|
Sinopsis Buku: Jalan lurus itu seakan selalu hujan. Lihatlah rumput-rumput selalu basah dibuatnya. Batu-batu yang tertata di pinggirnya sudah berlumut dan pori-pori siapa saja seketika meremang bila sedang melintas di sana. Di pangkal jalan itulah, anak gadisnya tersenyum menunggu dengan payung terkembang di tangan kanan. Sebuah payung lagi terselip pada apitan lengan kiri yang jemarinya tampak mengangkat ujung gaunnya agar tidak basah. (Yang Menunggu dengan Payung) Di bawah batang pinus itu aku kini, Li. Menyaksikan alang-alang dan aneka kembang yang tumbuh liar sekitar puluhan langkah dari pinggir danau. Aku ditindih kenangan. Kilatan cahaya di riak danau menampilkan riangmu. Kugambar-gambar senyum dan lesung pipimu di udara. Hingga aku seperti digasing, berputar, dan kemudian rubuh seperti kijang tertusuk panah. (Lesung Pipi Pauh) Cerpen “Yang Menunggu dengan Payung” mengisahkan perihal kesetiaan dan penantian. Ketulusan seorang gadis mengidamkan kepulangan sang kekasih. Sekalipun yang tersisa hanya puing-puing kenangan yang tanpa suara terkubur bersamanya. Zelfeni Wimra menuliskannya dengan bahasa yang romantis, lugas, dan tidak biasa. Berlatar ranah Minang yang indah, ia menceritakan betapa manis dan bahagianya sebuah kesederhanaan, sebuah paradoks yang seakan memanggil-manggil kita pulang ke kampung halaman. Serta kisah-kisah lain tentang perempuan dengan segala ketegaran dan ketakterdugaan. Dengan halus, ia menarik kita masuk ke dalam emosi yang menyentak nurani, tepat pada saat kita membaca ke-17 kisah dalam kumpulan cerita ini. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |