|
Sinopsis Buku: Rantau, sparring partner, silaturahmi, adalah tiga tradisi utama yang mewarnai perjalanan kepenyairan Raudal Tanjung Banua. Di sini ia mencoba merumuskan konsepsi personalnya tentang rantau sebagai jarak yang mendekatkan. Sesuatu yang semasa di kampung dianggap biasa, ketika diingat atau dikenang kembali, justru terasa baru. Tanda, lambang, dan nama-nama datang menggoda, membantunya mencipta idiom, metafora, dan gaya pengucapan; membuat perumpamaan, menghidupkan khazanah lama. Tradisi rantau pula yang membawa Raudal ke Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi yang sekaligus mempertemukannya dengan penyair "legendaris" Umbu Landu Paranggi. Situasi di sanggar tersebut digambarkan Umbu dengan ungkapan inspiratif sekaligus provokatif: saling asah dan asuh, gosok dan esek, duet dan duel! Sebuah situasi yang kemudian diterjemahkan kawan-kawannya sebagai tradisi sparring-partner.
Tradisi silaturahmi didapat Raudal ketika hijrah ke Yogyakarta. Kota ini mempertemukan Raudal dengan kawan-kawan sastrawan yang memiliki kebiasaan kunjung-mengunjungi dalam suasana kekeluargaan. Sepulang dari silaturahmi, biasanya muncul spirit baru untuk mulai menggarap karya yang terbengkalai, atau ilham untuk mencipta karya yang lain lagi. Meski tak jarang ilham itu menguap di tengah jalan atau mandek setelah pulang, namun selalu ada kemungkinan memperoleh momentum penciptaan. Demikianlah puisi-puisi dalam Gugusan Mata Ibu ini lahir dan menjumpai pembaca, sekaligus sebagai persembahan Raudal kepada para pencipta tradisi luhur itu. Daftar Isi Keberangkatan (1) Sepasang Mata yang Berkibar (3) Seorang Lapar (5) Alienasi (7) Ceritakan Padaku tentang Ikan (8) Surat yang Tak (Pernah) Selesai (10) Di Wangaya, Berjalan Larut Malam (12) Teluk Bayur (14) Kau yang Menggunting Karcis Hidupku (16) Di Boulevard, UGM (17) DI Tepian Batur (18) Gugusan (20) Calon Arang (22) Kubaca Peta (25) Jagad Baru Pencipta (28) Matahari pertama (30) Kami Melihat Api (33) Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |