|
Sinopsis Buku: I We Cudaiq, istri Sawerigading, melahirkan seorang bayi laki-laki. Dialah La Galigo. Namun, I We Cudaiq malu mengakui bahwa dirinya telah bersedia tidur dengan suaminya. Untuk menutupi rasa malu, ia terus maggali-gali (banyak ulah). Sakit hati mendengar ucapan-ucapan istrinya, Sawerigading memutuskan membawa bayi itu dari Istana La Tanete di negeri Cina ke Istana Mallimongang di Mario. La Galigo dirawat dan dibesarkan di sana oleh ibu tirinya, I We Cimpauq. Namun, La Galigo ingin ke negeri Cina, tempat ibu kandungnya berasal. Sawerigading mengizinkan, bahkan menemani anaknya tersebut. Mendengar rencana mereka, I We Cimpauq sempat merasa khawatir jika suami dan anak tirinya tersebut tidak akan kembali. I La Galigo pun berusaha meyakinkan ibu tirinya bahwa ia pasti kembali. Setelah sekian lama terpisah, Sawerigading dan I We Cudaiq kembali saling jatuh cinta. I We Cudaiq juga sangat rindu kepada La Galigo dan hendak memintanya tinggal di negeri Cina. Dan, apa yang dikhawatirkan I We Cimpauq terjadi. Sawerigading dan La Galigo pun akhirnya menetap di negeri Cina. Meskipun demikian, ketika I We Cudaiq hendak membunuh I we Cimpauq karena cemburu, La Galigo menepati janjinya untuk melindungi ibu tirinya tersebut. Bagaimana kehidupan La Galigo selanjutnya? Setelah mengantarkan kita dengan perjalanan awal bumi diciptakan pada La Galigo; Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi, Dul Abdul Rahman kembali mengajak kita menelusuri jejak para keturunan Sang Patotoqe. Pada buku kedua dari trilogi La Galigo inilah perjalanan putra Sawerigading sekaligus lakon utama karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia ini, La Galigo, dimulai. "Engkau penguasa laut, Anakku! Janganlah takut berlayar dengan wangkang emas berkepala naga dan berekor ular balu karena wangkang itu akan diikuti oleh perahumu yang lain yang dilengkapi dengan persenjataan." Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |