|
Sinopsis Buku:
*** Milati masih membungkam seribu bahasa. Ia tak menentang mata Bu Nyai yang menghunjamnya meminta jawaban, tak juga menunduk. Sebelum ia mendobrak hatinya dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya, ia haruslah tenang. Karena ia tengah mempertarungkan pikirannya. Haruskah ia mengatakan apa yang sesungguhnya? Apa yang kemudian diputuskan Abah dan Bu Nyai jika ia mengatakan kebenaran hatinya? Sungguh jauh dari bayang benaknya. Betapa banyak bahaya mengintai bila ia mengatakan kebenaran itu. Kebenaran hatinya sebenarnya bukanlah kebenaran yang pahit baginya. Akan tetapi bila ia utarakan juga, maka alangkah banyak orang yang akan terimbas bisanya. Pertunangan antara Misas dan Hurin tentulah sudah matang direncanakan oleh Abah, Bu Nyai tentu juga dari pihak Kyai Syafi. Milati tak mau melihat kedua ayah ibu asuhnya itu didera aib yang akan tertinggal di mata Kyai Pare. Meski Kyai Syafi seorang Kyai; ia tetaplah manusia yang akan menaruh kecewa bila dikecewakan, yang akan menanggung luka bila nadi batinnya diiris-iris. Demi kebahagiaan diri, haruskah ia memenggal hubungan baik antara dua keluarga yang terjalin sejak lama? Belum lagi perasaan seorang gadis salehah, yang harus ia rebus hidup-hidup di dalam bejana egonya. Tidakkah seseorang yang berkorban itu selalu lebih mulia dibandingkan dengan orang yang mengorbankan orang lain? *** Milati yang sejak kecil hidup mengabdi di panti asuhan itu, kini pergi mengambil jalannya sendiri. Bersama guncangan guncangan itu ia pergi.... Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |