Dengan 61 jahitan di perut pasca-operasi kanker berkepanjangan, Ary Amhir memanggul ransel kecil menuju Sumatra. Perjalanannya dipicu oleh undangan pesta perkawinan Lisa di Pariaman, kawan sesama mantan TKI di Malaysia. Jalan takdir membawa langkahnya mengelilingi Sumatra selama 30 hari. Ia pun menyusuri Blank Dalam yang terpencil, melacak petilasan pujangga mistik Amir Hamzah yang terlupakan, dan menghidu aroma masa silam bumi Sriwijaya. Ary tak semata mencumbui tempat yang ia kunjungi, melainkan juga merasakan geliat, desah, dan kesah manusia yang hidup di sana. Tentang kearifan lokal di balik adat membeli lelaki di Pariaman. Tentang seniman Batak dan Karo yang terlalaikan. Juga tentang nasib kereta api pengangkut batubara, jatuhnya tembakau Deli yang terkenal, dan nasib pemanggil roh di Toba yang tergerus zaman. Pengembaraannya dituntun oleh masa lalu, yang menyeretnya menuju tempat-tempat tak terbayangkan sebelumnya.
"Seperti perpaduan antara Revolt in Paradise dan Von Venedig nach China, ketika Ketut Tantri mencatat ritual dan kekejaman Belanda di Bali dan Marco Polo menafsirkan keindahan pulau dan keunikan penghuninya."
- Sigit Susanto, penulis Menyusuri Lorong-Lorong Dunia
"Inilah travel book pertama yang ditulis oleh seorang penyintas kanker. Saya seperti menonton film tentang seorang backpacker perempuan yang mencari jati dirinya dalam tempo 30 hari di rimba Sumatra."
- Imazahra, pendiri Komunitas Muslimah Backpacker Indonesia
"Ary tidak tenggelam dalam euforia eksotika Swarnadwipa. Dia tulis buku ini dengan jiwa seorang pejalan yang tak henti mempertanyakan kemapanan."
- Lalu Abdul Fatah, penulis Travelicious Lombok