Puluhan siluman buaya mendatangi gethek yang ditumpangi rombongan Jaka Tingkir. Semua orang dalam rombongan: Mas Manca, Ki Wuragil, dan Ki Wila, menghalau sekuat tenaga. Namun, siluman-siluman buaya itu tak mundur, malah maju makin beringas. Sementara itu, Jaka Tingkir maju menunjukkan keperkasaannya, bertarung melawan buaya. Diincarnya, buaya terbesar yang menjadi pemimpinnya, lantas dipukulnya dengan segenap-genap kekuatannya.
Setelah ayahnya, Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, dihukum mati karena dituduh memberontak kepada Kasultanan Demak, Karebet harus hidup dengan ibunya, Nyai Ageng Pengging. Namun, selang beberapa saat kemudian. Nyai Ageng Pengging, turut meninggal pula. Setelahnya, Karebet diangkat asuh oleh Nyai Ageng Tingkir yang hidup sebatang kara, dan berjuluk: Jaka Tingkir. Ketika itulah, Jaka Tingkir mulai menempa dirinya kepada beberapa orang sakti guna menjadi ksatria mumpuni. Di mana selanjutnya, ia melakukan petualangan demi petualangan untuk mendapatkan makna hidup hingga akhirnya ia berhasil menjadi Sultan Pajang.
Tiap-tiap cerita yang dituturkan oleh Agus Wahyudi dalam novel ini selain merangsang untuk dibaca hingga akhir. Cerita yang logis dan runutan alurnya sangat apik untuk terus diikuti. Tak hanya menceritakan tokoh utama sebagai pokok bangunan ceritanya, masa lalu sebelum tokoh utama lahir juga diceritakan sebagai bumbu pemanis yang patut untuk diikuti. Berlatar belakang cerita sejarah yang cukup terkenal di dalam kehidupan masyarakat, Agus Wahyudi membuat novel ini makin melekat di hati pembaca.
Lantas bagaimana kisah perjuangan Jaka Tingkir mendapatkan takhta Pajang?