|
Sinopsis Buku: Hasyim "Bunglon" Wahid
Oleh: Radhar Panca Dahana Kompas, 6 September 2005 Ruang gelap itu pecah oleh suara mendengking dengan dengung panjang ditinggalkannya. Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, lepas Isya, 28 Agustus lalu, itu pun terpaku. Tak hanya lantaran suara gitar elektrik yang menikam gendang telinga, tapi juga Indonesia Raya dalam melodi yang ganjil. Lagu agung itu pun seperti hukum rejam yang pedih dan menyakitkan pengunjung yang memenuhi acara peluncuran buku puisi Bunglon karya Hasyim Wahid. Suasana ironik bahkan tragik itu langsung disambut aplaus keras penonton. Aku termangu. Entah kenapa. Sampai akhirnya tersadar, ini bukan sekadar pesta peluncuran buku. Namun tepatnya sebuah pentas. Pentas puisi dengan intro yang berisi. Dan isi mengalir dengan tangkas, seperti sungai yang jernih. Kejernihan yang terbit dari kata-kata yang lugas, bernas, dan cerdas. Lalu menjadi rentetan kejadian panggung yang kadang mengentak, merisaukan, menyadarkan, menggelikan, bahkan mengharukan. Sebagai orang yang bersyair dan berpanggung, saya cukup merasa dikejutkan oleh penampilan puisi berkelas bintang ini. Bukan kejutan tentang heterogenitas serta varias identitas kreatif penontonnya saja: aktivis, seniman, pedagang, penganggung, intelektual, agamawan, dan nama-nama seperti Rizal Malarangeng atau Gus Dur (kebetulan kakak tertuanya). Bukan pula kejutan soal kemasan panggung yang disiapkan terlalu saksama bagi sebuah peluncuran buku. Tapi kejutan karena puisi-puisi yang silir bergilir datang dari seseorang-yang dalam pengakuannya-menuliskan puisi pertamanya baru setahun lalu. Ia datang dari seseorang dengan dua titel sarjana dari disiplin yang sangat berbeda. Ia datang dari manusia separuh abad dengan pergaulan yang karib mulai dari preman, PSK, bromocorah, penjual batu akik, seniman besar, konglomerat, jenderal, menteri, hingga kepala negara. Ia pun datang dari seorang anak dengan �trah� ternama, sebagai ulama atau pemimpin agama. Mengaung di hati Namun, dari mana pun datangnya puisi dan pentasnya ini, kita sungguh disuguhi tontonan yang mengejutkan. Satu faktor, puisi muncul dalam kongkretisasi teatral yang dengan saksama menggunakan semua perangkat dramaturgis untuk membuat puisi-puisi itu tak cuma mendengung di telinga, tetapi juga mengaung di hati dan pikiran kita. Maka, tampillah secara rapi, dengan entrance dan exit (satu konsep dramatik yang tidak selalu dimainkan dengan baik oleh pemain teater sendiri) yang terancang baik: perempuan muda dengan deklamasi yang penuh tenaga, wanita bule yang penuh satir, preman bertubuh besar lengkap aksesori, lelaki yang dengan cakap bertukar peran menjadi setan dan Tuhan, juga lelaki gendut, kacamata, keriting, dan jenaka itu: Hasyim! Dan, baiklah kita menerika baca puisi dramatik ini berhasil. Karena panggung digunakan tidak untuk menjajah sastra, begitupun sebaliknya. Kostum sederhana tapi penuh warna, permainan aktor-aktornya yang rileks dan pas, musik Iwan Hassan cs yang berisi dan mengisi, berhasil membangun makna yang lebih tebal ketimbang kata yang dilisankan. Ini faktor yang kedua. Faktor ketiga, semua ide pertunjukan puisi dramatik datang dari kepala bertopi keriting itu. Konon, inilah garapan panggung pertamanya. Tentu saja bagi pemula, seperti Hasyim, keberhasilan-dalam puisi dan dramatisasi-ini terasa fenomenal. Saya menyatakan �berhasil� dalam makna: sebagai karya literer maupun teatrikal ia selesai. Terlebih jika membandingkannya dengan penyair atau pemanggung kagetan yang belakangan marak, karena dorongan ideologi, politik atau finansial. Soal kualitas estetiknya kita bisa bicara di halaman lain. Namun bahwa kata-kata sampai dalam makna gramatik dan denotatifnya pada penonton, itu sudah merupakan pencapaian yang seniman lain susah payah mengusahakannya. Simaklah: //Ratusan bunglon penuh warna-warni/asyik bertarung sendiri di dalam/kandang beton berkubah dua/setelah menyandera lebih dari/dua ratus juta manusia... Nah, pertanyaannya, saudara:...Apakah bunglon-bunglon itu/terlalu sadis ataukah/manusia-manusia itu/terlalu masokhis? (Tentang Bunglon dan Manusia) Semua kelebihan yang ada dalam pentas itu mencuat dengan kuat. Rasa getir, geli, ironis, dan malu hati menyerbu penonton, membuat sebagian diam, sebagian lagi tergelak. Bunglon juga kitakah sebenarnya? Icarus kembar Pernyataan itu dieksplisitkan oleh M Sobary dalam sesi diskusi. Katanya, ketika hendak berangkat ke acara ini, seekor bunglon dari halaman belakang rumahnya mencegat dan bertanya: Siapa di antara kita yang bunglon sebenarnya? Sobary cuma tersenyum ketika penonton tertawa. Ia tak menjawab, juga tak menoleh pada siapa-siapa. Walau bisa jadi di balik layar, ada satu kepala dengan topi keriting menengok dirinya sendiri. Kalau aku sendiri bisa melakukan mimikri dengan begitu berhasilnya, bunglon jugakah aku? Setelah kemarin ahli tosan aji, jagonya mistik Islam, pakar intelijen, dan hari ini jadi penyair juga dramawan, besok menjelma apa? Manusia atau bunglon, mungkin tak masalah. Karena keduanya boleh saja serupa esensi atau manifestasinya. Bagi seorang Hasyim, masalahnya adalah: ia serba bisa, sehingga hal itu dapat menyulitkannya meletakkan diri dalam dunia sosial yang telah menyediakan kotak-kotak penempatan sosial bagi siapa saja. Bahkan sebelum ia lahir, bahkan setelah ia mati. Kata orang-jadi, gosip tentu saja-itulah advantage dari seseorang yang sungguh mistis, yang laduni, yang hidup dalam hidup dan misteri. Ketika ia yakin mampu melakukan sesuatu, jadilah sesuatu. Atas nama Allah. Begitu tidakkah Hasyim? Jawablah dengan misteri. Seperti yang kita kenal baik pada diri dan perilaku kangmasnya, Gus Dur. Seseorang dengan kualitas serupa dengannya. Setidaknya saat ia bayangkan keduanya sebagai Icarus Kembar, yang kita berdua harus rela lebur/ketika bersama kembali mencium bumi... Apa pun Gus Dur, masyarakat sastra pantas menyambut kembaran Icarusnya. Selamat! Radhar Panca Dahana, Sastrawan, Tinggal di Tangerang Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |