|
Sinopsis Buku: Sebagai pena boleh bungkam dan sebagian lidah pun boleh kelu, karena enggan betutur tentang keagungannya--meskipun pernah dalam lintasan sejarah, sang lidah tak kenal kelu kalau untuk mengobral caci maki terhadapnya, bahkan mengalir deras membasahi dan menjadi ornamen mimbar-mimbar kedustaan--namun, siap yang mampu menyangkal realita, bahwa dialah satu-satunya orang yang selalu membela Rasulullah saw, bahkan dalam saat genting, di mana orang-orang pemberani sekalipun bersikap gentar dan ragu menghadapinya. Dia berani menjadi tameng Nabi saw di medan laga manakala yang lain miris dan lari tunggang-langgang.
Dialah Ali bin Abi Thalib, satu-satunya khalifah di antara al-Khulafa ar-Rasyidun yang bergelar ''Imam''. Pada dirinya berkumpul semua sifat luhur dan ketakwaan, nasab yang mulia, lidah yang fasih, jiwa yang bersih, otak yang cerdas dan pemikiran yang cemerlang, selain juga keberaniannya yang luar biasa. Sejak usia dini, ia telah berada dalam asuhan seorang manusia pilihan, Rasulullah saw sang Nabi akhir zaman. Ia kerap diajak Nabi saw ke gua Hira untuk berkhalwat, bahkan adakalanya turut menyaksikan sinar wahyu, sehingga menghirup harumnya semerbak nubuwah. Maka tak heran kalau ketaatan dan kedekatannya dengan manusia paling agung dan teladan segala zaman ini, membuat ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang berbudi luhur, kesatria, jujur dan berani dalam membela kebenaran dan melawan kebatilan; ia telah membuat cemburu hati-hati yang dengki dan dibenci orang-orang munafik. Buku ini mengulas tentang keagungan karakter Ali bin Abi Thalib, seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, setelah Nabi saw. Penulisnya, Murtadha Muthahhari, menyajikan sebuah tulisan yang membuat pembaca enggan berpaling dalam menelusuri kemuliaan, dan mengungkap suri teladan serta kebenarannya. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |