|
Sinopsis Buku: Sebilah Pedang Mustika atau Hoan Kiam Kie Tjeng merupakan salah satu serial silat Thiansan (Liang Ie Shen).Cuplikan bab 1:Sang Surya telah menyilam akan tetapi sinar layungnya masih bertebaran, di saat itu sang angin sore telah bertiup mengantarkan suara nyanyian yang perlahan nyanyian yang menggenggam rasa penasaran, rasa kekaguman, bagaikan tangisan mengeluh, hingga burung-burung yang berterbangan pulang ke rimbanya mesti terbang terputar-putar di atas rimba, tak turun ke bawah. Walaupun demikian halus nyanyian itu mengalun, nyanyi itu masih tak dapat menahan seekor kuda pilihan yang berlari-lari di dalam lembah.Penunggang kuda itu adalah seorang muda dengan baju putih yang tampan rupanya, dia bukannya tidak mengetahui yang di belakangnya ada si nona remaja, yang mengejar ia, yang bernyanyi untuknya, ia tapinya telah mengeraskan hatinya, ia mengaburkan terus kudanya itu. Setelah suara nyanyian hilang lenyap dan lembah menjadi sunyi kosong, diam segala apa, baharulah ia menghela napas dan bersenandung:"Sungai Ek Soei tenang-diam, angin barat yang dingin berdesir, si orang gagah sekali pergi tak kembali. Mengadu jiwa hanya mengandali sebatang pedang panjang tiga kaki, biarpun cintanya sangat tetapi dia menoleh ke belakang, ia tidak cuma dapat mensia-siakan si nona-belia..."Kemudian ia menoleh kebelakang ia tidak melihat seorang jua. Kudanya itu kuda jempolan yang bagaikan dapat "mengejar kilat mengubar angin," maka dengan kaburnya barusan, dia telah meninggalkan jauh si nona hingga terpisah dengan beberapa buah bukit...Pemuda itu adalah Tan Hian Kie dan ia tengah menjalankan tugas yang berat yang dibebankan kepadanya, ialah untuk membunuh seorang achli silat kenamaan yang tinggal mendiamkan diri, bersembunyi di gunung Holan San. Maka itu jangankan ia memangnya tak berniat menyintakan si nona, taruh kata ia menyintainya dengan sangat, di dalam saatnya seperti itu, tidak dapat ia terhalang oleh nyanyian itu.Memang, nyanyian itu telah dapat menggoncangkan hati sanubarinya, di lain pihak si nona telah terpisah dengan beberapa lapis gunung, dari itu nona itu tak dapat mendengar helaan napas dan senandungnya itu dan tak dapat melihat juga air yang mengembeng pada kedua matanya...Matahari telah berturun, angin berhawa dingin, maka sang magrib datang makin lama makin suram. Tan Hian Kie mengangkat kepalanya, memandang ke arah depan. Di sana samar-samar terlihatlah puncak dari gunung Holan San itu. Tanpa merasa hatinya menjadi tegang sendirinya. Segera ia membiluki kudanya, dengan mengayun cambuknya, ia melaratkannya ke arah barat.Sekeluarnya dari mulut lembah, pemuda ini mulai mendaki di jalan pegunungan yang berliku-liku. Ia sekarang berada dalam ragu-ragu. Kudanya memang kuda jempolan, tetapi ia berada di jalan pegunungan yang sesukar itu, pula di depan ada seorang musuh yang lihay sekali, walaupun ia tidak jeri, apabila ia menunda perjalanan untuk melewatkan sang malam di situ, ia bisa mendapat kesulitan dari si nona... Bagaimana kalau nona itu dapat menyandak ia dan karenanya ia menjadi kena terlibat? Tengah ia bersangsi itu, bimbang hati, tiba-tiba kupingnya mendengar suara tindakan kaki kabur dari seekor kuda, yang datangnya dari arah depan. Hanya sekejab saja, kuda itu sudah tiba di depannya, hampir kedua binatang saling tabrak, atau mendadak saja penunggangnya telah berlompat turun, tangannya diulur untuk mencegah tabrakan itu.Kudanya si anak muda berjingkrak berdiri seraya memperdengarkan ringkikan yang keras, tetapi dia tidak dapat maju terus, maka itu si anak muda sendiri pun mesti berlompat turun. Sekarang dapatlah ia melihat di hadapannya seorang muda dengan alis yang kereng dan mata yang besar yang wajahnya bermuram durja, dingin, seperti tak ada perasaannya, sedang di saat magrib seperti itu, cuaca remang-remang, dia nampaknya seram...***Soft Cover, Kertas HVS Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |