Cari berdasarkan:



Mereka Bilang Aku Kafir
 


Maaf, stock buku kosong atau out-of-print.


Mereka Bilang Aku Kafir 
oleh: Muhammad Idris
> Kisah Nyata » Inspirasional & Spiritualitas
> Pengembangan Diri & Motivasi » Motivasi

Penerbit :    Hikmah (Mizan Group)
Edisi :    Soft Cover
Tgl Penerbitan :    2007-11-00
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    250
Ukuran :    0x0x0 mm
Sinopsis Buku:
Diawali dari pertemuan biasa, berlanjut kepada diskusi agama, perlahan namun pasti saya hanyut dalam ajaran mereka. Sampai akhirnya, saya mengabdi total demi kepentingan mereka. Saya bekerja siang dan malam, saya patuh dan tunduk, saya melakukan segalanya tanpa bertanya, saya berikan semua yang saya miliki. Sementara para pemimpinnya memperkaya diri hari demi hari, sementara pelanggaran demi pelanggaran akidah terjadi di depan mata. Saya tak sadar. Mata hati saya tertutup. Sampai suatu saat, akumulasi ragu dan tanya itu pun mewujud, menjadi sebuah cahaya dalam hati.

Perjuangan saya untuk melepaskan diri ini tak akan sia-sia, karena dengan menulis novel ini, saya berharap, tak akan ada lagi orang yang tersesat, hanya karena tak ingin dibilang kafir.




Resensi Buku:

  Eksistensi Para Pengafir di Sekitar Kita
oleh: Rimbun Natamarga
Dengan ingatan yang payah, saya tulis juga sepotong bait dari satu puisi terkenal Taufik Ismail. Dan hanya ini yang bisa saya ingat dari kumpulan puisinya itu, Tirani dan Benteng. "Di antara kita/aku tarik sebuah garis lurus/dari sana jarak pun terbentang/memisahkan kau dan aku" Saya yakin, bukan seperti ini puisi itu adanya. Tapi, sekali lagi saya betul-betul lupa. Yang jelas, bagi saya, puisi Taufik Ismail itu adalah salah satu, untuk tidak menyebut satu-satunya, puisi yang melukiskan kecenderungan kita-mereka, kami-kalian, in group dan out group. Puisi itu, agaknya, bisa mewakili sikap kita selama ini untuk melihat segala konflik sebagai kita dan mereka. Saya bicara seperti ini, setelah saya kembali menemukan hal itu dalam sebuah buku. Mereka Bilang Aku Kafir adalah sebuah kisah nyata yang dituangkan dalam bentuk novel. Lucunya, meski memakai nama-nama samaran sekali pun, saya tahu aliran sesat yang diceritakan di situ, juga pesantren mereka yang disamarkan di dalamnya. Dan saya yakin, cerita yang disuguhkan penulis buku itu memang benar, terjadi apa adanya di tengah kita. Selama ini, kita sering merasa ragu-ragu, seolah-olah tidak percaya bahwa ada orang-orang yang menghalalkan darah-darah kaum muslimin hanya karena tidak satu keyakinan dengan mereka. Mereka itu ada di sekitar kita. Mereka shalat, puasa, berzakat dan mengenakan identitas-identitas Islam yang umum kita kenal. Kaum perempuan mereka juga mengenakan jilbab dan mereka fasih melantunkan ayat-ayat Al-Qur�an. Jauh lebih fasih dari kita semua. Lebih dari itu, lewat keyakinan mereka yang keji, kita di mata mereka tak jauh beda bahkan sama persis dengan babi-babi, anjing-anjing buduk dan segala lambang kerendahan yang kita bisa kenal. Pokoknya, kita semua hina dan tak berharga di mata mereka. Tokoh Idris dalam Mereka Bilang Aku Kafir berbicara tentang satu kelompok sempalan dalam Islam yang sekarang masih hidup di Indonesia. Ia menjadi saksi bagaimana bekas kelompoknya itu mengancam keutuhan hidup bernegara dan beragama kita. Dan semua itu hanya karena pemahaman mereka yang keliru terhadap ayat-ayat Al-Qur�an dan hadits-hadits Rasulullah. Idris juga mempersaksikan bahwa mereka adalah gerombolan dungu yang berusaha menarik orang banyak agar satu keyakinan dengan mereka. Biasanya, mereka mulai dari orang-orang di sekitar mereka. Teman sekolah, teman sekitar rumah, orangtua adalah target pertama dan mungkin utama yang harus mereka islamkan kembali. Sekali lagi: yang ingin mereka ISLAMKAN KEMBALI. Dalam kacamata Islam, sebagaimana yang dikatakan Asy-Syahrastani dalam Al-Milal wan Nihal, kelompok seperti mereka disebut sebagai kaum khawarij. Ciri khas mereka adalah gampang mengafir-ngafirkan orang hanya karena orang tersebut melakukan dosa-dosa besar dan terutama tidak satu keyakinan dengan mereka. Dan ciri paling mencolok dari mereka adalah gampangnya mereka untuk memberontak terhadap penguasa resmi yang memerintah negeri-negeri mereka. Kalau manusia yang seperti kita dianggap kafir oleh mereka, jelas kita tak akan ambil pusing, meskipun hti ini pasti dongkol dan mencak-mencak. Akan tetapi, orang-orang seperti mereka juga tidak tanggung. Bayangkan, menantu Rasulullah saja, Ali bin Abi Thalib, mereka kafirkan hanya karena satu perkara yang menurut mereka keliru. Padahal orang-orang yang jeli akan tahu bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah sekali pun jatuh murtad selama hidupnya, apalagi ketika memegang tampuk kekuasaan atas kaum muslimin pada waktu itu. Tidak berhenti di sana, mereka, kaum khawarij itu, juga mengafirkan orang-orang yang jauh berilmu dan menjadi rujukan umat Islam pada waktu kapan pun dan tempat mana pun. Imam-imam mazhab fikih yang empat, misalnya, mereka kafirkan hanya karena keempat imam itu taat dan tunduk pada penguasa resmi negeri-negeri Islam waktu itu. Janganlah tanya ulama-ulama yang menjadi rujukan kita pada hari ini. Kaum khawarij mengafirkan mereka semua. Ulama di mata mereka haruslah orang-orang yang ikut mengafirkan dan memberontak kepada penguasa resmi kaum muslimin. Anda mungkin bingung, karena keterangan saya ini, lalu berkata, �Kaum khawarij, saudaraku Rimbun, itu hidup dan sudah ditumpas habis pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib.� Dan kalimat itu akan diteruskan kembali, �Anda jangan mengada-ada bahwa mereka masih ada sekarang, karena itu disebut dengan ahistoris.� Mungkin benar pernyataan itu, tapi bisa saya pastikan tidak. Khawarij akan terus ada, apa pun nama mereka, apa pun bentuk mereka, apa pun tampang mereka. Mungkin dulu mereka orang-orang yang hafal Al-Qur�an dan membuat kita minder akan ibadah-ibadah kita di depan mereka yang rajin dan kuat beribadah. Mereka akan terus ada sampai hari Kiamat tiba. Perhatikan saja ciri utama mereka yang sudah saya sebutkan tadi. Dan saya pastikan, anda-anda semua dapat melihat keberadaan mereka di sekitar mereka. Ritz yang meledak itu atau CIMB yang dirampok itu belum apa-apa. Mereka masih banyak dan larut di sekitar kita. Mereka terobsesi untuk menggulingkan SBY dan Boediono atau siapa pun yang jadi pemerintah kita. Jangankan presiden dan wakilnya, ketua RT di lingkungan mereka pun dikafirkan pula. Yang mesti kita sadari, mereka banyak dan terpecah-pecah. Derajat militansi mereka pun beragam. Lucunya, antara mereka pun ternyata saling bermusuhan (baca: mengafirkan). Mereka hari ini bisa berjenggot dan mengenakan identitas-identitas keislaman. Tapi, ingat, mereka akan begitu mudah meninggalkan semua itu untuk mengenakan jeans, t-shirt gaul, tank top dan mencukur jenggot-jenggot mereka. Untuk sebuah penyamaran, mereka harus melakukan itu. Apalagi, jika keadaan menuntut mereka seperti itu, misalnya, ketika dikejar-kejar Densus 88 akibat membobol CIMB. Anda masih tidak percaya? Kalau begitu, masih ingat rekaman persiapan peledakan Ritz dan Marriot tahun lalu? Masih ingat ujaran mereka, cita-cita mereka dan, lebih penting lagi, tampang mereka yang direkam oleh Saifuddin Zuhri itu? Masih ingat topi pet pelaku, kemeja chic yang dikenakannya, sepatunya atau pantalon yang dipakai saat beraksi? Atau setelan ketika mereka direkam setelah lari-lari pagi di sekitar dua hotel itu? Ingatkah kita? Jangankan saya atau anda, orangtua mereka pun jauh lebih tidak percaya, kalau anak-anak mereka seperti itu.Dan itu bukti: kita lalai selama ini.[]


Add your review for this book!


Buku Sejenis Lainnya:
oleh Abd al Malik (Regis Fayette Mikano)
Rp 39.800
Rp 33.830
Régis menjalani masa kecil yang kelam. Dari tanah airnya, Kongo, keluarganya menuju Prancis demi mengejar impian ayahnya. Ternyata sang ayah ...  [selengkapnya]
oleh Ginan Koesmayadi, Sundea
Rp 65.000
Rp 52.000

Hidup bukan hanya tentang bunga-bunga yang tumbuh indah atau matahari yang bersinar hangat. Hidup juga berarti siap menerima daun-daun yang ...  [selengkapnya]

oleh Rusna Nondi
Rp 68.000
Rp 57.800
"Wanadri itu bagai setitik cahaya di kegelapan."
Salahuddin Wahid (W-0023 POR)
[selengkapnya]
Kisah Nyata Seorang Perempuan yang Menjumpai Tuhan dalam Kematiannya, Lalu Hidup Kembali
oleh Crystal McVea , Alex Tresniowski
Rp 98.000
Rp 83.300
10 Desember 2009, Crystal McVea, seorang ibu berusia 32 tahun dengan empat orang anak, berhenti bernapas. Wajahnya menjadi berwarna biru gelap, lalu ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku sejenis »




Advertisement