|
Sinopsis Buku: Selalu ada cerita yang mampu memberi pelajaran berharga dalam setiap perjalanan, ke gunung, ke tebing, bahkan ke pusat kota sekalipun. Betapa beranekanya permukaan bumi ini.setiap jengkalnya menjanjikan wawasan baru, yang memasak jiwa hinggan menjadi lebih matang.Buku ini menghadirkan suasana alam dalam aktivitas naik gunung dan panjat tebing,tentang apa-apa yang ditemui, yang kemudian dapat menjadi semacam nilai yang bisa direnungkan, yang semakin mendewasakan diri di dalam menggeluti alam semesta.Daftar IsiKata pengantar1. Panjat tebing itu cara bermain aman di sisi curam2. Mengikat janji dengan penunggu pendil3. Leyeh-leyeh di gunung gede4. Tersangkut di tebing kawah gunung gede5. Krakatau, sebuah dunia baru6. Catatan harian memanjat tebing sepikul7. Panjat tebing emas8. Telaga sampuran harimau9. Satu weekend di citatah10. Hobi baru di pusat bisnis Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: dadang sukandar Cerita Segar Tulisan Perjalanan Indonesia Dahulu Soe Hok Gie pernah memesonakan dengan tulisan perjalanan bertajuk "Menaklukkan Gunung Slamet". Dalam tulisan tersebut dengan gamblang pria yang meninggal di usia muda itu menjabarkan seluk-beluk perjalanan mereka ke gunung tertinggi di Jawa Tengah tersebut. Pada awal tulisannya, Gie menjabarkan latar belakang perjalanan pendakian. Dengan gaya normatif kaku dan ideal, akhirnya Gie menemukan apa sebenarnya konsep mereka hingga nekat mendaki gunung berkepala botak itu. "Mencintai secara sehat tak akan mungkin dapat dicapai bila kita tak mengenalnya. Mendaki gunung membuat kami lebih mengenal masyarakat Indonesia dari dekat," paparnya. Ungkapan kalimat-kalimat itu yang kemudian masih menggayuti kepala, bila kita bertandang kembali ke gunung-gunung. Karena dengan kalimat-kalimat itu, para pendaki gunung seperti memasuki fase berikutnya dari era gagah-gagahan mendaki, menuju era baru yang lebih bermanfaat. Para pemuda mulai belajar mengenal masyarakat Indonesia dari dekat, mendalami dan mengerti masalah-masalahnya, hingga nanti saat para pemuda itu menjadi para pemegang keputusan, simpanan-simpanan memori itu yang akan menjadi pegangan. Itu sekelumit hasil sebuah tulisan tentang perjalanan, yang mengejewantahkan konsep, dan menjabarkannya hingga menjadi prinsip yang dibutuhkan manusia dalam menjani hidup. Gie baru satu contoh. Bagaimana bila kita membaca tulisan Madelon Lulofs dalam novel Coolie. Dalam pengembaraan wanita Belanda itu ke negeri Sumatera, ia harus menghadapi kenyataan pahit hidup bersama para kuli di perkebunan-perkebunan karet negeri Andalas. Kejahatan kolonialisme jelas memaksa Lulofs membuat novel tersebut. Ia menjabarkan bagaimana sifat kuli yang cenderung nrimo dan skenario tak terbuka kaum kolonial, yang membuat Lulofs merasakan ketidakadilan di dalamnya. Menurut Lulofs, para kuli itu juga seharusnya mendapatkan hak yang sama sebagai manusia, bukannya diperlakukan sebagai boneka peras, yang menyenangkan hati kolonialis saja. Mereka juga butuh kepintaran, perbaikan masa depan, dan hak untuk memilih. Bukan seperti yang sering ia perhatikan saat ia membuat buku tersebut. Para kuli menjadi sapi perah keuntungan para juragan kolonial. Mereka hanya dianggap aset produksi, tidak diperkenankan memiliki istri, dan jahatnya tidak memiliki kesempatan untuk maju. Lulofs seperti menjadi tahap berikutnya hasil dari tulisan perjalanan. Sebuah paradigma baru tercipta dari tulisan-tulisan tersebut, yang memaksa orang berubah diri, dan bersama menuju sebuah harapan yang lebih baik. Pada buku yang ditulis Dadang Sukandar dalam tajuk Berburu Nyali di Tebing Emas ini, sempat ada harapan seperti itu. Seperti Gie, Dadang juga mencoba menjabarkan apa yang ditemuinya, dalam perjalanan-perjalanan mendaki gunung dan memanjat tebing. Meskipun akhirnya mungkin tak semua dari kita akan merasakannya, apa yang ditulis Dadang terasa lebih renyah. Idealisme yang sempat terasa kemudian buram dalam aroma metropolitan. Tak ada yang bisa disalahkan, karena seperti itulah kebanyakan anak muda kita sekarang. Mereka minim keseriusan dan menganggap segala hal tak pernah lepas dari humor. Penggalan-penggalan artikel di buku ini juga memuat nilai tersebut. Sepertinya, pengarang mencoba membawa kita ke arah rasa aman. Pemaksaan pada paradigma kegiatan-kegiatan menantang seperti ini hanyalah soal kebiasaan dan bukan hal luar biasa. Ini terlihat jelas di beberapa artikelnya berjudul "Leyeh-leyeh di Gunung Gede", "Panjat Tebing Emas", dan lainnya. Asyiknya buku ini memiliki tulisan tambahan kecil di dalamnya, yang ditaruh dalam boks�boks tersendiri. Tampaknya justru boks itu yang akan menjadi kekuatan buku ini. Kita akan menemukan seorang jati diri petualang di dalamnya, apa adanya, penuh romantika, dan kadang penuh juga dengan cerita-cerita lucu. Bagaimana tidak. Seperti dalam tulisan "Sorry Mulut Asem Nih" tergambar jelas bagaimana persahabatan di alam bebas bukanlah sesuatu hal tabu. Dalam "Meratapi Bumi Pasundan" kembali membuat kita terperangah pada kehancuran, atau "Lupa Ngiket Spanduk" mengingatkan kita pada kebodohan-kebodohan yang kadang kita lakukan secara manusiawi. Itulah buku ini. Sebuah buku yang lurus sebagai manusia. Buku ini tak sebersahaja Gie atau Lulofs memang. Namun paling tidak, buku ini menjadi angin segar bagi genre tulisan perjalanan di Tanah Air. Para pengarang kini lebih banyak melupakan dasar realis dalam berkata-kata. Namun kini lebih berkutat pada kata-kata berbunga, yang kadang tak banyak dipahami maknanya. Seberapa banyak tulisan metafora bisa berdampak langsung pada perubahan? Tulisan realis, seperti Lulofs, Gie, Max Havelar lebih terbukti membawa bangsa ini menuju pemikiran yang lebih baik. (Sinar Harapan/ Sulung Prasetyo). ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |