Cari berdasarkan:



Setelah Revolusi Tak Ada Lagi  (Revised)
 


Maaf, stock buku kosong atau out-of-print.


Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (Revised) 
oleh: Goenawan Mohammad
> Puisi & Sastra » Sastra

Penerbit :    Alvabet
Edisi :    Soft Cover
ISBN :    9799502012
ISBN-13 :    9789799502018
Tgl Penerbitan :    2005-09-00
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    xxxi + 481
Ukuran :    135x200x0 mm
Sinopsis Buku:
"Goenawan Mohamad pada tempat pertama adalah penyair. Esai-esainya bukanlah traktat yang sistematis, tetapi gabungan orisinil antara persepsi dan erudisi.Pemikirannya bahkan cenderung anti-sistematis, merangsang bukan meneguhkan, melempar pertanyaan bukan memberi pegangan, mendorong pencarian tanpa menjanjiakan penemuan. Esai � esainya adalah realisasi kebebasan dengan seluruh risikonya." - Ignas Kleden

"Goenawan Mohamad telah menegakkan suatu tradisi tersendiri dalam khazanah penulisan kita. Esai-esainya adalah ikhtiar untuk �mempertahankan sastra dari wabah bahasa resmi dan kesenian dari bahaya menjadi poster".�� Nirwan Dewanto

Goenawan Mohamad adalah orang Barat yang lahir di Batang. Ia membahas Brecht, Derrida, Adorno, Habermas, Nietcszhe, Camus, Benjamin dan banyak nama penting lain dalam jagat pemikiran Barat bagai berbincang akrab dengan teman dekat.

Dalam buku ini, yang menghimpun tulisan-tulisannya selama 33 tahun, ia juga membicarakan Pramoedya, Kayam, Nurcholish Madjid, Soedjatmoko, Ketib Anom, Putu Wijaya, Saini K.M., Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardojo, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, Sjahrir. Semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertara. Ia memanfaatkan mereka sebagai mikrofon untuk bertanya, bukan menjawab. Ia menjadikan mereka kendaraan untuk mencari, bukan menemukan. Esais terbaik Indonesia ini merasa lebih penting mencari dengan bertanya daripada menemukan dengan menjawab.




Resensi Buku:

  Goenawan Mohamad: Suatu Pertemuan
oleh: Rimbun Natamarga
Ketika revolusi tak ada lagi, maka yang ada hanya keadaan yang tak semuanya sama. Menerima revolusi sama saja menerima perubahan yang menyeluruh yang menyentak. Tak semuanya sama sebagaimana revolusi itu sendiri yang berbeda-beda di tiap tempat di tiap waktu. Tak ada narasi besar yang meng-umum-kan segala keadaan di segala tempat. Kurun waktu 33 tahun, adalah waktu yang panjang bagi Goenawan Mohamad (GM) untuk menulis dan menceritakan ketiadasamaan antar keadaan di tiap tempat yang berbeda. Kesamaan mungkin sudah dulu, dulu sekali, ketika tekad dan praktek mesti sesuai dengan narasi besar yang meng-umum-kan. Tapi 33 tahun amat panjang bagi seorang GM untuk tetap�tetap menulis, sekalipun ada alasan untuk itu. Terbit dalam rangka 60 tahun dirinya, SETELAH REVOLUSI TAK ADA LAGI* adalah cerita PER SE tentang GM yang mulai menunjukkan kecenderungan untuk tak meng-umum-kan jawaban atas pelbagai keadaan sejak tahun 1960-an sampai 2000-an. Jadi bukan sekedar kumpulan tulisannya (dengan tema tertentu) selama kurun waktu itu. Hamid Basyaib yang mengatapengantari, sebenarnya cukup untuk melukiskan apa yang terjadi pada GM selama kurun waktu itu. GM adalah orang barat yang lahir di Batang, katanya. Ia, GM maksudnya, melihat segala hal bukan untuk menyimpulkan. Karena menyimpulkan, sering hanya melahirkan kekecewaan. Ia memakai tokoh untuk melihat. Ia tak menjawab dalam tulisan-tulisannya. Ia justru bertanya. Baiknya, tinggalkan saja dulu apa yang dikatapengantari itu. Mari adakan pertemuan dengan GM. Ketika revolusi tak ada lagi, hidup manusia tetap berubah. Kecenderungan-untuk-tetap hilang. Yang ada hanya kenangan bahwa dulu pernah ada orang-orang �kepala besar� yang mau mengubah dunia menyeluruh, meng-umum. Kebanyakan mereka gagal untuk tak mengatakan semua. Dan tentu: mereka adalah anak-anak yang ditelan oleh perubahan itu sendiri. Apa yang mereka umumkan sebagai kenyataan sekarang telah terjungkal, nyaris semua. Termasuk modernitas (�Heteropia Untuk Mister Rigen�, �Mangan Ora Mangan Kumpul�). Dunia modern adalah serba terjungkal, serba terbalik, tapi malah bercampur-akrab dengan dunia tradisional. Belum tentu Karl Marx dapat menjelaskannya. Tapi yang tak patut dilupakan, modernitas itu sendiri justru sebuah rekayasa. Modernitas adalah sesuatu yang didefinisikan. Akibatnya lawan dari modernitas, adalah sesuatu yang direkayasa, didefinisikan juga. Tak jelas hingga sekarang mana yang lebih sahih mana yang lebih salah. Celakanya, sering karena tak jelas itu, selera yang dominan menjadi anggapan yang menentukan. Kembali lagi karenanya: ada yang diakui ada yang dibuang, ada yang diangkat ada yang dipinggir. Kesadaran inilah membuat HOAKIAU DI INDONESIA Pramoedya Ananta Toer (�Sebuah Catatan Lain�) tampak sebagai buah kezaliman dari anggapan yang menyeluruh, yang meng-umum, juga yang dominan kala itu. Anggapan itu kuat, besar, dan tentu saja makan korban. Sebaliknya dari anggapan kuat itu, orang-orang Cina dan atau keturunannya di Indonesia�sebagai contoh�adalah kita sendiri. Kita sendiri sebagai orang-orang Indonesia. Memang, terkadang anggapan yang telah kuat, mendarah-daging, mengundang banyak orang untuk memilih sesuatu yang tak dianggap, sesuatu yang seksi. Dan inilah pula yang tampak ketika sesuatu yang kuat tersebut mengancam. Ada yang heboh. Kehebohan yang terjadi sebenarnya pula adalah kelainan yang sering muncul setelah lama tak dipikirkan. Dan itu mewarnai segala, termasuk puisi. Mengambil contoh dalam �Saini dan Puisi Platonis," Saini KM malah tampak bagai seorang platonis dengan puisi-puisi yang ketinggalan zaman untuk tahun 1968. Sehingga, puisi-puisinya adalah sebuah kehebohan di tengah puisi-puisi perlawanan, puisi-puisi �yang bukan apa-apa�, puisi-puisi eksperimen yang bakal muncul tak lama setelah itu. Itu pula yang terjadi pada puisi-puisi Sapardi Joko Damono (�Nyanyi Sunyi Kedua: SAJAK-SAJAK SAPARDI JOKO DAMONO 1967�1968�) dan puisi-puisi Trisno Sumardjo (�Trisno Sumardjo: Puisi Modern dan Horatio�). Keduanya adalah semacam dua kehebohan meski jelas berbeda. Apa yang dipuisikan Sapardi Joko Damono adalah kehebohan baru di tengah puisi-puisi perlawanan, sedang apa yang dipuisikan Trisno Sumardjo adalah kehebohan baru di tengah eksperimentasi puisi-puisi modern di Indonesia kala itu. Dengan cara pandang itu pula, kearifan adalah sebuah hasil yang menggembirakan darinya. Ambil saja contoh Gus Dur (�Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer�). Apa yang dimulai dalam pemerintahannya yang �seumur jagung� itu adalah rekonsiliasi. Kepada korban pembantaian tahun 1965�1966, ia meminta maaf. Kepada Israel, ia membuka hubungan. Sebab, toh, yang terjadi adalah dulu yang tak patut dibawa sekarang. Gus Dur bikin heboh. Yang patut diingat, sebenarnya, bagaimana agar tak terjadi lagi keadaan yang seperti itu. Bukan melupakan, karena melupakan berarti menolak kebenaran. Dengan mengingat, ketegasan akan adanya salah itu ada dan keadaan bahwa manusia itu bukan apa-apa itu nyata. Dari sanalah, hidup dimulai lagi dengan harapan. Begitulah yang terkesan. Keengganan untuk menyamakan ada, dan agaknya bertahan dalam waktu yang panjang. Dalam �DARI SUNYI KE BUNYI: Sebuah Pengantar�, seperti menegaskan kesan itu. Seolah bercerita tentang dirinya, GM melihat Hartojo Andangdjaja seseorang yang menghargai sesuatu yang bukan apa-apa di mata umum. Di tengah hidup yang dipenuhi dan diributi dengan persoalan yang �riil�, seseorang yang menekuni sesuatu yang bukan apa-apa seperti itu adalah seseorang yang juga patut dihargai. Ketika revolusi tak ada lagi, adakan saja pertemuan dengan GM. Maka, inilah yang akan didapatkan: semua berbeda, tak ada yang sama, tapi hargai semua. Kira-kira begitu. Mereka yang melulu meng-umum-kan segala hal dengan narasi-narasi besar, lebih baik tak usah baca buku ini. Sebab GM jelas-jelas orang yang memilih untuk melihat segala hal bukan dengan cara seperti itu. Ia bukan orang eksklusif yang seringkali teriak, �Bakar! Bakar rumah ini. Kita gemparkan negeri ini bahwa kami kalian kini pisah sudah.� Ia cuma pencerita tentang revolusi yang sekarang tak ada lagi.


Add your review for this book!


Buku Sejenis Lainnya:
oleh Gol A Gong
Rp 35.000
Rp 29.750
Air matamu mengerak di penggorengan tak berminyak.
Suaramu mengepul mengiris malam.
Tubuhmu berdetak berkeringat direguk ...  [selengkapnya]
oleh Y. B. Mangunwijaya
Rp 69.000
Rp 58.650
  [selengkapnya]
oleh Utuy Tatang Santani
Rp 29.000
Rp 24.650
Dina ieu buku dimuatkeun dua karya Utuy Tatang Sontani ngeu-naan Sang Kuriang. Dina bagian kahiji, dijudulan "Sang Kuriang", mangrupa ...  [selengkapnya]
oleh Amir Hamzah
Rp 25.000
Rp 21.250
Amir Hamzah adalah penyair yang lembut. Lirik-liriknya selalu menyuarakan kesyahduan hati dengan pilihan kata yang kaya sekaligus menuntut ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku sejenis »




Advertisement