|
Sinopsis Buku: Kisah 2 Saudara Seperguruan - Thay Kek Kie Hiap Toan merupakan karya Liang Ie Shen.Cuplikan bab 1:Pada tiga puluh tahun yang lalu, dengan sebuah kereta keledai, penulis berangkat ke luar daerah perbatasan. Ialah pada bulan kesembilan dari musim ketiga, tanah datar ada belukar, hingga bumi nampaknya nempel dengan langit. Sesudah melalui beberapa puluh lie, sang maghrib telah mendatangi. Di sekitar kita tidak ada rumah orang. Selagi kita mulai sibuk, tiba-tiba kita dengar tindakan kaki kuda di sebelah belakang. Dua penunggang kuda lagi mendatangi. Tapi, setelah mendekati kita, suara tindakan jadi kendor. Nyata orang tidak lewati kita. Diam-diam kita kuatirkan orang jahat.Dari dua penunggang kuda itu, yang kita lihat selagi kita menoleh ke belakang, yang satu berumur empat puluh tahun lebih, yang lainnya, tiga puluh lebih, dua-dua romannya keren, samar-samar kelihatan pedangnya masing-masing. Selagi kita berkuatir, tiba-tiba mereka liwati kita, kudanya dikaburkan, selagi liwat, mereka menoleh. Nampaknya mereka heran tapi mereka kabur terus.Belasan lie lagi kita sudah pergi, kita tetap tidak melihat rumah orang. Sekarang sang maghrib sudah datang, kita jadi bingung, lebih-lebih setelah melihat dua orang tadi. Di mana kita mesti bermalam?Lihat! tiba-tiba kusir berseru, seraya tangannya menunjuk ke depan.Sebuah bukit kecil berada di depan kita, di tengah itu, nampak satu kuil tua. Di situ banyak pepohonannya. Kita segera menuju ke sana, dan berhenti di antara pepohonan. Kita mendaki sedikit akan hampirkan kuil itu. Kita mengetok pintu sekian lama, baharu kita dengar jawaban seorang tua: Pintu tidak dikunci, masuk saja!Pekarangan dalam dan pendopo ada sunyi. Beberapa ekor lawa-lawa beterbangan sambil cecowetan. Di tengah pendopo, duduk bersila seorang niekouw, ialah pendeta perempuan yang usianya sudah lanjut. Dia duduk diam bagaikan patung. Selagi menantikan, kita lihat sebuah pohon besar, besarnya kira-kira sepelukan. Yang aneh ialah, di batang pohon itu ada dua buah tapak tangan yang dalam, tapak seperti dikorek.Sekian lama kita menunggu, niekouw itu tetap diam saja, maka dengan hati-hati, kita nanjak di tangga, selagi kita hampirkan bagian belakang orang alim itu, sekonyong-konyong dia menoleh dan kata sambil tertawa: Tuan-tuan tentulah sudah letih.Sedetik saja kita lihat, sepasang mata yang tajam dan bersinar, sebuah muka yang sudah keriputan, akan tetapi, kita percaya di masa mudanya, niekouw itu mesti cantik luar biasa.Pinnie masih belum selesai, kata pula niekouw itu, silakan Tuan-tuan menantikan sebentar di kamar samping sana.Kita masuk ke kamar yang ditunjukkan, kamar itu tak berperabot kecuali sebuah meja dengan beberapa patungnya. Di situ ada sebuah tokpan yang luar biasa dengan setangkai bunganya, yang harum. Di pojok tembok, ada sekumpulan rumput, entah pepohonan apa.Heran aku pikir, di tempat suci seperti ini, ada sebuah kuil dengan pendetanya perempuan.Sembari menantikan si pendeta, aku keluarkan sejilid kitab Wei Mo Tjhing, untuk dibaca guna menenteramkan hati.Sungguh kau rajin, Tuan! tiba-tiba aku dengar suaranya si pendeta selagi aku membaca belum lama. Apakah kau merasa aneh bahwa di tempat sesunyi ini ada sebuah kuil serta pendetanya? Mari kita pergi ke ruangan sana. Pinnie telah sediakan thee pahit untuk melenyapkan dahaga. Sembari minum, nanti pinnie tuturkan satu dan lain mengenai keadaanku.Kita terima baik undangan itu, sambil keringkan dua cawan thee.***Soft Cover, Kertas HVS, Boks: 2 Jilid Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |