Cari berdasarkan:



Laskar Pelangi - Bonus: CD Laskar Pelangi di Acara Kick Andy
 








Laskar Pelangi - Bonus: CD Laskar Pelangi di Acara Kick Andy 
oleh: Andrea Hirata
> Fiksi » Sosial, Budaya & Sejarah

List Price :   Rp 138.000
Your Price :    Rp 117.300 (15% OFF)
 
Penerbit :    Bentang Pustaka (Mizan Group)
Edisi :    Hard Cover, CD
ISBN :    9791227187
ISBN-13 :    9789791227186
Tgl Penerbitan :    2008-01-00
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    + 530 hlmn
Ukuran :    0x0x0 mm
Berat :    578 gram
Sinopsis Buku:
Cocok untuk dijadikan hadiah!

Isinya yang begitu menggugah mempunyai kekuatan untuk mengubah hidup seseorang!


Begitu banyak hal menakjubkan yang terjadi dalam masa kecil para anggota Laskar Pelangi. Sebelas orang anak Melayu Belitong yang luar biasa ini tak menyerah walau keadaan tak bersimpati pada mereka. Tengoklah Lintang, seorang kuli kopra cilik yang genius dan dengan senang hati bersepeda 80 kilometer pulang pergi untuk memuaskan dahaganya akan ilmu—bahkan terkadang hanya untuk menyanyikan Padamu Negeri di akhir jam sekolah. Atau Mahar, seorang pesuruh tukang parut kelapa sekaligus seniman dadakan yang imajinatif, tak logis, kreatif, dan sering diremehkan sahabat-sahabatnya, namun berhasil mengangkat derajat sekolah kampung mereka dalam karnaval 17 Agustus. Dan juga sembilan orang Laskar Pelangi lain yang begitu bersemangat dalam menjalani hidup dan berjuang meraih cita-cita. Selami ironisnya kehidupan mereka, kejujuran pemikiran mereka, indahnya petualangan mereka, dan temukan diri Anda tertawa, menangis, dan tersentuh saat membaca setiap lembarnya. Buku ini dipersembahkan buat mereka yang meyakini the magic of childhood memories, dan khususnya juga buat siapa saja yang masih meyakini adanya pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia: pendidikan.

“Saya sangat mengagumi novel Laskar Pelangi karya Mas Andrea Hirata. Ceritanya berkisah tentang perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan. [Novel ini menunjukkan pada kita] bahwa pendidikan adalah memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan sekadar memberikan instruksi atau komando, dan bahwa setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang di masa depan, apabila diberi kesempatan dan keteladanan oleh orang-orang yang mengerti akan makna pendidikan yang sesungguhnya.”
-- Kak Seto Ketua Komnas Perlindungan Anak

“Ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.”
-- Sapardi Djoko Darmono Sastrawan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI

“Di tengah berbagai berita dan hiburan televisi tentang sekolah yang tak cukup memberi inspirasi dan spirit, maka buku ini adalah pilihan yang menarik. Buku ini ditulis dalam semangat realis kehidupan sekolah, sebuah dunia tak tersentuh, sebuah semangat bersama untuk survive dalam semangat humanis yang menyentuh.”
-- Garin Nugroho Sineas

“Cerita Laskar Pelangi sangat inspiratif. Andrea menulis sebuah novel yang akan mengobarkan semangat mereka yang selalu dirundung kesulitan dalam menempuh pendidikan.”
Arwin Rasyid
-- Dirut Telkom dan dosen FEUI.

“Inilah cerita yang sangat mengharukan tentang dunia pendidikan dengan tokoh-tokoh manusia sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, tawakal, takwa, [yang] dituturkan secara indah dan cerdas. Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial kemiskinan harus diperangi dengn metode pendidikan yang tepat guna. Dalam hubungan itu hendaknya semua pihak berpartisipasi aktif sehingga terbangun sebuah monumen kebajikan di tengah arogansi uang dan kekuasaan materi.”
Korrie Layun Rampan
-- Sastrawan dan Ketua Komisi I DPRD Kutai Barat




Resensi Buku:

  Potret Pendidikan Dasar di Sumsel Dulu
oleh: Rimbun Natamarga
(Untuk Eli Nurlaeli di Banten) Saya dulu sekolah di salah satu SD Muhammadiyah yang ada di kota Palembang. Di sekolah itu, selain pelajaran-pelajaran umum, ada juga beberapa pelajaran tambahan, yang waktu itu disebut sebagai �muatan lokal.� Di antaranya, Kemuhammadiyahan. Di dalamnya, saya diajarkan tentang arti dan tujuan dari pendidikan yang diinginkan oleh Muhammadiyah. Sepintas kedengaran seperti indoktrinasi. Tapi, sebenarnya bukan, dan kami�agaknya�masih menyenanginya ketimbang pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. Seperti Ikal dan kawan-kawan. Ikal bersekolah di SD Muhammadiyah Belitung (disebut juga Belitong). Berbeda dengan saya yang di ibukota Propinsi Sumatera Selatan (waktu itu Belitung masih satu propinsi dengan Palembang), kondisi sekolahnya menyedihkan. Bangunan sekolah sudah doyong-hampir-roboh. Tak ada alat-alat bantu pendidikan seperti tabel-tabel perkalian. Gambar burung garuda pun tak punya, malah. Sebagai sesama murid SD Muhammadiyah, rasanya kami sadar sekali kedudukan sekolah kami dibanding di antara sekolah-sekolah yang lain. Biasanya, baik di Palembang maupun di Belitung, predikat sebagai sekolah favorit dipegang oleh sekolah-sekolah swasta yang didukung penuh biayanya oleh institusi tertentu. Di Palembang waktu itu, sekolah favorit jelas SD Xaverius I, II, III, dan IV yang didukung oleh Yayasan Xaverius. Adapun di Belitung, sekolah favorit jelas SD PN Timah yang didukung penuh biayanya oleh Perusahaan Negara (PN) Timah. Meski didukung oleh Muhammadiyah, sekolah kami selalu serba kekurangan dan ini merupakan pengecualian. Satu-satunya yang patut dibanggakan adalah cita-cita mulia dibalik pengadaan sekolah-sekolah. Bagaimana dengan sekolah-sekolah negeri? Sekolah-sekolah negeri jelas disubsidi oleh pemerintah. Meskipun begitu, kualitas pendidikan dan fasilitas sekolah-sekolah negeri terlihat kurang. Selain gaji guru yang kecil, para calon guru lebih memilih melamar di sekolah-sekolah swasta tadi. Di sana, selain gaji besar, profesi sebagai guru benar-benar dihargai. Bukan bermaksud mengadili, tapi begitulah keadaannya saat itu. Ikal rasanya beruntung sekali. Sekelas ia hanya berjumlah 10 orang. Meskipun jumlah guru di sekolahnya sedikit, jumlah murid yang sedikit itu menjadikan ikatan batin antara guru dengan murid lebih erat. Guru di sana berfungsi bukan hanya sebagai seorang pengajar, tapi juga sebagai seorang sahabat, seorang mitra, yang menemani para murid berjalan dalam dunia mereka. Guru-guru Ikal akan memberi jawab atas pertanyaan para murid bukan sebagai seorang dewasa yang serba tahu, tapi sebagai seorang manusia yang sama-sama belajar. Dengan begitu, apa yang terbaik bagi para murid tidak melulu ditentukan oleh para guru. Para murid berhak memilih dan memutuskan, bukan atas paksaan para guru. Tentu saja, bimbingan para guru juga perlu di sini. Misal saja, waktu akan diadakan acara karnaval 17 Agustus antar sekolah di Belitung. Bagaimana bentuk dan isi pertunjukan yang akan dibawakan dalam acara karnaval itu, Ikal dan kawan-kawanlah yang menentukan dan merancangnya. Berbeda dengan saya dan teman-teman di Palembang. Di sekolah kami, karena ingin mengejar target yang ditetapkan, para murid hanya menerima pilihan yang ada. Memang, kami pun diberi kesempatan untuk memilih. Tapi, untuk memilih itu pun kami segan. Sebab sejak pertama kali kami sekolah, kami ditanamkan bahwa pilihan para gurulah yang benar. Sebab para guru adalah orang-orang dewasa yang serba tahu, berbeda dengan kami yang masih anak-anak, yang belum tahu apa-apa. Selain itu, karena jumlah kami terbilang banyak (sekitar 25-30 orang), sedangkan jumlah guru sedikit, maka seorang guru mesti memegang tanggung-jawab atas sejumlah itu. Sudah tentu, dengan jumlah itu, prioritas paling utama adalah bagaimana semua murid itu naik kelas, nilai-nilai memuaskan. Toh, bersekolah tak-lebih dan tak bukan agar dapat meneruskan ke jenjang pendidikan di atasnya. Setelah itu, cari kerja dengan penghasilan yang lumayan. Apa yang kami pelajari adalah apa yang sudah tertera dalam buku. Sedang menurut buku-buku yang kami punyai itu, yang benar itu hanya satu. Tak ada kemungkinan-kemungkinan di luar itu. Sebenarnya, kalau mau jujur, kemungkinan-kemungkinan yang dimaksud itu ada, memang. Tapi, kemungkinan-kemungkinan itu baru dipelajari nanti ketika sudah SMP atau SMA atau ketika sudah di perguruan tinggi. Jatah bagi kami, ya, seperti apa yang ada dalam buku-buku kami itu. Padahal, kami iri sekali dengan Ikal dan teman-teman. Mereka di sana, meski serba kurang, mereka tak dikekang naluri ingin tahu mereka. Ibu guru mereka, Bu Mus, membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkembang. Akibatnya, apa yang mereka pelajari bukan semata apa yang diberi di dalam kelas. Mereka belajar banyak dari kehidupan di luar sekolah. Apa yang didapati, sekiranya membingungkan, baru ditanyakan pada Bu Mus di kelas. Dan beliau tak segan-segan untuk menjelaskannya. Lintang, salah satu teman Ikal, bahkan karena ingin tahunya, sering membaca buku-buku Pak Harfan, bapak kepala sekolah, ketika sedang membersihkan ruangannya. Pak Harfan jelas tahu akan kelakuan muridnya ini. Tapi beliau membiarkannya, mungkin sekaligus bangga. Hasilnya, Lintang dalam usia belia sudah memahami pokok-pokok pelajaran ilmu pasti yang sedianya diberikan di tingkat SMP dan SMA. Tak masuk di akal, memang. Tapi begitulah adanya. Mereka sejak hari pertama bersekolah telah ditanamkan oleh kepala sekolah sebuah prinsip, bahwa �hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.� Berbedalah dengan kami yang hari-hari pertama itu diisi dengan pernyataan bahwa �lusa nanti jangan lupa bawa uang Rp. 300, 00 untuk beli kertas huruf-hurufan agar kalian bisa cepat membaca...� Hari ini, setelah kami sama-sama dewasa, sudah rahasia umum bahwa pendidikan-dasar di Indonesia amat menyedihkan. Naluri ingin tahu, naluri ekplorasi para murid dipasung begitu saja pada usia dini. Akibatnya, sampai dewasa yang ada hanya menerima apa yang sudah jadi. Gejala ini ternyata bukan semata-mata penilaian kami pribadi. Y.B. Mangunwijaya jauh-jauh hari telah mengingatkan akan hal ini. Menurutnya, pendidikan menengah dan tinggi boleh saja brengsek mutunya asalkan pendidikan dasar, pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah dasar baik dan tak memasung daya eksplorasi si murid. Apa yang diberikan pada usia dini itulah modal penting bagi seorang anak untuk menjalani hidup selanjutnya. Ikal dan teman-teman beruntung mendapat pendidikan bermutu dari guru-guru mereka. Mendengar ceritanya, saya jelas iri. Cara mendidik guru-guru mereka menyadarkan saya akan ruang baru yang sering tak disentuh oleh banyak guru selama ini. Kedekatan, ikatan batin yang dibangun antara guru dengan murid�itu kuncinya.


Add your review for this book!



Buku Lainnya oleh Andrea Hirata:
Rp 49.500     Rp 42.075
Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup ...  [selengkapnya]
Rp 79.000     Rp 67.150
Laskar Pelangi Song Bookmempersembahkan lagu-lagu ciptaan Andrea Hirata beserta kisah-kisah dalam novel ...  [selengkapnya]
Rp 79.000     Rp 67.150
I wanted to climb to the summit of challenges, attack my way through hardships as solid as granite, tempt all sorts of peril, and break through ...  [selengkapnya]
Rp 39.000     Rp 33.150
Andrea Hirata, novelis Indonesia paling fenomenal menghadirkan Sebelas Patriot, sebuah kisah yang menggetarkan dan sangat inspiratif tentang cinta ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku yang dikarang oleh Andrea Hirata  »


Tentang Pengarang:

Andrea Hirata Seman adalah si Ikal yang diceritakan dalam buku tetralogi buku Laskar Pelangi. Ia berpendidikan S1 dari Universitas Indonesia dan S2 dari Sheffield Hallam University (SHU), Inggris. Ia sempat melakukan riset di Universit de Paris, Sorbonne, Prancis dan risetnya itu, yang juga dikisahkan dalam buku ini, mendapat penghargaan khusus dari SHU. Hasil riset tersebut telah ditulis Andrea dalam buku berbahasa Inggris dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Andrea lahir di Belitong dan sampai saat ini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom di Bandung. [selengkapnya]




Buku Sejenis Lainnya:
oleh Yoga Adhitrisna, Hari Prast
Rp 149.000
Rp 126.650
Sebuah koleksi karya yang merekam jejak kelahiran Demokreatif. Tiga puluh karya poster yang terakurasi di sini, niscaya memproklamasikan kemerdekaan ...  [selengkapnya]
oleh Lew Wallace
Rp 92.000
Rp 78.200
Yuda Ben-Hur hidup pada awal abad ke-1. Dia pedagang muda kaya-raya di Yerusalem. Ketika seorang gubernur baru datang ke kota itu, sahabat masa kecil ...  [selengkapnya]
oleh Koen Setyawan
Rp 43.000
Rp 36.550
UFO selalu menjadi isu menarik yang ramai di perbincang. Berbagai macam cerita dan kesaksian tentang UFO tersebar di seluruh dunia. Tapi taukah Anda, ...  [selengkapnya]
oleh Eiji Yoshikawa
Rp 64.000
Rp 54.400
Kondisi negeri yang terpuruk akibat keserakahan klan Taira, menguntungkan Yoritomo yang ingin ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku sejenis »




Advertisement