|
Sinopsis Buku: Seberapa Wangikah Sastra Wangi? Apakah wanginya mengharumkan atau malah mematikan? Seberapa suburkah sastra dunia ketiga yang tumbuh di bawah sinaran matahari Barat? Atau sinar terangnya malah membakar kering kreativitas pengarang kita? Bagaimana jika pengarang-pengarang dunia ketiga ini mengadopsi bahasa Inggris, seperti di India? Apakah gesekan antara jiwa India dan bahasa Inggris semakin menajamkan pena mereka, atau malah membuatnya tumpul? Susastra edisi kedua.
Di dalamnya akademisi-akademisi dari Indonesia dan mancanegara, dari Universitas Kristen Petra Surabaya sampai University of California, Berkeley, sekali lagi membedah masalah-masalah sastra dan budaya, dari efek dominasi sastra wangi di Indonesia sampai krisis identitas sastra Indo-Inggris, dengan analisis-analisis yang tajam. Yang menyingkap kebenaran di balik tren pemikiran yang membutakan. Yang telah menjadikan Susastra oase kecil di tengah keringnya kritik sastra dan budaya di Indonesia. Di dalamnya kita bisa menyimak bagaimana Ibnu Wahyudi mendedah fenomena dominasi wanita pengarang di Indonesia dalam esai bernasnya Dominasi Semu Sastra Wangi sebagai sebuah jawaban dari lontaran duga pendapat Sapardi Djoko Damono yang sempat diwartakan Kompas bahwa masa depan novel Indonesia berada di tangan perempuan. Dan masih banyak pengayaan susastra dengan bahasan lain yang diantaranya sempat menimbulkan polemik. Seperti apa kupasan buku yang sempat menimbulkan polemik dapat diuji pada Enam pertanyaan untuk Ignas Kleden yang dituangkan oleh Gadis Arivia. *** Tidak dapat dipungkiri, dinamika kesastraan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, istimewanya yang diramaikan oleh para wanita pengarang dengan karya-karya mereka, dipicu oleh kehadiran Ayu Utami dengan Saman-nya. Setelah Ayu Utami dan kemudian Dewi Lestari, kehidupan sastra di Indonesia semakin riuh dengan kemunculan sejumlah wanita pengarang dengan usia yang relatif masih cukup muda, dan dengan kecenderungan berkarya yang kian beragam, bebas, dan berani.- Ibnu Wahyudi - Esai-esai sastra dan budaya Ignas Kleden menghasilkan enam pertanyaan bagi penulisnya, akan tetapi di akhir bukunya, menyisakan ribuan pertanyaan bagi pembacanya.Tampaknya ia ingin menghindari pengajaran sastra yang membosankan dan dungu yang hanya mengandalkan kaidah-kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar (Mengindonesiakan sehabis-habisnya? Sampai tingkat kedunguan!). The limits of language is the limits of knowledge, hal ini tidak terasa pada buku Kleden, malah ia menawarkan sesuatu yang sangat lebih.Di dalam ulasan ini saya ingin mengajukan enam pertanyaan lagi terhadap enam pertanyaan yang diajukan Ignas Kleden mengenai kedudukan sastra.- Gadis Arivia - Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |