|
Sinopsis Buku: Pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi (9150-19590 boleh disebut masih minim. Fakta ini membuktikan bangsa ini belum mampu memetik manfaatnya.
Di saat-saat kembali merintis demokrasi pada 1998 dengan konstitusi dan empat amandemennya sebagai pedoman, negeri ini masih terus dihantui perasaan was-was. Ada kekhawatiran, jangan-jangan kegagalan akan terulang kembali. Negarawan Inggris, Sir Winston Churchill boleh merasa cemas dengan mengatakan demokrasi adalah sistem bernegara yang buruk, tapi sejauh ini memang tidak ada sistem yang lebih baik dari itu. Tergerak oleh keinginan untuk menyimak dan mengamati proses menjadi bangsa yang demokratis itulah, Isma Sawitri mengabadikan catatan-catatan mengenai pesta demokrasi dalam "Perjalanan Suara: Nukilan Cerita dan Fakta Pemilu". Buku ini menyegarkan kembali memori kolektif bangsa tentang kerja-kerja politik yang dengan trik-trik yang tidak semua santun dan beradab. Di sana, terlihat beragam klaim atas nama rakyat, padahal rakyat tak pernah dimintakan pendapatnya. Dengan paparan yang memikat, buku ini antara lain mendeteksi "lingkaran setan" politik uang (money politics), perilaku serta menghalalkan segala cara dan kehadiran aktor-aktor lama yang sangat cekatan mencari jalan masuk ke pintu-pintu kekuasaan. Potret-potret pemilu yang disajikan di sini berkisah tentang kegelisahan, keceriaan dan keharuan karena satu hal: ternyata perubahan sedang terjadi. Walau banyak kelemahan dan tudingan, agaknya sukar untuk membantah bahwa "pohon" demokrasi telah tumbuh. Sulit membayangkan bahwa negara yang selama 30 tahun sangat sentralistik dan anti demokrasi, tiba-tiba menjadi raksasa demokrasi. Dalam mengamati potret-potret ini sebaiknya kita tidak kehilangan optimisme karena secara kasat mata, telah banyak yang berubah di negeri ini. Dan potret hasil "fotografi" seorang jurnalis dalam buku ini bercerita tentang perubahan serta arah masa depan bangsa. (Yudhiarma) Resensi Buku:
Buku Sejenis Lainnya:
Advertisement |