|
Sinopsis Buku: Poster eksklusif salah seorang tokoh dalam buku Lagak Jakarta: 100 Tokoh Yang Mewarnai Jakarta. Poster ini dicetak hanya 50 eksemplar dan ditandatangani langsung oleh dwitunggal kartunis Benny dan Mice. Resensi Buku:
Mudik Kemarin oleh: Rimbun Natamarga Rasanya, Umar Kayam adalah orang yang banyak tahu tentang gejala mudik. Dalam beberapa kolomnya di Tempo, ia pernah menyinggung mudik. Demikian pula di dalam kolom khususnya di koran Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, meski dalam cerita tentang mudiknya Mister Rigen dan Miss Nansiyem, Umar Kayam melukiskan ide utama di balik gejala mudik di tengah-tengah kita. Kata mudik, tulisnya, berarti pergi ke udik. Udik, pada awalnya, diambil dari istilah untuk bagian yang berada paling hulu dari suatu sungai, di daerah pegunungan. Sudah pasti, secara geografis, udik menempati daerah pedalaman. Di sana tempat para petani diam bersama keluarga masing-masing, juga dengan ternaknya. Dan si sanalah segala sesuatu dimulai. Dapat kita bayangkan, jika pengertian itu dipasati, di udiklah sepasang suami-istri pada awalnya berdiam dan membangun rumah. Mereka kemudian beranak-pinak di sana. Mereka pun punya cucu dan cicit di sana. Ketika anak-cucu mereka beranjak dewasa, lahan yang tersedia menyempit karenanya. Sawah yang jadi tempat mereka menanam dan mengambil hasil untuk diri dan keluarga mulai terpotong-potong dan mengecil. Peluang mereka untuk bahagia dengan apa yang ada pun mulai berkurang. Dari keadaan seperti inilah, mereka mulai memencar ke daerah baru. Ada yang berdiam di udik yang lain. Ada juga yang membuka lahan di tempat yang baru, mencipta udik yang baru. Ada yang menempati tempat yang tidak menjadi udik, karena bukan di pedalaman serta banyak dituju oleh pendatang-pendatang lainnya; mereka menjadikannya satu kota. Tentu saja, mereka hidup di kota itu, mengais rejeki, dan mengumpulkan bekal untuk dibawa ke udik. Tapi mudik bukan sekedar itu. Kebiasaan mudik ternyata terkait juga dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang hidup di tengah-tengah kita. Sebagai misal, kebiasaan kita untuk ber-minal-aidin-wal-faizin. Entah kenapa, rasanya, kurang afdol, jika kita tidak bermaaf-maafan pada hari Idul Fitri itu. Seperti ada yang kurang, meski ada ketupat dan opor ayam di tengah kita. Padahal untuk bermaaf-maafan, agama tidak mengkhususkan hal itu hanya pada Idul Fitri. Bermaaf-maafan dapat kita lakukan kapan saja. Bahkan setelah mati sekali pun, keluarga yang ditinggalkan si jenazah dapat memintakan maaf kepada kolega-kolega yang masih ada. Karena ini menjadi sesuatu yang penting, maka mudik pun menjadi penting dan harus. Sebab lebih berkesan untuk meminta maaf dengan bertemu muka. Karena itu, bertemulah segenap jaringan keluarga yang satu udik, membagi segala yang didapat dari kota, meski hanya berupa cerita. Mereka bertemu kembali, untuk menyambung ikatan, baik ikatan kerabat atau pun ikatan teman. Ini untuk satu misal saja. Bagi saya, uraian-uraian Umar Kayam tentang mudik itu sekedar penjelasan atas satu fenomena. Semacam tafsir atau mungkin kecapnya atau bacot dia. Mudik baru bisa kita pahami, kalau kita melakuinya langsung dan larut dalam mudik itu. Dan memang seperti itu. Saya baru paham arti mudik setelah saya mencoba mengumpulkan uang untuk nanti, beberapa hari sebelum Idul Fitri, mudik dengan keluarga saya. Tujuan saya, uang tersebut akan saya pakai buat ongkos kendaraan. Sisanya akan saya pakai buat menraktir kerabat-kerabat dan teman-teman di udik, juga buat bapak dan emak di sana. Meski sedikit, setidaknya, orangtua saya itu dapat teringani beban mereka selama beberapa hari ke depan untuk beli beras, minyak goreng, ikan asin, cabe atau buat isi tabung gas yang 3 kilo itu. Idul Fitri kemarin saya mudik lagi. Saya pulang ke udik saya di Cirebon, Jawa Barat. Sengaja saya pilih hari untuk mudik pada hari Idul Fitri, setelah shalat Id di lapangan. Saya ingin tahu, seberapa padat mudik pada hari itu. Sebagaimana yang diduga, jalan-jalan mulai padat persis setelah shalat Jum�at. Jalan-jalan didominasi oleh mobil-mobil pribadi. Bus dan angkutan umum lainnya tidak banyak. Satu bus AC yang ingin saya berhentikan lewat begitu saja. Semua bangku penuh. Bus AC jarang dengan bangku-bangku plastik tambahan. Demikian pula bus-bus AC berikutnya. Bagi para pemudik seperti saya, yang paling penting saat itu adalah bagaimana bisa sampai di rumah, bertemu dengan keluarga. Karena itu, angkutan penuh sekali pun tidak masalah. Di Jakarta beberapa tahun belakangan ini, bahkan, dapat di atas gerbong pun tidak mengapa. Semua cara dilakukan sebisa mungkin agar dapat angkutan, meski ketidaknyamanan juga keselamatan bisa mengancam saya. Tapi, cerita yang saya dapatkan di dalam bus AC waktu mudik kemarin berbeda. Saya baru naik bus setelah hampir satu setengah jam menunggu. Bersama saya waktu naik bus itu adalah seorang ibu hamil yang juga mengendong anak perempuannya. Saya taksir kandungannya sekitar 4-5 bulan. Putrinya kira-kira berumur 2 tahun. Kami mesti membayar 40 ribu rupiah untuk tujuan Cirebon. Begitu pula dengan penumpang-penumpang yang lain, mereka juga pulang ke Cirebon. Bangku bus semua penuh. Pihak perusahaan bus tidak menyediakan bangku plastik tambahan. Saya akhirnya berdiri tepat di belakang ibu hamil itu. Dia berdiri. Tangan kanannya berpegangan pada tepi bangku penumpang di sampingnya, tangan kirinya menggendong anaknya. Sayang, tidak ada satu pun penumpang bus yang memberikan bangkunya untuk ibu itu. Dan ini terus terjadi sampai bus melewati Sumedang. Lebih disayangkan lagi, saya seorang laki-laki: saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadi seseorang yang hamil sembari menggendong anaknya. Saya bahkan tidak bisa mengetahui rasanya menjadi seorang ibu hamil yang menggendong anak usia 2 tahun sambil berdiri di dalam bus yang melaju di atas jalan yang berkelok-kelok seperti jalan raya Sumedang-Cirebon itu. Terus terang, saya ingin menangis. Saya ingat beberapa tahun yang lampau di Jakarta, waktu berada di dalam satu minibus angkutan umum di sana. Seorang laki-laki memberikan bangkunya kepada seorang ibu yang sedang menggendong anaknya. Waktu itu, bus penuh. Bangku semua terisi. Ibu itu naik ketika sejumlah penumpang sudah ada yang berdiri. Begitu pula ketika ada seorang ibu tua naik, seorang perempuan muda memberikan bangkunya untuk ibu tua itu. Di Bandung di dalam bus Damri, sekitar tahun 2004, saya ingat, teman saya tiba-tiba berdiri ketika melihat seorang bapak tua naik dan bangku bus sudah terisi penuh. Teman saya mempersilakan bapak tua itu duduk di bangkunya. Teman saya jadi berdiri lama sampai hampir tiba di tujuannya. Ada beberapa kisah serupa yang pernah saya lihat langsung. Semua itu memberi saya satu pelajaran pasti: saya, memang, punya hak untuk dapat tempat duduk di dalam bus angkutan umum ketika selesai membayar ke kondektur bus. Akan tetapi, hak saya itu terbatas, hak tersebut dibatasi oleh keadaan yang ada di sekitar saya pada saat itu. Hak yang saya miliki dibatasi oleh nurani saya. Seorang bapak atau ibu tua jelas didahulukan untuk dapat tempat duduk ketika bangku angkutan umum penuh. Seorang ibu hamil lebih diperhatikan dari ibu yang tidak hamil, begitu pula ibu yang membawa anak. Bahkan seorang perempuan, sekali pun masih muda, lebih didahulukan untuk dapat tempat duduk ketimbang seorang laki-laki muda. Semua inilah yang ada pada kita pada asalnya. Apakah kita sudah teramat individual dalam menjalani hidup? Atau, memang kita sudah tidak punya empati, atau setidaknya simpati, lagi pada orang-orang di sekitar kita? Saya tidak tahu. Yang jelas, ketika saya mudik kemarin, saya lihat apa yang ada.[] Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |