|
Sinopsis Buku: Bestselling author Nassim Nicholas Taleb continues his exploration of randomness in his fascinating new book, The Black Swan, in which he examines the influence of highly improbable and unpredictable events that have massive impact. Engaging and enlightening, The Black Swan is a book that may change the way you think about the world, a book that Chris Anderson calls, "a delightful romp through history, economics, and the frailties of human nature." See Anderson's entire guest review below. Guest Reviewer: Chris Anderson Chris Anderson is editor-in-chief of Wired magazine and the author of The Long Tail: Why the Future of Business Is Selling Less of More. Four hundred years ago, Francis Bacon warned that our minds are wired to deceive us. "Beware the fallacies into which undisciplined thinkers most easily fall--they are the real distorting prisms of human nature." Chief among them: "Assuming more order than exists in chaotic nature." Now consider the typical stock market report: "Today investors bid shares down out of concern over Iranian oil production." Sigh. We're still doing it. Our brains are wired for narrative, not statistical uncertainty. And so we tell ourselves simple stories to explain complex thing we don't--and, most importantly, can't--know. The truth is that we have no idea why stock markets go up or down on any given day, and whatever reason we give is sure to be grossly simplified, if not flat out wrong. Nassim Nicholas Taleb first made this argument in Fooled by Randomness, an engaging look at the history and reasons for our predilection for self-deception when it comes to statistics. Now, in The Black Swan: the Impact of the Highly Improbable, he focuses on that most dismal of sciences, predicting the future. Forecasting is not just at the heart of Wall Street, but it's something each of us does every time we make an insurance payment or strap on a seat belt. The problem, Nassim explains, is that we place too much weight on the odds that past events will repeat (diligently trying to follow the path of the "millionaire next door," when unrepeatable chance is a better explanation). Instead, the really important events are rare and unpredictable. He calls them Black Swans, which is a reference to a 17th century philosophical thought experiment. In Europe all anyone had ever seen were white swans; indeed, "all swans are white" had long been used as the standard example of a scientific truth. So what was the chance of seeing a black one? Impossible to calculate, or at least they were until 1697, when explorers found Cygnus atratus in Australia. Nassim argues that most of the really big events in our world are rare and unpredictable, and thus trying to extract generalizable stories to explain them may be emotionally satisfying, but it's practically useless. September 11th is one such example, and stock market crashes are another. Or, as he puts it, "History does not crawl, it jumps." Our assumptions grow out of the bell-curve predictability of what he calls "Mediocristan," while our world is really shaped by the wild powerlaw swings of "Extremistan." In full disclosure, I'm a long admirer of Taleb's work and a few of my comments on drafts found their way into the book. I, too, look at the world through the powerlaw lens, and I too find that it reveals how many of our assumptions are wrong. But Taleb takes this to a new level with a delightful romp through history, economics, and the frailties of human nature. --Chris Anderson Resensi Buku:
Resensi Buku oleh: Andre Vincent Wenas Kiat Mengelola Ketidakpastian Oleh: Andre Vincent Wenas ------------------------- Resensi/Tinjauan Buku; Judul buku: �The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable� ; Penulis: Nassim Nicholas Taleb. ------------------------- Karena kebanyakan dari kita telah terbiasa (sebab sedari kecil memang dididik untuk) berpikir kategoris (memilah-milah), memang sulit sekali untuk mencampurkan dua genre: rencana (artinya suatu keterdugaan) dan surprise (suatu ketakterdugaan) yang memang � secara kategoris � berlawanan. Akibat kebiasaan berpikir memilah-milah itu, maka realitas (yang pada kondisi aslinya belum dikategorisasikan) memang menjadi dimengerti secara terpotong-potong. Bahkan ditengarai bahwa pengetahuan kita hanya bisa mencakup peristiwa dan hal-hal yang kecil. Padahal di luar ranah pengetahuan kita banyaklah peristiwa besar yang juga berdampak besar. Black Swan adalah nama sebuah teori yang diusung Nassim Nicholas Taleb, peminat filsafat kelahiran Lebanon yang bekerja sebagai pialang derivative di Wall Street, seorang esais sastra yang juga empirisis yang mengabdikan hidupnya untuk mendalami soal luck, ketidakpastian dan probabilitas. Teori Black Swan menunjukkan banyak peristiwa acak (random)lah yang sesungguhnya mendasari kehidupan sejarah umat manusia. Sebagai suatu peristiwa, Black Swan mustahil untuk diprediksi, namun setelah peristiwa itu terjadi, kita � laksana seorang pakar � berusaha menjelaskan sekaligus merasionalisasinya. Jadi, logika Black Swan melihat bahwa yang tidak kita ketahui adalah jauh lebih relevan ketimbang apa yang sudah diketahui umum. *** Suatu pemahaman tentang realitas (ontologis) senantiasa adalah implikasi dari suatu cara pandang tertentu (epistemologis). Jaman dulu, berdasarkan pengamatan, observasi dan bukti-bukti empiris yang bisa diperoleh sampai saat itu, diketahui bahwa semua angsa warnanya putih. Sehingga dilahirkanlah teori angsa-putih (semua angsa berwarna putih). Dan sekian lamanya teori angsa putih ini tidak bisa dbuktikan kesalahannya, sehingga ia mengalami koroborasi. Sampai akhirnya benua Australia �ditemukan� (ini juga sebenarnya suatu istilah yang aneh, karena benua Australia tidak pernah tersesat atau hilang!) di mana di situ didapati angsa berwarna hitam. Maka seketika itu teori angsa-putih roboh. Metode yang diinisiasi oleh filsuf Karl Popper ini disebut falsifikasi (suatu teori dibuktikan kesalahannya) yang berbeda dengan verifikasi (dibuktikan kebenarannya). Jadi selama tidak terbukti salah, maka teori itu mengalami penguatan (koroborasi) tapi tetap terbuka untuk � suatu saat � didapatinya satu saja data berbeda yang bisa meruntuhkan teori tersebut. Ini memang lebih dari sekedar anomali. *** Peristiwa yang diklasifikasikan sebagai Black Swan tidak dapat (hampir mustahil) untuk diprediksi. Kualifikasi peristiwa disebut Black Swan jika mengandung tiga sifat. Pertama, unik, lain dan sangat berbeda dari dunia atau kerangka harapan kita lantaran tidak ada referensinya di masa lampau (pengalaman, empiris) kita. Kedua, dampak dari peristiwa tadi bersifat ekstrem. Ketiga, walaupun peristiwa itu takterduga sebelumnya, namun � karena sifat alamiah manusia � mendorongnya untuk memberikan penjelasan atau rasionalisasi (setelah peristiwa itu terjadi), sehingga peristiwa itu bakal nampak seperti sesuatu yang �seyogianya bisa diprediksi sebelumnya�. Peristiwa-peristiwa semacam itu dicontohkan dengan mengangkat kasus (masa lalu!) seperti misalnya: bangkitnya tokoh Hitler ke panggung sejarah dunia, keruntuhan dramatis blok Soviet, tragedi 11 September yang merobohkan menara kembar di New York, fenomena penyebaran internet dan lain-lainnya. Pendek kata, segala sesuatu nampak bisa diterangkan setelah peristiwa itu terjadi. Pelbagai teori, spekulasi dan wacana intensif tentang penyebab dan rasionalisasi tentang peristiwa yang telah terjadi itu bermunculan. Pada aras ini, sesungguhnya tidak ada beda yang terlalu jauh antara pakar dan orang awam. Mungkin yang sedikit membedakan status �kepakaran� adalah karena jenis yang pertama lebih mampu untuk �menceritakan� kembali dengan narasi yang lebih baik. Tapi pada hakekatnya, keduanya sama-sama tidak mampu untuk memprediksi peristiwa-peristiwa itu sebelumnya. Jadi bagaimana relevansi praktisnya bagi kita? merencanakan ketakterdugaan bisa diartikan kita menyiapkan dan membuka diri (expose) selebar-lebarnya terhadap probabilitas fenomena Black Swan yang positif, sekaligus waspada dan menjaga diri serapat mungkin terhadap terpaan fenomena Black Swan yang negatif. Realitas sosial pada dirinya sendiri terlalu besar (bahkan misterius) untuk dicerap dipahami secara adekuat dengan �keahlian� kita memilah-milah (mengkategorisasi). Dengan berbuat demikian, sesungguhnya realitas sosial yang tampil adalah realitas yang telah terdistorsi (oleh saratnya kepentingan) kita sendiri. ---------------------- *) Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Praktisi manajemen & dosen IPMI Business School. - Tulisan ini pernah dimuat di Majalah WARTA EKONOMI, edisi 12 Th.XXI, 15-28 Juni 2009. Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |