|
Sinopsis Buku:
Rasti menukar harga dirinya demi "membeli" hidup Galih, bocah laki-laki yang dihasilkan dari perbuatan terlarangnya bersama Johan. Galih, dialah yang kemudian membuat Rasti bertransformasi layaknya mesin uang yang harus bekerja lebih keras untuk membiayai operasi Galih yang mengidap Leukemia. "Kata Kakek itu, Galih nanti pindah rumah ke surga. Di surga nanti Galih nggak sakit lagi, Ma..." kata bocah itu, sesaat setelah masa kritisnya. "Surga itu apa, Ma?" Ya, apa itu surga? Belum tuntas tanya terjawab, sebuah kenyataan pahit mendera batinnya, memupus segala asa, saat menerima vonis paling menakutkan sepanjang hidupnya. Di tengah prahara, kehadiran Wibowo seperti "dikirim" Tuhan khusus untuk Rasti: pria tampan dan mapan yang memberinya sepenggal asa, janji dan cinta. Benarkah dia kelak menuntun Rasti meniti jalan terang menuju surga? Bagaimana dengan Mami Helena, pemilik "tambang emas" yang selama ini "memelihara" Rasti? Apakah Rasti benar-benar melihat surga-Nya? Layakkah ia di sana? Surga macam apa yang pantas untuknya? *** "Novel yang menarik selalu membawa pembacanya pada sebuah perjalanan spiritual. Begitu pun novel ini, sebuah eksplorasi makna surga yang membuatnya menjadi bukan novel biasa." - M. Irfan. Hidayatullah - Penulis novel Sang Pemusar Gelombang Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Bagus Yuli Hidayat �Pantaskah aku melihat surga-Mu ....?� Pramuria. Seringkali ketika mendengar istilah halus dari kata pelacur itu, otak kita akan digiring untuk membayangkan seorang wanita berpakaian serba seksi, berdandan menor, serta berkelakuan manja yang dibuat seluwes mungkin untuk menjerat lelaki hidung belang yang akan menggunakan �jasa�nya. Itulah sebagian besar gambaran dari mereka. Tapi pernahkah terbesit dalam pikiran kita bahwa tidak semua pramuria itu benar-benar senang menjalani profesi mereka? Terlalu seringnya kita berpikir sempit tentang mereka, tanpa kita mau tahu alasan apa sebenarnya yang mendorong mereka masuk ke lembah hitam penuh dosa. Berdasarkan hal inilah, sepertinya penulis sengaja mengangkat tema yang berkaitan dengan profesi seorang pramuria untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa masih ada sebagian dari mereka yang menjalankan profesi itu dengan alasan terpaksa, lebih seringnya karena faktor tuntutan ekonomi. Rasti adalah seorang ibu berputra satu yang selama lima tahun belakangan berprofesi sebagai seorang pramuria. Bukan tanpa sebab dia terjerumus ke dalam lembah hitam itu. Semua dilakukan karena ingin mempertahankan hidup bersama anaknya yang mengidap sakit kelainan jantung dan leukimia. Awal mulanya Rasti bersikukuh untuk mempertahankan �sisa� harta paling berharga yang dia miliki, namun melihat kenyataan yang tak seindah harapan, nalurinya sebagai seorang ibu mengharuskan dia melakukan pekerjaan hina itu untuk mendapatkan uang guna berobat Galih, putra satu-satunya yang lahir dari kecerobohannya sendiri karena termakan bujuk rayu Johan yang saat itu berstatus sebagai pacarnya. Namun siapa sangka jika pada akhirnya Johan pulalah yang menjadi jalan perkenalan Rasti dengan dunia prostitusi yang tak pernah diinginkannya. Di tengah ujian hidup yang seakan tak mau berlalu dari kehidupannya, Rasti bertemu dengan seorang lelaki mapan bernama Wibowo yang menawarkan cinta tulus. Tidak hanya untuk Rasti, bahkan untuk Galih. Lelaki ini pula yang berniat membiayai operasi jantung Galih. Satu gambaran kebahagiaan mulai terbayang dalam benak Rasti, hingga akhirnya Rasti memutuskan untuk berhenti menjadi seorang pramuria dan kembali pada Tuhan demi menggapai jalan ke Surga-Nya. Surga yang selalu disebut-sebut Galih dalam mimpinya, dan membuat bocah berusia lima tahun itu berangan untuk bisa pergi ke sana. Di titik balik kehidupannya inilah Rasti merasa telah menemukan surganya sendiri. Surga yang tak pernah terlintas dalam benaknya, dan surga yang ternyata terpisah dari surga yang ditempati oleh orang-orang terkasihnya, Galih dan Wibowo. Hampir semua bagian dari novel ini menyuguhkan penderitaan Rasti sebagai tokoh utamanya. Namun satu demi satu penderitaan itulah yang seolah dijadikan penulis sebagai alat untuk memancing emosi pembaca. Di satu kesempatan, kita akan dibuat sedih dan ikut larut dalam penderitaan Rasti, namun pada kesempatan yang lain kita akan dibuat geram dengan kelakuan tokoh-tokoh antagonis yang sengaja dihadirkan untuk menjegal kehidupan Rasti. Novel ini memang mengangkat tema yang cukup akrab di telinga kita, tapi penulis mampu menuliskannya dengan apik dan tak membosankan. Bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti menjadi salah satu nilai plus dari novel ini. Surga Sang Pramuria adalah novel yang penuh pembelajaran hidup. Pembaca diajak untuk lebih bijak dalam menilai seseorang, tidak hanya melihat status atau profesi dari seseorang tersebut. Dalam novel ini juga bisa dipetik sebuah pesan bahwa dunia ini hanyalah persinggahan semata, dimana apa yang kita miliki suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya. Tak peduli kita ingin atau tidak, tapi jika Tuhan sudah berkehendak, tentu Dia-lah yang akan menang. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan novel dewasa ini. Pertama, di satu kesempatan, penulis menjadikan Rasti sebagai seorang wanita yang terkesan berwawasan luas. Sementara pada kesempatan lain disebutkan bahwa Rasti hanyalah seorang lulusan SMP. Kedua, novel ini hanya bisa dibaca oleh pembaca pada rentang usia tertentu, sebut saja usia tujuh belas tahun ke atas. Itulah sebabnya mengapa saya menyebutnya sebagai novel dewasa. Hal ini dikarenakan pada beberapa bagian terdapat adegan-adegan dewasa yang belum layak dibaca oleh pembaca di bawah umur (kurang dari tujuh belas tahun). Saya maklum karena novel ini pada dasarnya memang mengangkat tema tentang seorang pramuria, yang tentu saja tidak lepas dari yang namanya dunia sex. Tapi jangan khawatir, penulis sangat pandai menuliskan adegan-adegan itu secara implisit, sehingga tidak terkesan vulgar. Selebihnya, tak ada alasan untuk tidak membaca novel ini. Novel ini juga mengajak kita untuk sejenak merenung dan mempertanyakan diri, �Sudah pantaskah saya berada di surga-Mu, Ya Allah?� Karena bukan hanya Rasti, sebagai seorang manusia, tentu kita juga tak luput dari yang namanya salah dan dosa. Selamat membaca (Ragil Kuning, Sukoharjo) ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Bagus Yuli Hidayat �Pantaskah aku melihat surga-Mu ....?� Pramuria. Seringkali ketika mendengar istilah halus dari kata pelacur itu, otak kita akan digiring untuk membayangkan seorang wanita berpakaian serba seksi, berdandan menor, serta berkelakuan manja yang dibuat seluwes mungkin untuk menjerat lelaki hidung belang yang akan menggunakan �jasa�nya. Itulah sebagian besar gambaran dari mereka. Tapi pernahkah terbesit dalam pikiran kita bahwa tidak semua pramuria itu benar-benar senang menjalani profesi mereka? Terlalu seringnya kita berpikir sempit tentang mereka, tanpa kita mau tahu alasan apa sebenarnya yang mendorong mereka masuk ke lembah hitam penuh dosa. Berdasarkan hal inilah, sepertinya penulis sengaja mengangkat tema yang berkaitan dengan profesi seorang pramuria untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa masih ada sebagian dari mereka yang menjalankan profesi itu dengan alasan terpaksa, lebih seringnya karena faktor tuntutan ekonomi. Rasti adalah seorang ibu berputra satu yang selama lima tahun belakangan berprofesi sebagai seorang pramuria. Bukan tanpa sebab dia terjerumus ke dalam lembah hitam itu. Semua dilakukan karena ingin mempertahankan hidup bersama anaknya yang mengidap sakit kelainan jantung dan leukimia. Awal mulanya Rasti bersikukuh untuk mempertahankan �sisa� harta paling berharga yang dia miliki, namun melihat kenyataan yang tak seindah harapan, nalurinya sebagai seorang ibu mengharuskan dia melakukan pekerjaan hina itu untuk mendapatkan uang guna berobat Galih, putra satu-satunya yang lahir dari kecerobohannya sendiri karena termakan bujuk rayu Johan yang saat itu berstatus sebagai pacarnya. Namun siapa sangka jika pada akhirnya Johan pulalah yang menjadi jalan perkenalan Rasti dengan dunia prostitusi yang tak pernah diinginkannya. Di tengah ujian hidup yang seakan tak mau berlalu dari kehidupannya, Rasti bertemu dengan seorang lelaki mapan bernama Wibowo yang menawarkan cinta tulus. Tidak hanya untuk Rasti, bahkan untuk Galih. Lelaki ini pula yang berniat membiayai operasi jantung Galih. Satu gambaran kebahagiaan mulai terbayang dalam benak Rasti, hingga akhirnya Rasti memutuskan untuk berhenti menjadi seorang pramuria dan kembali pada Tuhan demi menggapai jalan ke Surga-Nya. Surga yang selalu disebut-sebut Galih dalam mimpinya, dan membuat bocah berusia lima tahun itu berangan untuk bisa pergi ke sana. Di titik balik kehidupannya inilah Rasti merasa telah menemukan surganya sendiri. Surga yang tak pernah terlintas dalam benaknya, dan surga yang ternyata terpisah dari surga yang ditempati oleh orang-orang terkasihnya, Galih dan Wibowo. Hampir semua bagian dari novel ini menyuguhkan penderitaan Rasti sebagai tokoh utamanya. Namun satu demi satu penderitaan itulah yang seolah dijadikan penulis sebagai alat untuk memancing emosi pembaca. Di satu kesempatan, kita akan dibuat sedih dan ikut larut dalam penderitaan Rasti, namun pada kesempatan yang lain kita akan dibuat geram dengan kelakuan tokoh-tokoh antagonis yang sengaja dihadirkan untuk menjegal kehidupan Rasti. Novel ini memang mengangkat tema yang cukup akrab di telinga kita, tapi penulis mampu menuliskannya dengan apik dan tak membosankan. Bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti menjadi salah satu nilai plus dari novel ini. Surga Sang Pramuria adalah novel yang penuh pembelajaran hidup. Pembaca diajak untuk lebih bijak dalam menilai seseorang, tidak hanya melihat status atau profesi dari seseorang tersebut. Dalam novel ini juga bisa dipetik sebuah pesan bahwa dunia ini hanyalah persinggahan semata, dimana apa yang kita miliki suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya. Tak peduli kita ingin atau tidak, tapi jika Tuhan sudah berkehendak, tentu Dia-lah yang akan menang. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan novel dewasa ini. Pertama, di satu kesempatan, penulis menjadikan Rasti sebagai seorang wanita yang terkesan berwawasan luas. Sementara pada kesempatan lain disebutkan bahwa Rasti hanyalah seorang lulusan SMP. Kedua, novel ini hanya bisa dibaca oleh pembaca pada rentang usia tertentu, sebut saja usia tujuh belas tahun ke atas. Itulah sebabnya mengapa saya menyebutnya sebagai novel dewasa. Hal ini dikarenakan pada beberapa bagian terdapat adegan-adegan dewasa yang belum layak dibaca oleh pembaca di bawah umur (kurang dari tujuh belas tahun). Saya maklum karena novel ini pada dasarnya memang mengangkat tema tentang seorang pramuria, yang tentu saja tidak lepas dari yang namanya dunia sex. Tapi jangan khawatir, penulis sangat pandai menuliskan adegan-adegan itu secara implisit, sehingga tidak terkesan vulgar. Selebihnya, tak ada alasan untuk tidak membaca novel ini. Novel ini juga mengajak kita untuk sejenak merenung dan mempertanyakan diri, �Sudah pantaskah saya berada di surga-Mu, Ya Allah?� Karena bukan hanya Rasti, sebagai seorang manusia, tentu kita juga tak luput dari yang namanya salah dan dosa. Selamat membaca (Ragil Kuning, Sukoharjo) ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Bagus Yuli Hidayat �Pantaskah aku melihat surga-Mu ....?� Pramuria. Seringkali ketika mendengar istilah halus dari kata pelacur itu, otak kita akan digiring untuk membayangkan seorang wanita berpakaian serba seksi, berdandan menor, serta berkelakuan manja yang dibuat seluwes mungkin untuk menjerat lelaki hidung belang yang akan menggunakan �jasa�nya. Itulah sebagian besar gambaran dari mereka. Tapi pernahkah terbesit dalam pikiran kita bahwa tidak semua pramuria itu benar-benar senang menjalani profesi mereka? Terlalu seringnya kita berpikir sempit tentang mereka, tanpa kita mau tahu alasan apa sebenarnya yang mendorong mereka masuk ke lembah hitam penuh dosa. Berdasarkan hal inilah, sepertinya penulis sengaja mengangkat tema yang berkaitan dengan profesi seorang pramuria untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa masih ada sebagian dari mereka yang menjalankan profesi itu dengan alasan terpaksa, lebih seringnya karena faktor tuntutan ekonomi. Rasti adalah seorang ibu berputra satu yang selama lima tahun belakangan berprofesi sebagai seorang pramuria. Bukan tanpa sebab dia terjerumus ke dalam lembah hitam itu. Semua dilakukan karena ingin mempertahankan hidup bersama anaknya yang mengidap sakit kelainan jantung dan leukimia. Awal mulanya Rasti bersikukuh untuk mempertahankan �sisa� harta paling berharga yang dia miliki, namun melihat kenyataan yang tak seindah harapan, nalurinya sebagai seorang ibu mengharuskan dia melakukan pekerjaan hina itu untuk mendapatkan uang guna berobat Galih, putra satu-satunya yang lahir dari kecerobohannya sendiri karena termakan bujuk rayu Johan yang saat itu berstatus sebagai pacarnya. Namun siapa sangka jika pada akhirnya Johan pulalah yang menjadi jalan perkenalan Rasti dengan dunia prostitusi yang tak pernah diinginkannya. Di tengah ujian hidup yang seakan tak mau berlalu dari kehidupannya, Rasti bertemu dengan seorang lelaki mapan bernama Wibowo yang menawarkan cinta tulus. Tidak hanya untuk Rasti, bahkan untuk Galih. Lelaki ini pula yang berniat membiayai operasi jantung Galih. Satu gambaran kebahagiaan mulai terbayang dalam benak Rasti, hingga akhirnya Rasti memutuskan untuk berhenti menjadi seorang pramuria dan kembali pada Tuhan demi menggapai jalan ke Surga-Nya. Surga yang selalu disebut-sebut Galih dalam mimpinya, dan membuat bocah berusia lima tahun itu berangan untuk bisa pergi ke sana. Di titik balik kehidupannya inilah Rasti merasa telah menemukan surganya sendiri. Surga yang tak pernah terlintas dalam benaknya, dan surga yang ternyata terpisah dari surga yang ditempati oleh orang-orang terkasihnya, Galih dan Wibowo. Hampir semua bagian dari novel ini menyuguhkan penderitaan Rasti sebagai tokoh utamanya. Namun satu demi satu penderitaan itulah yang seolah dijadikan penulis sebagai alat untuk memancing emosi pembaca. Di satu kesempatan, kita akan dibuat sedih dan ikut larut dalam penderitaan Rasti, namun pada kesempatan yang lain kita akan dibuat geram dengan kelakuan tokoh-tokoh antagonis yang sengaja dihadirkan untuk menjegal kehidupan Rasti. Novel ini memang mengangkat tema yang cukup akrab di telinga kita, tapi penulis mampu menuliskannya dengan apik dan tak membosankan. Bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti menjadi salah satu nilai plus dari novel ini. Surga Sang Pramuria adalah novel yang penuh pembelajaran hidup. Pembaca diajak untuk lebih bijak dalam menilai seseorang, tidak hanya melihat status atau profesi dari seseorang tersebut. Dalam novel ini juga bisa dipetik sebuah pesan bahwa dunia ini hanyalah persinggahan semata, dimana apa yang kita miliki suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya. Tak peduli kita ingin atau tidak, tapi jika Tuhan sudah berkehendak, tentu Dia-lah yang akan menang. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan novel dewasa ini. Pertama, di satu kesempatan, penulis menjadikan Rasti sebagai seorang wanita yang terkesan berwawasan luas. Sementara pada kesempatan lain disebutkan bahwa Rasti hanyalah seorang lulusan SMP. Kedua, novel ini hanya bisa dibaca oleh pembaca pada rentang usia tertentu, sebut saja usia tujuh belas tahun ke atas. Itulah sebabnya mengapa saya menyebutnya sebagai novel dewasa. Hal ini dikarenakan pada beberapa bagian terdapat adegan-adegan dewasa yang belum layak dibaca oleh pembaca di bawah umur ( kurang dari tujuh belas tahun ). Saya maklum karena novel ini pada dasarnya memang mengangkat tema tentang seorang pramuria, yang tentu saja tidak lepas dari yang namanya dunia sex. Tapi jangan khawatir, penulis sangat pandai menuliskan adegan-adegan itu secara implisit, sehingga tidak terkesan vulgar. Selebihnya, tak ada alasan untuk tidak membaca novel ini. Novel ini juga mengajak kita untuk sejenak merenung dan mempertanyakan diri, �Sudah pantaskah saya berada di surga-Mu, Ya Allah?� Karena bukan hanya Rasti, sebagai seorang manusia, tentu kita juga tak luput dari yang namanya salah dan dosa. Selamat membaca (Ragil Kuning, Sukoharjo) ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |