|
Sinopsis Buku: Aku memandangi pecahan-pecahan piring di atas lantai melalui mata yang basah oleh air mata, kemudian menyayat wajahku karena marah. Aku memotong pipi, dahi, dan daguku. Merasa bahwa aku tidak akan kehilangan apa pun, dengan tenang aku berjalan menuruni tangga untuk menyatakan protes tanpa kata-kata. Di dalam pikiranku, perbuatanku benar-benar waras. Aku tidak tahu bagaimana menuntut untuk dipahami. Aku tersesat dan terjebak, dan aku sedang membuat sebuah pernyataan ... Waktu itu usiaku sembilan tahun, dan aku hampir-hampir dikirim ke rumah sakit jiwa. Resensi Buku:
Resensi Novel Dunia di Balik Kaca oleh: Andy Anggara Aku memandangi pecahan-pecahan piring di atas lantai melalui mata yang basah oleh air mata, kemudian menyayat wajahku karena marah. Aku memotong pipi, dahi, dan daguku. Merasa bahwa aku tidak akan kehilangan apa pun, dengan tenang aku berjalan menuruni tangga untuk menyatakan protes tanpa kata-kata. Di dalam pikiranku, perbuatanku benar-benar waras. Aku tidak tahu bagaimana menuntut untuk dipahami. Aku tersesat dan terjebak, dan aku sedang membuat sebuah pernyataan ... Waktu itu usiaku sembilan tahun, dan aku hampir-hampir dikirim ke rumah sakit jiwa. (hal. 10) Dunia di Balik Kaca menjadi sebuah catatan yang sangat gamblang tentang autisme dari sudut pandang �orang dalam�. Demikian novel terjemahan dari Nobody Nowhere yang diangkat dari kisah nyata sang Pengarang, Donna Williams yang terlahir dalam keluarga miskin yang abai dan aniaya, kesengsaraan Donna atau Willie seolah kian sempurna dengan autisme yang dideritanya. Novel ini menyajikan sebuah kisah nyata yang sangat menyentuh nurani, dan sarat akan nilai-nilai kemanusiaan. Karya sastra ini menceritakan perjalanan hidup yang menakjubkan dari seorang gadis yang terjebak dalam derita mental. Tema kemanusiaan memang identik dengan latar belakang diterbitkannya novel ini sebagai novel fiksi yang diadaptasi langsung dari kisah nyata pengarang. Aku masih ingat mimpiku yang pertama atau setidaknya mimpi pertama yang bisa kuingat. Aku sedang bergerak menembus warna putih, tanpa objek, hanya putih, meskipun bintik-bintik warna-warni yang tampak lembut ada di mana-mana, mengelilingiku. Aku bergerak menembus mereka dan mereka menembus diriku. Hal seperti itu membuatku tertawa. (hal. 13) Aku mendapati udara dipenuhi bintik-bintik. Jika kamu melihat ke dalam ketiadaan, ada banyak bintik di sana. Orang-orang berlalu-lalang merusak gambaran magisku yang berisi ketiadaan...(hal. 14) Gaya bahasa yang bersifat imajinatif memaksa pembaca untuk memasuki dunia khayal pengarang yang penuh dengan kejutan. Melalui daya imajinasi yang tinggi dan spontanitas penulis yang lahir di Australia ini mampu membuat novelnya yang juga bersifat informatif tidak kehilangan nilai dan unsur estetika. Dikatakan informatif karena novel ini berhasil menyingkap misteri dunia autisme yang sasarannya adalah jutaan orang yang kurang memahami bahkan sama sekali tidak terpikir untuk memahami dunia tersebut. Sederhana tetapi rumit, inilah kesan pertama yang tersimpan di memori otak saya setelah menyimak kalimat-kalimat dalam novel cetakan III dari karya Donna Williams. Sekilas rangkaian kalimat yang menyusun novel ini tampak sederhana, namun terkadang memiliki makna yang rumit. Bukan berarti hal ini mengurangi nilai buku, justru hal ini dapat merangsang kemampuan berpikir dan analisa pembaca. Untuk meyakinkan pembaca akan bakatnya, ia juga menyelipkan catatan kecil yang berisi gambaran kehidupannya yang terangkai melalui bahasa yang puitis dan diwarnai gaya personifikasi pada beberapa akhir bagian cerita. Catatan tersebut seperti, �Kupikir, aku mendengar bisikan menembus jiwaku, Semuanya tidak ada, dan ketiadaan berarti semuanya. Kematian di dalam hidup dan kehidupan di dalam kematian yang palsu�(hal. 18) atau �Gumpalan-gumpalan rambut mengeliliku di tempat tidur. Mereka di sana melindungiku. Karena gumpalan-gumpalan rambut itu, mereka adalah teman-temanku�(hal. 26). Saya menilai catatan ini merupakan kesatuan kalimat yang berdiri sendiri, namun antara makna dan tujuannya tetap koheren dengan jalan cerita. Donna Williams berusaha menyajikan cerita dalam novelnya sesistematis mungkin. Dengan memadukan dua plot, yakni alur progresif dan regresif, serta memillih tiga setting yang berbeda, menjadi terobosan baginya untuk menciptakan kesatuan cerita yang tidak membosankan. Novel ini juga dominan mengisahkan konflik batin yang dikemas melalui kecerdasan penulis dalam menghidupakn cerita. Tokoh-tokoh dalam novel �Dunia di Balik Kaca� memiliki karakterisasi yang cukup kuat. Seperti terlukis dalam watak Donna Yang pemalu, penyendiri, dan susah ditebak, atau Willie yang keras dan susah diatur, yang kemudian terkemas dalam satu peran autistik. Pemunculan tokoh yang disertai beragam karakter yang kuat ini mengundang reaksi pembaca dan secara tidak langsung memengaruhi pemikiran pembaca. Setidaknya, inilah yang saya rasakan usai membaca novel ini. Sementara dalam hal penceritaan tokoh utama, MS Williams memilih cara yang tidak lazim, dan terkadang menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan adanya penggunaan nama untuk menyebutkan tokoh utama, padahal pada dasarnya ia menggunakan sudut pandang �orang pertama, pelaku utama�. Entah ini dapat dinilai sebagai titik kelemahan atau malah menjadi suatu ciri khas pengarang. Meskipun ditutup dengan ending yang terkesan masih mengambang, namun secara umum novel yang diterjemahkan oleh Lela Herawati, �Dunia di Balik Kaca� mampu hadir sebagai suatu karya sastra yang amat luar biasa. Novel ini memberi pengalaman mengenai permasalahan hidup yang begitu pelik, karena telah berhasil menggambarkan peta dari sebuah �dunia� yang masih asing bagi kita, dan bahkan tidak pernah terbayangkan sedikitpun di benak kita. Dengan hadirnya novel ini, diharapkan akan membantu proses interaksi sosial para autism di tatanan kehidupan ini. Add your review for this book! Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |