|
Sinopsis Buku: Sudah lama teologi Kristen bergulat dengan ketidakcerdasan sosial-kultural menghidupi konteks pluralisme religius-kultural. Sikap buta, memusuhi konteks dan mengeras dengan identitas kolonial sangat kuat dalam praksis ber-teologi, eklesiologi dan misiologi. Ini adalah bunuh diri teologis. Mengapa demikian? Berteologi kontekstual tidak akan pernah relevan dan mencapai tahap fungsional jika wawasan-wawasan yang ada di dalam konteks sudah dihakimi. Sikap mengeras dengan paradigma lama juga bentuk dari ideologi panik anti konteks yang payah dan kadaluwarsa. Di sinilah, merayakan 'Sang Liyan' adalah sebuah interupsi tentang makna keberlainan. 'Sang Liyan' menggambarkan paradoks makna ‘sesama’. Sesama bukanlah manusia dalam pengertian sebagai yang sungguh sama, namun justru bahwa sesama itu sungguh manusia dalam keberadaannya yang berbeda-beda. Itulah 'liyan'. Kita pun sering menoleh pada Gestell dan Gelassenheit. Dalam hal yang pertama, sikap kita kepada liyan ialah menjangkau, menangkap, membendakan dan merengkuh untuk dikuasai. Dalam hal Gelassenheit, kita bersikap melepas, membiarkan, membuka diri kepada liyan, yang hadir sebagaimana adanya dalam kekhususannya, bersama kita yang terbatas, yaitu suatu orientasi yang memungkinkan kehadiran liyan dalam jamak, bergerak, tidak hierarkis, tidak bisa dikuasai. Dalam konteks penghayatan iman, 'Sang Liyan' sekaligus penegasan tentang tempat pluralisme religius-kultural dalam praksis berteologi Kristen. Untuk tiba ke sana, upaya mendandani gambaran kita tentang 'Sang Liyan' adalah sebuah imperatif teologis. Gambaran teologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara biblis, namun tetap kontekstual, haruslah berangkat dari gambaran teologis mengenai 'Sang Liyan' secara baru. Demikian, upaya mendandani cara memandang 'Sang Liyan' mengandaikan secara teologis kita memberi tempat pada kehadirannya. Di tengah konteks patologi globalisasi, kerja-kerja kolektif dalam mobilisasi religius adalah perayaan praksis kehadiran 'Sang Liyan' sebagai kejadian etis untuk tindakan etis: working with the poor and the oppressed. Berlaku sebaliknya, justru membenarkan apa yang Demokritos katakan: "Barangsiapa melakukan kejahatan, seharusnya merasa malu terhadap dirinya sendiri". Sampai di sini, refleksi iman pun sampai pada pengakuan iman bahwa pada 'Sang Liyan' aku melihat Tuhan. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |