|
Sinopsis Buku: Dialog mengumpulkan tigapuluh tahun artikel koran Umar Kayam, dari 1969 sampai 1999. Di karangan-karangan nonfiksi yang kebanyakan berbentuk esai dan reportage singkat ini, Umar Kayam menunjukkan sisi lain dari yang dia tunjukkan dalam cerpen, novel dan terutama kolom Mangan Ora Mangan Kumpulnya.
Hatinya tetap Jawa, tapi kali ini penanya lebih tidak sabar mengeluarkan kritik-kritik dari kepala yang dipenuhi dengan teori-teori Barat tentang kitsch, pendidikan, wayang, teater, seni lukis, film, sastra, televisi, taksi, jam karet, dan masih banyak lagi. Masih dengan semangat kemulticendekiawanan yang dulu menjamur di Indonesia (lihat juga Asrul Sani, Mochtar Lubis, Soekarno), tapi sekarang sudah jarang ditemui dan dengan gaya yang ringan, bercanda tapi serius dan nyelekit. Yang membuatnya seakan-akan ada di hadapan anda pembaca, mendongeng dan berdialog. Selain bisa mengikuti perubahan gaya menulis Umar Kayam selama tigapuluh tahun, dengan Dialog anda juga dapat mengamati kemajuan (dan kemunduran!) dunia Indonesia yang dia ceritakan. Dan Dialog, tidak seperti kebanyakan buku nonfiksi yang diterbitkan di Indonesia, dilengkapi dengan indeks lengkap (bukan hanya indeks nama saja) yang akan membantu anda menemukan lagi apa yang tadi sudah anda baca tapi sekarang sudah lupa di halaman berapa. ULASAN DAN KOMENTAR "Yang disajikan Dialog adalah rasa bagaimana menikmati gaya penulisan Umar Kayam dalam bentuk yang lain. Rasa humornya, bentuk beragam penyajian tulisannya, isi pemikiran tulisannya, spirit tulisannya, dan yang paling penting adalah, menimbulkan nuansa Umar Kayam yang berbeda dari sejumlah buku-buku nonfiksi lainnya." Chusnato, sriti.com "Umar Kayam memang sosok yang patut dikagumi. Wawasannya demikian luas. Ini terlihat lewat tulisan-tulisannya yang menyentil dalam beragam topik, misalnya soal keberadaan taksi AC di Jakarta, film Indonesia, budaya jam karet, korupsi, dan banyak lagi. Dengan gaya penyampaiannya yang khas kejawa-jawaan, tulisan-tulisannya sungguh membumi dan bisa dimengerti semua kalangan. Sebagaimana judulnya, buku ini seperti sedang mengajak pembacanya berdialog." FIC, femina "BLURB: Buku ini berisi kumpulan artikel yang pernah ditulis almarhum Umar Kayam, seorang budayawan, novelis dan cerpenis, selama 30 tahun di media massa. sebagian besar isinya tentang pikiran, perasaan dan harapan Umar sebagai salah satu 'penghuni' [sic] bangsa Indonesia. VERDICT: Sebagai seorang cerpenis sekaligus budayawan, Umar Kayam selalu menuturkan maksud terdalamnya melalui joke ringan namun serius dan 'nyelekit' [sic]. TRY IT IF YOU LIKE: Artikel Ngesti Pandowo, Budaya Harus Bayar, Korupsi dan Nepotisme Kaliber Teri, sangat direkomendasikan untuk dibaca." *** [tiga bintang dari kemungkinan lima] ZM, FHM, November 2005 "Pertama kali dalam satu buku, penyatuan 30 karya Umar Kayam dalam bentuk artikel-artikel yang pernah terbit di koran-koran dari tahun 1969-1999. Ia banyak menumpahkan pikiran-pikirannya yang penuh dengan teori barat. Gaya bahasa naturalnya yang seperti sedang berdialog bercampur dengan kritik-kritik yang pedas, namun tetap santai. [inisial pengarang tidak ada], P.S. Magazine, September 2005 Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Rimbun Natamarga Saya tak pernah yakin bisa meresensi kumpulan tulisan-tulisan Umar Kayam ini dengan baik. Meski diniatkan oleh penyuntingnya--Mikael Johani--sebagai kumpulan dari tulisan-tulisan Umar Kayam yang "non-spesialis," tetap saja bagi saya, apa yang diangkatnya itu mengandung makna yang belum tentu bisa dimamah-baik oleh saya sebagai pembaca awam. Apa yang saya tangkap adalah bahwa persoalan se-sepele apa pun, bagi Umar Kayam, mesti memiliki penjelasan. Dan se-sederhana apa pun penjelasan itu, tetap saja ada referensi baginya. Dalam berbagai persoalan yang diangkatnya ada dialog yang tak putus-putus, seakan makna azali tak pernah final. Maka, pantas saja, menurut saya pribadi, kumpulan tulisan-tulisannya diberi judul DIALOG, entah oleh penyunting entah oleh penerbit, karena yang ditawarkan Umar Kayam adalah dialog bagi kita, si pembaca, atas persoalan-persoalan yang ada. Saya mengenal Umar Kayam lewat �Sri Sumarah� dan �Bawuk,� kedua cerpennya yang terkenal itu. Meningkat ke PARA PRIYAYI, lalu cerpen-cerpennya yang lain, dan lebih akrab lagi dengan �tetralogi�-nya, MANGAN ORA MANGAN KUMPUL. Terakhir yang saya lihat adalah kumpulan kolomnya di TEMPO; TITIPAN UMAR KAYAM. Apa yang saya dapatkan--ia melihat hidup bukan melulu pada apa yang "berat" dan "dalam." Yang besar dan serius. Hidup itu luas dan beragam, dan ternyata lebih bewarna, tak seperti saya yang sering lupa bahwa hidup bukan sekedar dari kasur ke kakus, dari meja makan terus ke kasur lagi. Ketika taksi-taksi Jakarta dipasangi AC pada tahun 1989 (lihat "Taksi AC Jakarta"), yang ia lihat bukan ada-tidaknya kemewahan sebagai suatu contoh status dari sebuah kota besar, tapi malah apa dan siapa sopir. Ketika, katakanlah sopir-sopir taksi sebagai, manusia dihadapkan pada perkembangan baru yang tak pernah dialami sebelumnya, yakni adanya AC dalam taksi, di sanalah bakal ada "goncangan" yang ternyata menarik juga untuk diamati dan celakanya sering luput dari pengamatan saya selama ini. Adakah sopir-sopir itu merasa nyaman dengan AC yang dingin sejuk? Bagaimana dengan yang perokok berat? Lantas, penumpang--adakah menerimanya? Umar Kayam tak memberi jawab, tapi ia membuka dialog dengan saya, sebagai seorang pembaca, untuk tak melulu melihat kenyamanan sebagai hasil satu-satunya dari kemajuan. Banyak sudut pandang lain untuk melihat, ternyata. Dan itu saya sadari bukan sebagai jawaban langsung dari pertanyaan Umar Kayam, tapi hasil dialog dari "bola" yang diumpankannya. Ini pun bukan bermaksud melebih-lebihkannya--tapi coba lihat contoh lain: "Jam Karet", misalnya. Bagi saya, sudah jamak bahwa jam karet adalah suatu kebiasaan yang menjengkelkan dan saya berjanji untuk tak melakukannya meski kadang juga. Sebagai seorang yang menerima modernisasi, jam karet bagi saya adalah bencana. Jam karet adalah kebiasaan manusia-manusia sialan yang, sayangnya, sering saya jumpai di sekitar. Tapi apa kata Umar Kayam tentang jam karet? Menurutnya (hal. 16), waktu memang dapat kita perlakukan baik secara MULUR MUNGKRET (baca: NGARET) atau tegar tepat. Masing-masing tentulah menurut konteks peristiwa serta kepentingannya. Ada waktunya memang membutuhkan bahkan menuntut untuk kita perlakukan secara karet, secara luwes. Ada pula waktunya sang waktu memang mengharuskan kita untuk memperlakukannya secara tegar tepat. Agaknya keduanya memang bagian dari kehidupan wajar manusia. Coba bayangkan, bagaimana ia menerima bahkan memaafkan jam karet. Saya jelas tak habis pikir tentang pendapatnya itu. Tapi, ia pun menjelaskan, bahkan menyadarkan saya lewat dialog yang dilontarkannya, bahwa meski kita menerima konsep waktu industri, adalah kenyataan di depan mata bila belum sepenuhnya masyarakat kita sudah menerimanya jangankan mempraktekkannya. Konsep waktu agraris tradisional begitu lekat-mengakar dalam masyarakat kita, dan keadaan sekarang: kita masih dalam peralihan untuk meninggalkannya. Karena itu, apa yang saya tafsirkan darinya adalah, jangan memaksa apa yang belum pada tempatnya. Perlakukanlah menurut konteks peristiwa dan kepentingannya. Sebab, toh, kenyataan yang ada di tengah kita menunjukkan kebelumsiapan itu. Termasuk ucapan kita, "Saya baru bangun tidur sore ini," yang semestinya "Saya baru bangun pukul 16.33 ini...". Masih ada 36 tulisan Umar Kayam lainnya dalam buku ini. Dan semuanya, berupa seperti itu. Ia melontarkan dialog, bukan sekedar pertanyaan yang tak bisa kita jawab. Beberapa, misalnya, menyoroti pendidikan anak-anak (seperti dalam �Dunia Sekolah & Dunia Rumah�) dan pendidikan tinggi (�Siap Pakai dan Terampil�). Beberapa lain tentang dunia pertunjukan pada kurun 1970-an sampai 1980-an (misalnya dalam �Wayang Orang Sriwedari� dan �Film Indonesia: Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri�). Yang agak lebih lain lagi dua tulisan tentang perjalanannya naik haji (lihat �Naik Haji� dan �Setahun Yang Lalu di Padang Arafah�) . Beberapa tulisan, menariknya, meminjam tokoh-tokoh untuk berdialog dengan kita. Misalnya Sardono W. Kusumo (dalam �Ketemu Sardono�). Dalam kegiatannya melihat-lihat berbagai pementasan di Eropa, Sardono mengaku tak banyak yang dilihatnya. Dari hari ke hari. Kasarnya: yang itu-itu juga... Pantas saja, bila apa yang dipertunjukkan Sardono di sana mendapat perhatian lebih dari masyarakat Eropa--yang melulu disuguhi yang serba analitis-rapi-teknis-teknologis-intelektualis-serebral-filosofis. Yang dibawa Sardono adalah polos dan langsung datang dari kehidupan. Lantas, apa artinya? Agaknya, menurut saya, Umar Kayam ingin menunjukkan kepada kita bahwa rutinisasi memberi peluang banyak bagi kemampatan, kejenuhan hidup berikut iramanya. Ketika tenggelam dan larut dalam proses rutinisasi, maka jangan berharap akan lahir kembali daya dan karya setingkat BELENGGU Armijn Pane di Indonesia ini (lihat �Yang Saya Kenang dari Armijn Pane�), jangan berharap lahirnya puisi-puisi memukau Rendra atau setidaknya orang "sekaliber" Utuy Tatang Sontani (lihat juga �Heeeee! Namaku Aswar�). Namun pada akhirnya, semua ini semata-mata hasil dialog saya, yang tentu saja dapat berbeda dengan hasil dialog pembaca-pembaca lain. Lagipula, tak semuanya dapat saya ikuti dialog yang dilontarkannya--seperti yang berjudul �Merenungkan Kemenangan Indira Gandhi.� Pada beberapa tempat, terdapat subjek-subjek yang terkesan masih terlalu "spesialis" bagi seorang pembaca awam seperti saya. Ataukah memang itu kembali pada siapa pembacanya? Entahlah. Yang jelas, tidak terlalu buruk juga bagi saya untuk mengakui satu hal lain: saya tak tahu apa yang mesti saya kritik dari tulisan-tulisan Umar Kayam ini. ![]() Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |