Sejatinya, globalisasi berembus di tanah Nusantara sejak abad 8 Masehi yang tampak dari menjulangnya bangunan Candi Borobudur. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya mengalami masa keemasan abad 7 Masehi, sebagai salah satu kerajaan terbesar di Indonesia di masa silam. Masih banyak lagi rangkaian peristiwa lintas budaya yang menapaki kerajaan-kerajaan besar dan kecil yang mendiami seluruh tanah Nusantara, termasuk pertalian Kerajaan Haru dengan masyarakat adat di Tanah Karo.
Pada akhirnya, rangkaian sejarah masa lalu itu sekaligus mengukuhkan keberadaan bangsa Indonesia dengan 300 kelompok etnik atau tepatnya 1,340 suku bangsa, sebagai kelompok bangsa yang terbuka terhadap perkembangan nilai-nilai baru yang berpegangan jati diri yang kokoh. Karena itu tak heran banyak bangsa- bangsa di dunia terkagum-kagum melihat kehidupan yang rukun, damai dan harmonis dari bangsa Indonesia sekalipun terdiri dari banyak adat istiadat, aliran politik dan keyakinan agama. Kondisi yang tercipta itu, bukanlah realitas tanpa didasari kesadaran, karena sejatinya nilai-nilai pluralitas yang mewarnai kemajemukan masyarakat sudah tumbuh berabad-abad silam sebagai pusaka warisan luhur bangsa Indonesia. Hal itu juga nampak dari kisah biografi Sahrianta Tarigan. Dibesarkan dari keluarga pemuka adat Karo, Sahrianta melalui masa kecil dan tumbuh dewasa dalam kemajemukan masyarakatnya. Ada pemeluk Pamena (ajaran leluhur Karo), Islam, Kristen, Hindu, Budha. Tidak berhenti disitu kehidupannya di lingkungan Perkebunan, membawanya mengenal baragam anak bangsa, mulai dari Jawa, Batak, Melayu, China dan India. Semua itu, tidak membuat sekat-sekat dalam kehidupan, justru merajut kebersamaan yang semakin kokoh.
Dilatari obsesi menjadi atlit olahraga sepakbola yang kesohor, Sahrianta pun mencoba peruntungan sebagai pemuda rantau ke ibukota Jakarta. Semula dia hanya ingin merumput dengan menyandang kaos tim nasional di Stadion Gelora Bung Karno. Namun, suratan tangan berkata lain, Sahrianta masuk dalam gelanggang politik hingga akhirnya terpilih duduk sebagai Anggota DPRD DKI Jakarta dalam dua periode, (2004-2009) dan (2009 -2014). Ada banyak kisah-kisah yang menarik seiring perjalanan politiknya dalam bergelut sebagai wakil rakyat DKI Jakarta, sekaligus mengukuhkan kesadaran berpolitik dalam kemajemukan, sebagaimana juga heterogennya masyarakat ibukota. Disini kita disajikan lembar demi lembar pengalaman politikus anak negeri yang kukuh, ulet, terbuka dan merakyat.