|
Sinopsis Buku: Roman ini merekam dengan elegan golak revolusi Indonesia pascaproklamasi. Tapi bukan dari optik "orang-orang besar dan orangp-orang tua", melainkan seorang perempuan. Larasati namanya. Seorang aktris panggung bintang film yang cantik. Dari kidah perjalanan perempuan inilah melela sebuah potret keksatriaan kaum mudah merebut hak merdeka dari tangan-tangan orang asing.
Tidak hanya merekam kisah-kisah heroik kepahlawanan, namun juga lengkap dengan selagala kemunafikan kaum revolusioner, keloyoan, omong banyakl tapi kosong dari para pemimpin, pengkhianatan, dan sebenggol-sebenggol kisah percintaan. Dari sepenggalan perjalanan Ara-dari pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan (jakarta)-terpotret bagaimana manusia-manusia Republik memandang revolusi. Resensi Buku:
![]() ![]() ![]() ![]() ![]() oleh: Amang Suramang Larasati pertama kali terbit sebagai cerita bersambung dalam surat Kabar Bintang Timur/Lampiran Budaya LENTERA 2 April 1960 s.d. 17 Mei 1960 Cerita berpusat pada diri Larasati (Ara), seorang aktris -- bintang film yang cantik di masa-awal kemerdekaan Indonesia. Sangat terkenal di zaman Belanda, tetapi ia rela meninggalkan dunia glamor itu, lalu ikut berjuang "dengan caranya sendiri" dengan menghibur para pemuda rakyat yang berjuang melawan penjajah. Ini merupakan kali kesekian, Pram menokohkan seorang perempuan yang mengembang tugas sejarah. Hanya saja, karena dilekatkan pada tokoh seorang aktris film, cara Pram mengembangkan sisi perjuangannya menjadi agak lain dengan tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel Pram yang lain. Menjadi agak lain, karena figur Larasati adalah figur perempuan yang memilih berjuang dengan cara yang bisa ia lakukan: menghibur rakyat. Ia tak lagi ingin main dalam film-film propaganda Belanda meski penolakannya itu berarti tindakan yang bisa mengancam nyawanya sendiri. Tetapi Larasati yang difigurkan Pram ini, meskipun ia keras hati, pemberani, bermulut lancang, namun penuh amarah dengan keterbatasannya sebagai perempuan. Apalagi bila yang dihadapinya adalah para pribumi yang mau menjadi opsir belanda. "Kalau aku lelaki -aku bisa berbuat banyak. Daerah ini bisa kalah berkali-kali. Tapi Revolusi tak bakal menyerah! Pada waktunya, mulut-mulut besar ini akan dibabat oleh Revolusi. Semua!" Di dalam peperangan, yang paling banyak menderita adalah perempuan dan anak-anak. Agaknya berangkat dari ini, figur Larasati dimunculkan oleh Pram. Namun, karena terlalu berpegang pada penokohan yang kontradiksi, seperti Larasati yang punya harga diri, tetapi tokh akhirnya ia mau saja jadi "istri" dari seorang Arab selama bertahun-tahun. Kontradiksi-kontradiksi figur Ara, demikian biasa ia disebut, sempat membuat jengkel saya dan seorang teman. Jengkel karena paling tidak berharap Ara bisa berbuat lebih untuk harga dirinya sendiri dan ikut berjuang pantang menyerah dengan sangat heroiknya melawan tentara Belanda, tak kalah dengan berandal-berandal yang berjuang tanpa logika perlawanan, hanya puas dengan modal nekat. Tapi itulah dia: Pram agaknya ini kali hendak menunjukkan tokoh perempuan yang tidak terlalu heroik, tidak terlalu frontal, penuh kontradiksi, tetapi masih punya sisa-sisa harga diri, rasa cinta tanah air, sedikit dendam pada perang yang merenggut kehidupan, benci pada kemunafikan, juga pada para penjilat. ![]()
Buku Sejenis Lainnya:
![]() Advertisement |