|
Sinopsis Buku: Dyah pitaloka adalah seorang putri kerajaan sunda yang memiliki semangat besar dan berpikir maju. Kesukaannya pada membaca karya para pujangga membuat dirinya banyak menemukan ketidakadilan pada kaumnya, perempuan. Misalnya, betapa ayah-ibunya sangat berbahagia dengan kelahiran adik dyah pitaloka yang lebih karena bayi tersebut laki-laki. Atau kenapa pula di ranah pasundan tidak ada ratu yang memerintah kerajaan? Kenapa selalu raja? Kenapa harus laki-laki?
Perjalanan dyah pitaloka untuk mencari perannya sebagai seorang wanita kerajaan sunda tertantang ketika ayahanda bermaksud menikahkan dirinya dengan raja kerajaan majapahit. Raja sunda punya visi ingin membawa kerajaan sunda kepada kejayaan dengan menjajagi kemungkinan menjalin keluarga dengan raja majapahit. Sementara bagi dyah pitaloka, pernikahan itu hanya mengukuhkan keyakinannya selama ini bahwa perempuan sunda tidak pernah memiliki kewenangan apa pun untuk menentukan nasib dirinya sendiri, apalagi orang lain. Dyah pitaloka akhirnya bersedia menikah dengan raja majapahit dengan satu keyakinan: ingin memberikan kejayaan pada kerajaan sunda. Meski sebagai kaum yang tidak punya peran dalam kerajaan, dyah merasa inilah satu-satunya jalan untuk memberikan yang terbaik kepada kerajaannya, kepada rakyatnya. Perjalanan nasib ternyata punya keinginan berbeda. Pengorbanan raja sunda dengan mendatangi mempelai pria (bukan sebaliknya) yang tentu saja telah melanggar adat sunda, juga pengorbanan dyah pitaloka dengan memberikan hidupnya kepada raja majapahit, tidak memperoleh hasil setimpal. Mereka malah menemukan banyak kejanggalan seperti raja majapahit yang di surat berjanji akan menjemput di pelabuhan, ternyata tidak. Bahkan raja majapahit tidak menyongsong atau mengunjungi rombongan calon mertua di pesanggrahan. Dalam pertemuan antara utusan raja sunda dengan patih gajah mada, terkuaklah maksud sesungguhnya dari mahapatih gajah mada. Gajah mada tidak ingin kerajaan sunda menjadi kerikil dalam kerajaan majapahit. Untuk melengkapi keberhasilannya menyatukan nusantara, majapahit harus menaklukkan sunda. Bila tidak menggunakan kekuatan angkatan perang, cara lainnya adalah dengan perkawinan. Pernikahan dyah pitaloka dengan raja majapahit, bagi gajah mada, bukanlah perkawinan raja dengan putri dua kerajaan, melainkan penyerahan upeti sebagai tanda takluk kerajaan sunda kepada majapahit. Kekurangajaran gajah mada ini tentu saja mengundang kemarahan raja dan seluruh rombongan. Pertempuran pun tidak terhindarkan. Rombongan dari kerajaan sunda yang tidak mau harga dirinya direndahkan, akan bertarung habis-habisan meskipun dari segi jumlah pasukan maupun perlengkapan kalah telak dengan majapahit. Seperti yang sudah mereka duga, rombongan dari kerajaan sunda tumpas habis dalam pertempuran tak seimbang di bubat. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |