|
Sinopsis Buku: Banyak di antara masyarakat yang berharap pelaku tindak pidana korupsi di hukum mati. Namun, timbul pertaijyaan yang menggelitik: jika hukuman mati diterapkan, apakah aparat penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi di Indonesia sudah bisa dijamin bersih perilakunya? Bukankah perumpamaan mengatakan: "jika ingin menyapu bersih koruptor, maka sapunya pun harus bersih terlebih dahulu." Bayangkan, dengan iklim penegakan hukum seperti sekarang ini, umpamanya ada seorang "koruptor" di hukum mati, padahal sejatinya aparat penegak hukum yang menangani dan menghukum mati "koruptor" itu tidak bersih atau sarat kepentingan, baik itu kepentingan politik, kekuasaan, bernilai ekonomis, pendek kata di luar kepentingan penegakan hukum, atau kesalahan dalam mengintepretasikan aturan hukum dikarenakan hukumnya tidak jelas, bukankah hal ini akan semakin mencoreng wajah hukum di negeri ini? Bukankah akan semakin banyak terjadi kesalahan menghukum dengan akibat matinya seseorang? Permasalahan yang diangkat sebagai objek penelitian berkenaan dengan adanya Putusan MK No 003/PUU-IV/2006 tanggai 25 Juli 2006. Yang dijadikan objek penelitian adalah: pertama, bagaimana praktik peradilan perkara tindak pidana korupsi pasca putusan MK tersebut yang menghapus dimensi ajaran sifat melawan hukum materiel? Kedua, bagaimana implikasinya bila putusan M K tersebut tidak ditaati dikaitkan dengan praktik penegakan hukum yang telah berjalan selama ini dan di masa mendatang terhadap kebijakan hukute pidana dalam tindak pidana korupsi? Untuk memperjelas kondisi hukum di dalam penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia, maka dalam buku ini (yang merupakan intisari dari Disertasi penulis) akan dipaparkan bagaimana aparat penegak hukum telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di dalam proses penanganan kasus korupsi, sehingga kita mendapatkan gambaran yang utuh dan semakin menuntut adanya "sapu" yang bersih untuk menyapu para pelaku korupsi. Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |