memiliki kuasa yang besar untuk menilai seseorang hanya dari status dan cap yang melekat pada dirinya. Narapidana dan pelacur, untuk mangambil contoh, dianggap sampah masyarakat dan karenanya tak layak hidup bersama masyarakat. Seberapa besar kebaikan yang mereka perbuat pun tidak akan menghilangkan cap yang sudah melekat itu. Tetap saja mereka dianggap sampah yang sudah-wajib-segera-dibuang agar tempat yang semula bersampah menjadi bersih kembali. Dalam kondisi tersebut, wajar saja bila orang yang ingin berbuat baik tidak selamanya mujur. Sebab baik-tidaknya suatu kebaikan diukur dan dinilai oleh masyarakat masing-masing. Seolah-olah mereka buta tentang kebaikan. Seolah-olah nilai-nilai kemanusiaan tidak bersifat universal hingga pribadi-pribadi tertentu saja yang bisa melihat kebaikan-kebaikan seseorang. Hugo mengajak kita menilai kebaikan bukan melalui anggapan yang hidup dalam masyarakat. Ia mengajak kita menilai kebaikan dari pelaku yang berbuat kebaikan itu sendiri; apa maksud ia berbuat baik, kepada siapa ditujukannya, bagaimana bentuk kebaikannya itu, dan bukan apakah baik atau tidak yang ia lakukan itu. Diceritakan bahwa Jean Valjean sendiri sampai perlu merahasiakan jati dirinya sebagai narapidana agar ia dapat berbuat baik kepada sesama, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Tuhan. Ia menyadari betapa kuat pra-sangka yang hidup dalam masyarakat, sehingga terkesan tak ada ruang baginya untuk berbuat baik dan mengabdi kepada Tuhan. Yang menarik dari buku ini adalah pelukisan karakter tokoh-tokoh tersebut. Hugo tidak sembarang mengangkat dan melukis karakter mereka. Ia terkesan ingin mengajak kita--para pembaca--melihat perubahan psikologis yang terjadi pada tokoh per tokoh. Dari perubahan psikologis itulah akan segera terlihat tindakan masing-masing tokoh, sehingga dapat mudah dipahami dan diterima oleh kita. Pada suatu masa di abad ke-20 yang lewat, pernah dibuat sebuah film yang berjudul Les Miserables. Gagasan yang ingin disampaikan dalam film ini sama dengan apa yang ingin disampaikan oleh Hugo. Dengan memakai latar belakang peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah, keadaan-keadaan yang tercipta di dalam karya Hugo dijelmakan kembali. Dalam film tersebut, pembantaian Yahudi oleh Nazi Jerman pada Perang Dunia II merupakan keadaan yang pas untuk itu. Kaum Yahudi mewakili stereotip orang-orang yang dipandang sampah dalam masyarakat Eropa saat itu oleh Nazi. Segala kebaikan kaum Yahudi dipandang sebagai sesuatu yang tak bernilai oleh Nazi dan anggapan ini berusaha dihidupkan di tengah-tengah masyarakat Eropa. Seolah-olah, apa yang dikisahkan oleh Hugo dalam Les Miserables terjadi kembali pada abad ke-20. Atau, justru sebaliknya, karya Hugo tersebut benar-benar telah menginspirasi orang-orang di Paris saat itu (film yang dimaksud memang berlatar Paris pada sekitar Perang Dunia II). Menginspirasi di sini, maksudnya, membuat seseorang merasa melihat dirinya di dalam karya Hugo itu, baik dalam karakter, sosok maupun dalam tindakan pribadi. Makanya, ada yang merasa dan ingin terus menjadi sebagai Jean Valjean. Ada yang merasa dan kagum sebagai Cosette. Ada yang bangga dan tak sadar dirinya sebagai sosok Javert. Ada yang memiliki nasib yang sama seperti Marius. Ada yang menganggap baik dan karenanya membela sosok Thernadier justru sebagai wakil Tuhan meski pada dasarnya adalah rubah. Sebuah karya yang menginspirasi--begitulah garis besar film tersebut, dan dengan demikian seolah mengarisbawahi bahwa Les Miserables--yang berarti para gembel--adalah sebuah karya besar dalam kesusastraan Perancis. Hugo sendiri dikatakan sebagai bapak aliran romantisisme dalam perkembangan kesusastraan dunia. Karya lainnya yang sudah kita kenal adalah Hunchback of Notre Dame yang terkenal itu. Nah, adakah karya yang menginspirasi seperti Les Miserables itu dalam ranah sastra modern kita? ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: putri wulandari Jean Valjean adalah mantan narapidana kapal kerja paksa di Toullon. Dulunya dia adalah seorang petani miskin yatim piatu yang tinggal bersama kakak perempuannya yang janda dengan 7 anak. Valjean menjadi kepala keluarga bagi keluarga kakaknya, dia bekerja sebisanya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Suatu saat dia terpaksa mencuri roti di sebuah toko dengan memecahkan jendela toko itu, dan langsung ketahuan oleh sang pemilik. Pencurian itu dilakukannya dengan terpaksa, mengingat ketujuh keponakan kecilnya kelaparan dan dia tidak punya uang lagi. Hanya karena mencuri roti dia diganjar hukuman kerja paksa di kapal, dan karena berulang-ulang mencoba untuk melarikan diri hukumannya semakin bertambah dan totalnya mencapai 19 tahun. Saat tiba waktunya dia bebas, Valjean sudah memupuk kebencian pada masyarakat, ketidakterimaan atas beratnya hukuman yang harus ditanggungnya hanya karena sepotong roti. Apalagi lepas dari penjara dia dibekali KTP kuning, yang memberikan stempel pada dirinya bahwa dia adalah mantan NAPI yang akan semakin menyulitkan dirinya untuk dapat diterima kembali di masyarakat. Saat hampir semua orang menolaknya, dia diterima di rumah seorang uskup-Uskup Myriel, diperlakukan dengan sangat baik selayaknya seorang manusia terhormat dan bukan mantan NAPI. KEbaikan sang uskup ternyata belum bisa membuat Valjean memaafkan masyarakat, dia tetap menyimpan dendam, dan melampiaskannya dengan mencuri seperangkat alat makan perak dari rumah sang uskup. Namun, diluar dugaannya, sang uskup bukannya marah malah melindunginnya dari polisi, menyatakan bahwa peralatan makan dari perak itu memang dihadiahkan kepadanya. Saat itu Valjean merasa mendapatkan pencerahan, di tengah2 masyarakat yang hampir semuanya memberi stigma buruk kepadanya, masih ada orang yang menganggapnya sebagai manusia dan memperlakukannya dengan terhormat. Buku ini terbagi menjadi beberapa bagian yang sepertinya terpisah-pisah tetapi sebenarnya saling terkait.Buku ini menceritakan perjalan valjean untuk menjadi manusia seutuhnya yang selalu mendengarkan nuraninya, karena nurani seseorang tidak pernah menyuruh untuk berbuat jahat. Hati Valjean seringkali berada dalam posisi berperang, antara memilih sebagai si baik atau si jahat, seperti halnya kita sering mengalami hal tersebut saat akan memutuskan sesuatu. Setelah melalui perjalanan yang panjang dan melewati pertempuran-pertempuran baik buruk Valjean sampai pada kesimpulan bahwa mati itu tidak masalah, yang menjadi masalah adalah tidak hidup. Tidak hidup disini saya tangkap sebagai manusia yang hidup tapi hidupnya tidak berarti untuk dirinya sendiri dan juga orang lain.Karena Valjean di buku ini membaktikan hidupnya untuk fantine-wanita yang ditolongnya serta cossete, anak fantine yang akhirnya dianggap sebagai anaknya sendiri setelah fantine meninggal. Untuk Cossete VAljean rela melakukan apapun, bahkan mati sekalipun. Benar-benar karya sastra yang luar biasa, walaupun detilnya kadang terlalu membuat lelah saat membaca, tapi it's worth to read banget.. indah dan menyentuh. ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |