|
Sinopsis Buku: "Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca karena membuang waktu, pikiran, dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka. Mohon maaf sekali lagi untuk permintaan tolong ini. Maaf Beribu-ribu kali mohon maaf"
Togog Cerita ini memang ditulis oleh Togog, yang merasa minder dan terasingkan dalam sebuah dunia yang sangat memuja Semar. Berkisah tentang malapetaka serbuan balatentara Sri Rama yang menyapu anak benua, dan menghadirkan pemandangan bencana. Inilah kisah Satya dan Maneka, rakyat yang menjadi korban, yang menjelajah dalam pencarian Walmiki penulis Ramayana, sembari berlayar di samudera cerita. Inilah saat kematian Sang Hanoman, wanara agung yang ditakdirkan berumur panjang, untuk menjaga kebudayaan. Kenapa Togog menganjurkan cerita ini tidak dibaca? Nah! Resensi Buku:
Omong Kosong Itu: Pengetahuan oleh: Rimbun Natamarga Dikatakan �Kitab Omong Kosong� (dengan tanda kutip), karena berisi kunci segala ilmu pengetahuan�sedangkan ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya adalah omong kosong. Sebab ilmu pengetahuan hanya suatu cara untuk menggambarkan kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri. Ilmu pengetahuan hanya merupakan kumpulan cara yang mengarah pada kenyataan. Terdiri dari lima bagian, kitab ini ditulis oleh Walikilia dan terletak di lima tempat yang ditandai oleh Hanoman dalam sebuah peta. Tinggal Hanoman. Memang, saat itu, Kerajaan Ayodya sudah kehilangan junjungannya, Sri Rama, sedangkan Sinta ditelan bumi meninggalkan dua putra kembar yang sakti mandraguna. Rahwana, si raja Alengka, sudah kalah, meski nyatanya tetap merongrong dan memengaruhi manusia untuk berbuat jahat. Walmiki, pengarang Ramayana, kerjanya keluyuran mengembara menjual cerita di berbagai tempat. Dan ia bosan. Ia ingin jadi pendengar cerita. Tapi sebenarnya, cerita dalam Kitab Omong Kosong (dengan huruf miring) berkitar pada beberapa tokoh saja: Maneka, Satya, Empu Walmiki, dan Hanoman. Dua yang terakhir ini adalah dua pribadi yang penting dalam sebuah bagian dari kehidupan Satya dan Maneka. Satya seorang korban usaha penaklukan yang pernah dilakukan oleh Rama dan bala tentaranya. Seekor kuda putih yang berlari melintasi negeri-negeri dan menuntun penaklukan-penaklukan itu berasal dari rajahan pada punggung Maneka dan kembali ke punggung gadis itu setelah penaklukan selesai. Mungkin buku ini berisi cerita tentang cerita. Mungkin. Yang jelas, dari lisan Walmiki, kita tahu bahwa sebuah cerita akan dimaknai oleh masing-masing pembacanya. Dan pengarang telah mati. Ada seribu tafsir yang bisa didapatkan, pengarang tak berhak lagi mendikte tafsir yang diinginkannya. Dalam kata-kata Walmiki ketika menyinggung tokoh-tokoh yang diciptakannya, �[S]etiap kali tokoh terbentuk, ia lepas dari pengarangnya, karena pendengar atau pembaca akan menciptakan kembali tokoh-tokoh itu dalam penafsiran mereka� (hal. 489). Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa buku ini tak lebih dari usaha penafsiran penulis (Seno Gumira Ajidarma) terhadap tokoh-tokoh dalam cerita Ramayana dan lepas dari tujuan yang diinginkan Empu Walmiki. Tokoh-tokoh yang ada menjalani dan mengembangi diri masing-masing. Pantaslah, bila kesan kuat yang muncul adalah kesan main-main yang sering mengandung kelucuan, menafikkan bayangan kita selama ini tentang cerita Ramayana sekaligus membuyarkan segala aturan tentang waktu, tempat, dan logika yang dianggap berlaku di dalamnya. �Nyata! Tidak Nyata! Apalah bedanya?�, kata Satya di halaman 351. Ada Hanoman yang suatu ketika menjual sebuah bagian dari Kitab Omong Kosong kepada pasangan suami-istri yang hidup miskin, padahal keluarga itu tak berpunya untuk pembayaran kecuali tubuh si istri karena memang mantan pelacur (hal. 505). Hanoman, kita tahu, hidup berselibat seperti pendeta-pendeta di biara. Meski demikian, Hanoman pun biasa melemaskan otot-ototnya dengan berselancar air (!) di atas cahaya senja yang jingga dari arah matahari terbenam yang merah membara (hal. 394). Ada Trijata yang �mengganti kainnya dengan celana berkantong banyak dan mengenakan rompi dengan baju dalam seperti pria� serta �sepatu kulit yang melindunginya sampai ke lutut� untuk mengarungi pegunungan sendirian mengecek keberadaan Rama dan Laksmana demi Sinta (hal. 267). Ada Konser Empat Musim yang dimainkan oleh sejuta monyet-monyet dalam mimpi Satya (hal. 350). Bahkan ada pula matras untuk alas tidur di alam bebas (hal. 300) dan bakpau yang mengepul-ngepul (hal. 428) di warung makan dalam cerita. Teknik bercerita dalam cerita digunakan dalam buku ini. Makna apa yang diinginkan, cerita-cerita yang ada di dalamnya berpusat pada apa yang disampaikan dalam �Kitab Omong Kosong� yang telah disinggung dalam paragraf pertama tulisan ini. Untuk sesuatu yang dimaknakan di dalamnya, Maneka dan Satya mencari kelima bagian kitab itu sampai mendapatkannya. Sesuatu itu, demikian dikatakan kitab tersebut, dapat dikatakan ada karena sesuatu itu memang ada. Namun, keberadaan sesuatu itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. Sebatang pohon (karena pohon adalah salah satu contoh yang ada di dalam pembahasannya) baru dikatakan sebatang pohon setelah disadari oleh manusia sebagai sebatang pohon. Sebatang pohon hasil kesadaran manusia itu ternyata hanya sebuah hasil penggambaran dan bukan sebatang pohon sebenarnya. Artinya, yang bisa dipertimbangkan dan diperdebatkan adalah cara-cara penggambaran sebatang pohon itu, dan bukan apakah gambaran itu benar atau tidak karena memang penggambaran itu hanya dilakukan dari sudut pandang manusia. Yang dipersoalkan kemudian adalah bagaimana gambaran tentang sebatang pohon itu bisa berguna. Sehingga, benar ataukah tidak gambaran tentang pohon itu tidak perlu diributkan lagi. Ukuran benar dan baik dilihat dari nilai guna sesuatu yang digambarkan itu. Dan pada akhirnya, sesuatu baru dapat berguna setelah dimaknai oleh orang yang melihat dan �membacanya�. Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan cara untuk memaknai kenyataan sebenarnya. Beranjak ke luar dari cerita di dalamnya, Kitab Omong Kosong ini sejatinya adalah sebuah cerita bersambung yang dimuat di Koran Tempo sejak Senin 2 April sampai Rabu 10 Oktober 2001. Waktu itu, cerita ini berjudul �Rama-Sinta�. Pada tahun 2005 yang lalu, cerita bersambung yang kemudian dibukukan ini mendapat penghargaan Khatulistiwa Award. Pertanyaan yang tersisa dari pembacaan atas buku ini adalah apakah buku ini tidak lain dari �Kitab Omong Kosong� dalam cerita itu sendiri, sebab kesimpulan sementara yang didapat ternyata dipersetani pada bab terakhir dari buku ini. (Ada 52 bab dalam buku ini, dan hamba mohon maaf-beribu-ribu-maaf karena membeberkan akhir cerita yang berupa pemersetanan�meski sementara (!)�dari kesimpulan yang didapatkan oleh pembaca). Atau justru kekosongan yang akan tampak setelah buku ini dibaca adalah sesuatu yang mesti dimaknai pula seperti Satya dan Maneka yang mesti memaknai kembali kekosongan yang didapat pada kitab bagian kelima dari �Kitab Omong Kosong�? �Apa jadinya jika kita percaya atau terpaksa percaya kepada cerita, sehingga tidak bisa memisahkannya lagi dengan kehidupan nyata?�, demikian renungan Satya suatu ketika. Akan tetapi, mereka yang terbiasa larut dalam permainan imajinasi Seno Gumira Ajidarma akan banyak menemukannya lagi dalam buku ini. Add your review for this book!
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |