Cari berdasarkan:



Musashi
 


Maaf, stock buku kosong atau out-of-print.


Musashi 
oleh: Eiji Yoshikawa
> Fiksi » Sosial, Budaya & Sejarah

Penerbit :    Gramedia Pustaka Utama
Edisi :    Hard Cover
ISBN :    9796556030
ISBN-13 :    9789796556038
Tgl Penerbitan :    2001-01-00
Bahasa :    Indonesia
 
Halaman :    1248
Ukuran :    150x230x0 mm
Sinopsis Buku:
Miyamoto Musashi adalah anak desa yang bercita-cita menjadi samurai sejati. Di tahun 1600 yang penuh pergolakan itu, ia menceburkan diri ke dalam Pertempuran Sekigahara, tanpa menyadari betul apa yang diperbuatnya. Setelah pertempuran berakhir, ia mendapati dirinya terbaring kalah dan terluka di tengah ribuan mayat yang bergelimpangan.Dalam perjalanan pulang, ia melakukan tindakan gegabah yang membuatnya menjadi buronan hingga seorang pendeta Zen berhasil menaklukkannya. Otsu, gadis cantik yang mengaguminya, membebaskan Musashi dari hukumannya, tapi Musashi kembali tertangkap. Selama tiga tahun ia mesti menjalani kehidupan mengasingkan diri, dan masa-masa itu dipergunakannya untuk menyelami karya-karya klasik Jepang dan Cina.Setelah bebas kembali, ia menolak diberi jabatan sebagai samurai. Selama beberapa tahun berikutnya, ia mengejar cita-citanya dengan tekad penuh mengukuti Jalan Pedang, dan menjadi samurai sejati. Lambat laun ia mengerti bahwa mengikuti Jalan Pedang bukan sekedar mencari sasaran untuk mencoba kekuatannya. Ia terus mengasah kemampuan, belajar dari alam dan mendisiplinkan diri untuk menjadi manusia sejati. Ia menjadi pahlawan yang tidak mau menonjolkan diri bagi orang-orang yang hidupnya telah ia sentuh atau telah menyentuh dirinya. Ujian puncak baginya adalah ketika ia harus bertarung melawan Sasaki Kojiro, saingan terberatnya yang masih muda dan sangat tangguh. Mereka akan mengadu kemampuan, dan Musashi ingin membuktikan bahwa kekuatan dan keterampilan bukan satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menentukan kemenangan.




Resensi Buku:

  Eksistensialisme Seorang Samurai
oleh: Rimbun Natamarga
Juli 2005 lalu, sebuah buku terbit�judulnya Elang Retak. Ditulis oleh Gus Ballon, buku ini menceritakan tentang operasi sebuah pasukan Angkatan Darat TNI di pulau tak bertuan, dekat samudera Pasifik. Pada mulanya, seperti buku-buku baru lain, rasa-rasanya tak ada beda. Tapi ada yang mengusik. Sebuah kalimat terpampang menggelitik di sampul depan: "Mati bukan masalah, hidup itulah persoalan." Itulah kalimat yang pas untuk melukiskan kesan yang saya dapat setelah membaca Musashi. Seluruh apa yang dibicarakan dan dipertanyakan Musashi dalam pengembaraan spiritualnya terangkum padat dalam kalimat itu. "Mati bukan masalah. Hidup itulah persoalan." Ada sebuah nada aneh, dan akan mengendan di dalam benak bila memikirkan seuntai kalimat itu berulang-ulang. Bukankah antara mati dengan hidup seperti hanya terpisah oleh selembar tipis kulit bawang? Sudahlah. Yang jelas, Musashi sendiri diceritakan, memang baru belakangan menyadarinya. Tapi baginya (dan saya kira penulisnya juga), mati tak ada guna sekiranya hidup diobral begitu murah. Yang penting adalah apa yang mesti dilakukan dalam dan/atau untuk hidup. Dan Takuan Soho pernah menandaskan, bila hidup kita anggap murah, maka mati pun percuma. Musashi adalah seorang samurai yang dilahirkan di Miyamoto, Propinsi Mimasaka pada akhir abad XVI Masehi. Kala itu, Jepang adalah wilayah kepulauan tempat berlangsungnya pertikaian antara dua kelompok besar samurai dalam merebut kekuasaan untuk memerintah negeri. Dua kelompok besar itu sebenarnya adalah gabungan dari kelompok-kelompok samurai yang ada. Kaisar berada di atas semua itu tanpa hak penuh untuk mengatasi keadaan. Dalam keadaan yang demikian, Musashi mesti mempertanyakan hidup. Ia mencari jawab tentang hakikat hidup di tengah kematian yang dianggap biasa saat itu. Nyawa memang murah. Pertikaian kecil, apa boleh buat, sering bikin darah tumpah. Begitu saja. Orang-orang banyak maklum tanpa mampu berbuat untuk menghindar dari itu semua. Awalnya, Musashi tak memedulikan antara mati dan hidup. Baginya, sama saja. Sampai akhirnya, ia disadarkan oleh Takuan Soho, seorang pendeta Zen, yang ditemuinya ketika ia kembali pulang dari medan perang dengan membawa kekalahan. Menurut si pendeta, mati pun adalah terserah bila Musashi tak mengubah pandangannya bahwa hidup dan mati tak ada beda. Hidup seharusnya dihargai, karena di sanalah terdapat makna akan mati. Kematian yang terjadi dalam hidup yang begitu dihargai adalah kematian yang tak percuma. Makanya, ujar pendeta itu dalam sebuah nasehat yang diberikannya sengit, banyak samurai yang tak pernah mengerti apa makna jalan samurai yang dijalaninya. Ini ditekankannya, mengingat Musashi memiliki keinginan menjadi seorang samurai. Tentang hidup ke-samurai-an, sebenarnya Musashi telah mengenal lama dari gemblengan ayahnya yang termasuk salah seorang samurai di Propinsi Mimasaka. Tapi tak ada apa-apa , sampai si pendeta menyadarkan dan membangkitkan hasratnya untuk memelajari dan menjalani hidup di atas jalan samurai. Lamat-lamat, menyeruak sebuah kalimat dalam Catatan Pinggir 4 (Grafiti Press, Jakarta, 1994) ke dalam benak saya. "Apa yang sebenarnya brutal," demikian Goenawan Mohamad menulis, "dikemas baik-baik dalam keindahan: indahnya baja yang mengilat putih [...:] terkena cipratan merah setelah menebas leher...". Musashi ini ditulis oleh Eiji Yoshikawa. Sejatinya adalah "cerita bersambung" pada sebuah surat kabar di Jepang sebelum Perang Dunia II yang diterbitkan kembali menjadi sebuah buku tebal. Semangat untuk perubahan demikian terasa pada gagasan-gagasan yang dilontarkannya melalui tokoh Musashi, seorang tokoh bukan-fiktif yang dikenal luas dalam seni beladiri Jepang. Saya sendiri pertama kali tahu ihwal Musashi adalah lewat sosok Lord Shigeru. Ia, paman Genji dalam Samurai (Qanita, Bandung, 2004), diceritakan sebagai seorang pemain pedang terkenal dalam keluarganya. Tak ada yang menyangsikannya. Gaya kuda-kudanya ketika bertarung itulah yang segera mengingatkan banyak orang pada Musashi dengan "Gaya Dua Pedang"-nya. Tak banyak samurai yang seperti itu. Tapi sayang, Shigeru akhirnya tewas oleh musuh-musuhnya ketika coba mempertahankan rombongan keponakannya di dekat kuil pada sebuah musim salju. Lantas, dengan sedikit memaksa, apa hubungannya dengan novel Musashi yang dibicarakan di sini? Sebuah keanehan, sebab ternyata, baik Musashi atau pun Lord Genji yang didukung oleh Lord Shigeru, akhirnya sama-sama sadar. Untuk mengembangkan sebuah peradaban, berarti untuk maju juga, manusia mesti belajar dulu bagaimana mengendalikan alam. Bukan menyerah pada alam. Kesulitan didapat dan diterima be gitu saja hanya membuat manusia mandek, tak berdaya. Apapun hasilnya, pada mulanya adalah usaha. Dan dalam catatannya, usaha yang mesti dilakukan itu bukan dengan memaksakan kemauan begitu saja, tetapi mencari kemungkinan-kemungkinan yang tersedia di tengah keadaan yang terjadi. Ketika melihat novel Musashi yang tergeletak di atas meja baca, tiba-tiba saja saya teringat pada sesuatu yang sempat saya rekam dan saya letakkan dalam ingatan. Dalam sebuah ruangan sederhana dengan interior yang mewah, saya lihat sebuah lemari tersandar di dinding yang bewarna hijau muda. Ada guci-guci Cina di pojokan ruang. Ada meja batu, dan asbak di atasnya. Sebuah vas bunga ditaruh sengaja di atas meja yang dialasi taplak kecil sederhana, sedang kursi-kursi tamu yang empuk di sekitarnya. Di atas kursi-kursi itu, ada bantal-bantal warna-warni pelengkap sekaligus pemanis kursi tamu. Saya ingat bantal-bantal itu ketika melihat Musashi yang terge letak di atas meja baca.

  
oleh: Novi, Widya Dwi



Add your review for this book!



Buku Lainnya oleh Eiji Yoshikawa:
Rp 64.000     Rp 54.400
Kondisi negeri yang terpuruk akibat keserakahan klan Taira, menguntungkan Yoritomo yang ingin ...  [selengkapnya]
Rp 59.800     Rp 50.830
Setelah kalah perang melawan klan Taira, Minamoto no Yoshitomo dipenggal dan keturunannya diburu untuk dihukum mati. Namun, ...  [selengkapnya]
Rp 69.500     Rp 59.075
Shin Suikoden buku 3

Anggota Ryou Zan Paku semakin banyak, dan telah memilih Chou Gai sebagai pemimpin, serta Sou Kou sebagai wakil. ...  [selengkapnya]
Rp 59.000     Rp 50.150
Bangkit dari keputusasaan, Koga Yoami yang ditahan di penjara mata-mata di Gunung Tsurugi di Negeri Awa, ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku yang dikarang oleh Eiji Yoshikawa  »


Tentang Pengarang:

Nama aslinya Hidetsugu Yoshikawa, lahir pada tahun 1892 di dekat Tokyo. Ia berasal dari keluarga samurai miskin. Kesulitan keuangan dalam keluarganya menyebabkan Yoshikawa terhenti sekolah di SD. Ia lalu bekerja macam-macam untuk bisa hidup, termasuk bekerja di galangan kapal. Usia 19 tahun ia pindah keTokyo dan mulai menulis senryu atau haiku lucu. Haiku ialah puisi pendek khas Jepang yang sangat indah. Sesudah dua tahun menjadi reporter di Maonichi Shimbun, ia memantapkan diri menjadi novelis profesional. Berbagai jenis novel ditulisnya : humor, thriller, roman. Tidak jarang ia menulis sekaligus tiga novel. Semuanya ditulis menggunakan nama samaran, sebelumnya akhirnya ia memutuskan memakai nama samaran Eiji. Sejak tahun 1930, terjadi perubahan pada gaya penulisannya. Ia mengekspresikan ... [selengkapnya]




Buku Sejenis Lainnya:
oleh Yoga Adhitrisna, Hari Prast
Rp 149.000
Rp 126.650
Sebuah koleksi karya yang merekam jejak kelahiran Demokreatif. Tiga puluh karya poster yang terakurasi di sini, niscaya memproklamasikan kemerdekaan ...  [selengkapnya]
oleh Lew Wallace
Rp 92.000
Rp 78.200
Yuda Ben-Hur hidup pada awal abad ke-1. Dia pedagang muda kaya-raya di Yerusalem. Ketika seorang gubernur baru datang ke kota itu, sahabat masa kecil ...  [selengkapnya]
oleh Koen Setyawan
Rp 43.000
Rp 36.550
UFO selalu menjadi isu menarik yang ramai di perbincang. Berbagai macam cerita dan kesaksian tentang UFO tersebar di seluruh dunia. Tapi taukah Anda, ...  [selengkapnya]
oleh Eiji Yoshikawa
Rp 64.000
Rp 54.400
Kondisi negeri yang terpuruk akibat keserakahan klan Taira, menguntungkan Yoritomo yang ingin ...  [selengkapnya]


Lihat semua buku sejenis »




Advertisement